Numpang Ngopi di Solo Exhibition Aysha Farrell Jadi Kenal Art Brut

Numpang Ngopi di Solo Exhibition pameran lukisan tunggal Aysha Flo Farrell Jadi Kenal Art Brut yang terus menantang persepsi estetika & definisi seni
Perahu yang kemarin lepas, masih di tengah laut. 
Kini hanya ingin mengeluarkan sedikit bawaan 
karena hampir tenggelam di tengah samudra.

Diberkatilah kalian yang sedang menjahit luka di dada, 
luka yang tak akan pernah sembuh... 
menarilah dengan darah, 
sakit adalah anugerah, 
perih adalah bahagia

Koleksilah luka- luka.

Kenapa selalu mencari tawa 
saat air mata memberi lebih?

Dunia adalah tempat menyebalkan.

Demikian syair pembuka undangan acara Solo Exhibition Aysha Farrell yang saya terima di aplikasi WhatsApp. 

Pameran tunggal karya lukis dan seni instalasi ini berlangsung selama 3 hari, 11 - 13 Maret 2022 di Artikata drinks, sebuah kedai kuliner di salah satu ruko di Marrakash Square, Babelan, Kabupaten Bekasi.

Numpang Ngopi di Solo Exhibition Aysha Farrell Jadi Kenal Art Brut

Solo Exhibition Aysha Farrell juga diisi dengan live music yang dibawakan oleh Oman & Hasanah, Perfoms Art by Flo, Rap by Aji's friend, Live Painting by Flo, Interaktif 'Tree' Craft by Nik. 

Tapi karena saya datang pada hari terakhir (13 Maret 2022) dan itu juga hanya sebentar saja, sepeminuman kopi (3 jam lebih), saya hanya menikmati karya-karya Aysha Farrell a.k.a Flo dan sejenak mendengarkan live akustik dari Oman & Hasanah.

Langit mendung dan sedikit gerimis saat saya terjebak macet di pertigaan Jalan Ujung Harapan dan Jalan Raya Candrabaga tepatnya di gerbang Grand Pondok Ungu. Tidak lama sesudah terjebat ruwetnya lalu-lintas kendaraan bermotor saya tiba di Artikata Drinks, menyapa Flo dan Aji Saputra yang menyambut kedatangan saya dengan hangat. 

Numpang Ngopi di Solo Exhibition Aysha Farrell Jadi Kenal Art Brut

Gak banyak basa-basi, saya langsung masuk dan mendatangi setiap sudut dalam kafe, mencoba "menikmati" lukisan yang tertempel di dinding dan seni instalasi yang tersaji di ruang yang kira-kira berukuran 5x10 meter. 

Ada sekitar 30 lukisan dan 10 karya seni instalasi yang mengekspresikan rasa dan makna sang pembuatnya. 

Beberapa karya rasanya masih bisa saya nikmati, mengajak berdialog, tapi tetap saja masih lebih banyak yang saya tidak pahami karena terbatasnya waktu di banding jumlah karya dan tentunya ketidak mampuan saya menyamakan frekuensi sehingga gagal berkomunikasi.

"Petualangan visual dan rasa" saya terhenti di meja kasir, scanning menu akhirnya saya cukup memesan Cappucino saja, menu andalan saat saya tidak tau apalagi yang akan saya pesan. Kabar baiknya, air mineral gratis sudah disediakan oleh panitia pameran. 

Soal nama Cappucino berasal dari warna jubah biarawan Kapuzinerkirche - Gereja Kapuzin/Capuchin - sebuah gereja katolik roma di Wina dan berasal dari biji kopi peninggalan tentara Turki yang tertinggal setelah peperangan yang di pimpin oleh Kara Mustapha Pasha di Wina biarkan menjadi topik di lain waktu, saat ini saya ingin istirahat menikmati suasana senja di lembah ruko bukit beton yang menjulang. 

Iya, saya ingin istirahat karena kelelahan dalam "Petualangan visual dan rasa" yang disajikan puluhan karya Art-Brut dalam pameran tunggal ini. 

Kalau ingin sedikit merasakan, coba aja buka akun instagram Lembayung 2181, beberapa karya yang dipamerkan bisa dinikmati di akun instagram itu. 

Saya biasa mendengarkan musik-musik keras, cadas, rock, thrash metal, hardcore dan semacamnya, kalau lukisan Flo itu diibaratkan musik, mungkin gaya melukisnya bisa dikatakan bergenre thrash metal atau crossover dan semacamnya, sementara lukisan yang sering saya "nikmati" lebih banyak bergenre pop rock. Iya, ada semacam gegar budaya 3 scala richter di kepala saya :)

Numpang Ngopi di Solo Exhibition Aysha Farrell Jadi Kenal Art Brut

Di teras luar kafe, beberapa meja dan kursi kosong, kami memilih duduk di kursi tepat depan kafe. 

"Kalau misalnya ada pengunjung pameran yang berminat untuk membeli, boleh enggak?," tanya saya serius kepada Flo, tapi sebenarnya saya hanya menggoda untuk menghidupkan suasana.

"Pameran ini lebih ditujukan sebagai ekspresi seni, tapi kalau ada yang berminat bisa saja," jawab perempuan alumni SMAN 2 Babelan ini santai. 

Mendengar jawaban itu, seperti ada rasa bersalah sudah mengajukan pertanyaan konyol seperti itu. Bisa saja Flo tersinggung pamerannya seperti dianggap ajang lelang, tapi ia lebih memilih jawaban diplomatis seperti seorang guru privat menghadapi anak-anak didiknya.

Kopi dan perpaduan susu dengan latte art berbahan busa susu sudah tersaji, menemani obrolan kami. Beberapa kali Flo menyambut teman-temannya yang berkunjung. Aji yang menemani cukup baik menjawab pertanyaan-pertanyaan ringan saya.

Soal pameran itu, saya termasuk orang yang beruntung sebab sempat membaca print out kata pengantar yang ditempelkan di dinding. Setidaknya setelah membaca kata pengantar itu saya jadi lebih siap berkomunikasi dengan karya-karya yang mendominasi interior kafe. 


Komentar tentang TRUE - Solo Exhibition Aysha Farrell 

Menurut saya, pameran ini bukan saja mendominasi interior kafe, tapi keseluruhan karya itu sendiri ditata sedemikian rupa sehingga menjadi kesatuan karya baru yang otentik (tidak dapat diulang). 

Jadi sebenarnya pameran ini sesungguhnya adalah satu bentuk seni instalasi dengan kanvas ruangan kafe hingga ke terasnya. Saya dan orang-orang yang berinteraksi di sini adalah bagian dari karya tersebut. Sebuah karya ini tidak bisa dibeli oleh siapapun karena menjadi sebuah kenangan yang tidak ternilai. Nice job Flo!.

Terima kasih buat Bang Aditya (TBM Rumah Pelangi Bekasi), Mas Sugeng (Kenangan Foto Studio), dan Sam Bayu Suckit Stuff  (Perkabu) yang sudah datang menemani saya. Gak ada elu gak rame bray :)

Mas Sugeng sempat berkomentar soal jarangnya ada pameran lukisan di wilayah Babelan. Soal lukisan yang dipamerkan menurutnya tidak jauh dengan fotografi, seni lukis lebih menggambarkan suasana hati si pelukis.

"Mungkin bagi Flo lukisan itu cara untuk mengekspresikan apa yang ia rasa, saya malah ingin melihat proses kreatifnya. Bagaimana seorang pelukis menuangkannya ke dalam seni rupa atau seni lukis," kata Mas Sugeng yang punya Kenangan Foto Studio di Kaliabang.

"Saat di pameran saya sempet ngobrol sama Flo, ternyata dia paham bener elemen visual, warna, tekstur, ruang, garis, terang, gelap, ya kurang lebih sama dengan unsur-unsur fotografi dan itu yang menarik buat saya," tutup Mas Sugeng.

Senada dengan Mas Sugeng, Bayu dari Perpusjal Bekasi juga mengapresiasi pameran lukisan yang gak banyak anak muda Bekasi mau menampilkan karyanya. 

"Kalo soal seninya selaku orang awam, yang gue liat rada acak-acakan, abstrak. Ya benar istilahnya Art-Brut, keren sih, menabrak pattern yang ada dalam hal berseni, ini brutal, mungkin sebuah keliaran imajinasi seorang Flo," kata Bayu vokalis band Memshoot, salah satu band Punk Hardcore ternama di skena Bekasi Underground.

Adit, ketua TBM Rumah Pelangi Bekasi gak lolos juga saya tanyakan. Dia mengaku tidak paham arti lukisan-lukisan yang ada, makna miniatur kuburan di bawah tangga, dan lain-lain.

"Saya sempat ngobrol, Flo menjelaskan bahwa semua itu sebuah ekspresi, melepaskan sedikit muatan untuk terus move on menjalani kehidupan dengan lebih ringan," kata adit sedikit beralegori.

Rekaman suara Mas Sugeng dan Sam Bayu bisa didengar di video ini.


Sayangnya, kami berempat tidak sempat melihat adegan Performance Art (Seni Performa) yang dibawakan Flo malam itu.

Salam.

@ ArtiKata Drinks - Marrakash Square.
 Ahad, 13 Maret 2022.

Numpang Ngopi di Solo Exhibition Aysha Farrell Jadi Kenal Art Brut
 Saya dan Flo 

Kamu dapat menyapa Flo melalui akun Instagramnya --> Instagram.com/ayshafarrell21

Untuk lebih jelasnya, berikut kata pengantar yang saya maksud di atas. Saya sudah meminta izin untuk mempublikasikannya di sini.

------------------

Pengantar

True: Antara Persepsi, Pernyataan dan Pertanyaan Sebuah Arti Kebenaran 


Konsep Art Brut terus-menerus menantang persepsi estetika dan definisi seni kita sejak kemunculannya setelah Perang Dunia Kedua—walaupun, pada kenyataannya, karya-karya yang disatukan di bawah judul ini sudah ada jauh sebelum diciptakan. 

Apakah karena statusnya yang sangat ambigu, produksi artistik ini memperbarui pencarian kita akan pengetahuan absolut, menghidupkan kembali mimpi tentang batu filsuf, tentang ensiklopedia yang belum selesai selamanya? Apakah rahasia Art Brut (seni brutal) harus ditelusuri ke dalam “kegelapan” semiologisnya, menghasilkan banyak kemungkinan makna? 

“For me, insanity is super sanity. The normal is psychotic. Normal means lack of imagination, lack of creativity.” ― Jean Dubuffet 

Pelukis Prancis Jean Dubuffet (1901 – 1985), yang menemukan gagasan seni brutal seperti itu pada tahun 1945 dan mendirikan Compagnie de l'Art Brut. Tujuan Compagnie adalah untuk mencari "produksi artistik yang berasal dari orang-orang yang tidak dikenal, terasingkan, menampilkan penemuan pribadi, menggali kedalaman personalitas, spontanitas dan kebebasan, jauh dari konvensi dan standar yang biasa." 

Dalam dekade terakhir abad kedua puluh dapat dikatakan bahwa sejumlah sejarawan seni, kritikus, dan kurator memandang Art Brut sebagai semacam "avant-garde paralel" yang marginal dan dikecualikan dari jaringan seni kontemporer yang biasa. 

Hal ini membuka lebar pintu ideologi "anti-seni kontemporer" yang reaksioner, seolah-olah Art Brut adalah aliran pemikiran, ideologi anti-kapitalis atau gaya yang homogen (seragam). 

Art Brut akan terus berfungsi sebagai indeks atau penunjuk, menunjukkan bahwa ada perbedaan antara niat dan konteks seniman yang mungkin tidak hanya masalah gelar semata tetapi kejujuran dalam mengekspresikan sisi emosionalnya yang diinkubasi kemudian direpresentasikan menjadi sebuah wujud karya seni. 

Dalam konteks ini, seniman yang berpameran yaitu Aysha Farrel. Dia sampai saat ini masih tercatat sebagai mahasiswi teater di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. 

Ketika melihat karyanya terlihat bagaimana usaha Aysha menerjemahkan narasi akan teks-teks secara acak yang berkelindan ke dalam bentuk visual dengan berbagai macam gaya dan medium, sesuka hati, tanpa takut akan konvensi dan aturan-aturan formal seni rupa dan gaya ungkap Art Brut menjadi jembatannya.
 
Unsur narasi menjadi sangat kuat karena Aysha yang notabene belajar teater secara formal; hadir dalam karya-karyanya layaknya kepingan-kepingan catatan harian yang disusun ulang menjadi sebuah story board kehidupan, pengalaman traumatik, rasa sakit, kecewa-bahagia, sepi-kosong, ketidakadilan, bermain di wilayah ambang sadar-tidak sadar, semua bercampur menjadi satu dalam pameran bertajuk “TRUE” ini yang dihadirkan secara ekspresif, naif, banal, sengkarut sapuan kuas kasar-lembut yang impulsif, tarikan garis ekspresif kadang teratur hingga ada yang sangat liris dan cenderung puitik. 

Aysha di sini berusaha memberontak, menghadirkan citra kejujuran menurut dirinya dan mempertanyakan ulang apakah estetika itu harus selalu indah?.
 
Bagaimana kalau tidak indah? 

Pada akhirnya karya-karya yang dipamerkan menjadi sebuah katarsis bagi senimannya dan jawabannya akan berbeda tergantung sudut pandang apresiator serta resonansi yang dihasilkan antara seniman - karya - apresiator. 

Selamat berpameran tunggal untuk Aysha! Teruslah gelisah, gila dalam berproses dan berkarya karena sesungguhnya tidak pernah ada karya yang benar-benar selesai yang akhirnya berujung menjadi sebuah pertanyaan reflektif bagi diri dan apresiator. Selamat berapresiasi! 

Tabik, 
Eko Bambang Wisnu 
Bandung, 09 Maret 2022
    
----------------------------

Dokumetasi Youtube 


Beberapa liputan media lokal:
Liputan media lainnya dapat ditelusuri di mesin pencari.



2 komentar

  1. keren juga anak Bekasi punya pameran lukisan sendiri,,, mantapp dah
    1. Mantap :) terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak
No Spam, Please.