Saat Nafas Jadi Doa: Renungan di IGD RS Bhayangkara Makassar

Hampir jadi catatan akhir bertahan melawan angin duduk di IGD RS Bhayangkara Makassar, tentang takut, harapan dan rasa syukur untuk setiap hela napas
Saat Nafas Jadi Doa: Renungan di IGD RS Bhayangkara Makassar
“Syukuri hari ini karena kita masih bisa bernafas.”
Kalimat yang sederhana yang dulu terasa biasa, kini menjadi doa paling tulus yang pernah saya rasakan.

Malam itu, Jumat 10 Oktober dini hari. Saya berbaring santai di ruang tidur, menatap layar ponsel, menunggu kantuk datang. Tak ada firasat apa pun, sampai tiba-tiba udara terasa dingin sekali, jantung saya berdebar cepat, tak beraturan, dan dada saya terasa penuh. 

Dalam hitungan detik, udara yang biasanya bebas keluar masuk tiba-tiba terasa macet. Saya menarik napas sekuat mungkin, tapi udara berhenti di tenggorokan, tak sampai ke paru-paru.

Keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Saya tak lagi bisa berpikir jernih, hanya berjuang untuk tetap bisa bernafas. Di sela kepanikan itu, sempat terlintas pikiran gila: “Seandainya dada ini bisa saya lubangi, mungkin udara bisa masuk.” Saya tahu itu tidak rasional, tapi di ambang kehilangan napas, semua orang bisa berpikir gila.

Perjalanan ke IGD: Antara Takut dan Harapan

Setelah mencoba berbagai cara namun gagal, akhirnya saya segera meminta istri mengantar ke IGD RS Bhayangkara Makassar, rumah sakit terdekat. Kami melaju di jalanan sunyi dini hari, ditemani satpam komplek yang ikut menolong. Di sepanjang perjalanan, saya hanya fokus pada satu hal: berjuang untuk tetap bisa bernafas.

Jantung saya terus berdetak keras, seperti mengingatkan bahwa hidup ini masih ada, tapi bisa hilang kapan saja.

Begitu tiba di IGD, saya hampir roboh di depan meja piket. Dengan suara parau saya berkata, “Saya tidak bisa bernafas.”

Detik-Detik Pertama di IGD

Begitu kata itu keluar, para tenaga kesehatan langsung bergerak. Tidak ada kebingungan, tidak ada panik. Semuanya bekerja seperti satu kesatuan yang terlatih: satu perawat memapah saya ke ruang triase dan membaringkan saya ke Brankar atau tempat tidur khas rumah sakit di barisan depan, yang lain memasang masker oksigen, sementara seorang lagi mengambil sampel darah, lalu kemudian tidak beberapa lama menyiapkan alat EKG.

Ruang IGD malam itu terasa dingin, terang, dan penuh suara. Di tengah deru mesin dan langkah cepat, ada ketenangan aneh yang muncul, mungkin karena keyakinan bahwa saya berada di tangan yang tepat. Udara dari masker oksigen mulai terasa masuk perlahan, menembus paru-paru. 
Saya bisa bernafas. Saya masih hidup
Beberapa menit kemudian, dokter piket datang. Dengan nada tenang, beliau menanyakan riwayat penyakit saya. Setelah serangkaian pemeriksaan, beliau menyebut kemungkinan serangan jantung ringan, atau angin duduk. Saya terdiam. Di tengah cahaya putih ruangan itu, saya seperti baru menyadari betapa tipisnya jarak antara hidup dan mati.

Percaya pada Ilmu dan Hati yang Menyembuhkan

Hari-hari berikutnya saya dirawat oleh tim medis yang begitu sabar dan profesional. Salah satunya adalah dr. Adi Surya, Sp.JP, FIHA, spesialis jantung dan pembuluh darah. FIHA itu singkatan "Fellow of the Indonesian Heart Association" yang artinya beliau sudah menyelesaikan pelatihan khusus di bidang kardiologi. Beliau menjelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami, dan setiap kali saya merasa cemas, nada suaranya cukup menenangkan hati.

Saya sempat meminta agar kateter dilepas karena tidak nyaman dan saya rasa tidak diperlukan. Tapi dengan tenang beliau menjelaskan,

“Tubuhmu butuh istirahat. Kateter ini untuk membantu jantung tidak bekerja terlalu keras.”

Saya mengangguk, malu pada diri sendiri yang terlalu terburu-buru menolak hal yang sebenarnya untuk kebaikan saya. Beliau memberi saya obat diuretik, obat yang membantu mengeluarkan kelebihan cairan dalam tubuh dan menjaga tekanan darah tetap stabil. Tanpa kateter itu, saya bisa bolak-balik ke kamar mandi dan memperparah sesak napas.

Dari situ saya belajar, kadang, kepercayaan pada dokter adalah bentuk kasih sayang kita kepada diri sendiri.

Renungan di IGD RS Bhayangkara Makassar

Empat Hari di Ruang Isolasi

Saya dirawat sendirian di ruang isolasi yang sunyi dan terang. Ruangannya cukup besar dan nyaman. Tiga jendela besar di dinding menghadap keluar, membiarkan cahaya pagi masuk dengan lembut. Di pagi hari, sinarnya terasa hangat di kulit; di sore hari, cahaya jingganya memberi rasa damai.

Setiap langkah perawat yang lewat di koridor menjadi pengingat bahwa hidup terus berjalan di luar kamar ini. Mereka datang silih berganti, memeriksa infus, mengatur masker oksigen, memeriksa tekanan darah, memberikan obat, bahkan menyapa dengan senyum tulus. “Sudah lebih baik, Pak?” tanya mereka setiap kali datang.

Kata-kata sederhana, tapi bagi saya seperti pelukan yang menenangkan.

Saya menyaksikan bagaimana para tenaga kesehatan bekerja dengan ketenangan, ketelitian, dan kasih yang tak selalu terlihat, tapi terasa. Mereka tidak hanya menyembuhkan tubuh, tapi juga memulihkan hati pasien yang ketakutan.

Pelajaran dari Kamar Sebelah

Menjelang hari terakhir, istri saya datang membawa kabar bahwa dua pasien di kamar sebelah telah meninggal dunia. Kamar yang sebelumnya ramai ternyata bukan karena kunjungan, tapi karena perpisahan.

Saya terdiam lama. Tidak ada kata yang cukup untuk menggambarkan perasaan itu. Antara sedih, takut, dan bersyukur bercampur jadi satu.

Saya menatap langit-langit kamar, lalu berbisik pelan, “Terima kasih, Tuhan, Engkau masih beri hambamu yang bandel ini waktu.”
Mungkin ini teguran lembut, agar saya belajar hidup lebih perlahan, lebih sadar, lebih bersyukur.

Belajar Bernapas Kembali

Setelah keluar dari rumah sakit, saya mulai belajar bernafas dengan cara baru, bukan hanya lewat paru-paru, tapi lewat kesadaran.

Setiap pagi saya berjemur di bawah matahari selama dua puluh menit, berjalan pelan sambil mengatur napas. Saya mulai menghargai tubuh saya yang selama ini saya abaikan. Saya tidur lebih cukup, makan lebih teratur, dan berhenti menyepelekan rasa lelah.

Dulu saya pikir bernafas itu mudah dan gratis, tak perlu disyukuri. Sekarang saya tahu, bernafas adalah rezeki yang tidak semua orang bisa nikmati di detik ini.

Terima Kasih RS Bhayangkara Makassar

Kini setiap tarikan napas saya adalah doa. Setiap detak jantung adalah pengingat bahwa hidup ini bukan milik saya sepenuhnya, saya hanya dititipi waktu.

Saya ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh tim medis RS Bhayangkara Makassar, para perawat, dokter, dan tenaga kesehatan yang telah bekerja dengan hati, dengan profesionalisme, dan dengan kasih.

Terima kasih juga untuk dr. Adi Surya, Sp.JP, FIHA, yang dengan kesabaran dan ketegasannya membuat saya mengerti arti sebenarnya dari penyembuhan.

Dan tentu, terima kasih kepada keluarga, teman, dan semua yang mendoakan, menjenguk, atau sekadar mengirim pesan semangat.

Saya tidak bisa membalas semua kebaikan itu satu per satu, tapi saya menyimpannya dalam hati, dengan rasa terima kasih yang tulus.

Hari ini, saya masih bisa bernafas. Itu saja sudah lebih dari cukup.


Posting Komentar

No Spam, Please.