
Sabtu, 9 Agustus 2025. Pagi itu, saya memulai hari dengan suasana hati yang ringan. Udara Makassar belum terlalu terik, saya melepas rombongan Om Yudhan dari PGTC (Pondok Gede Tiger Club) dan Kang Deden TOPU (Tiger Organisation Purwakarta), yang dijemput Bro Ikram HOTG untuk sowan ke TRMC, HOTG, dan IMTI.
Tak lama setelah itu, saya menuntaskan urusan kampus terkait semhas. Hidup memang sering menguji keseimbangan, di satu sisi ada kewajiban akademis, di sisi lain ada undangan kebersamaan yang tak kalah penting. Usai urusan itu, saya kondangan di Hartaco Parangtambung, menghadiri undangan hajatan sunatan anak dari teman lama saya, Om Cublek alias Pak RT Ruslan Daeng Maro.
Menyusuri Panas, Menjemput Kebersamaan
Siang itu, matahari seperti sedang bersemangat. Udara terasa menyengat, membuat keringat tak segan mengalir di pelipis. Saya memutuskan beristirahat sebentar di rumah. Pesan Whatsapp dari Bro Gangsar BTO memanggil saya kembali ke jalan. Ia bersama bikers MTC Jakarta (Sist Ciput dan Bro Elang) serta Bro Simon dari IMTY Jogja menunggu saya untuk escort ke lokasi tikum keberangkatan city rolling.
Kami bertemu di Jalan Rajawali, lalu melaju bersama menuju Community Hope Djarum Pettarani, titik kumpul untuk agenda city rolling. Di sinilah, saya kembali menyadari satu hal: kebersamaan dalam komunitas motor itu unik. Kita mungkin datang dari jarak yang berbeda, profesi yang tak sama, bahkan cerita hidup yang kontras. Tapi saat motor menyala, kita bergerak sebagai satu kesatuan.
Sekitar 60 motor berjajar rapi dari Pettarani. Kami melintasi Jalan Urip Sumoharjo, memutari kawasan CPI, dan akhirnya tiba di Dupli Dining & Lounge, Pantai Akkarena. Lalu lintas sore itu padat, namun iring-iringan tetap tertib.
Saya melihat wajah-wajah dari berbagai penjuru: HOTG Gowa, MTC Jakarta, TRIAL Pinrang, TRIAD Toraja, WTC Wajo, AHTS Sulut, Neo Patric Pangkep, dan banyak lagi. Di tengah panas dan padatnya kota, ada rasa hangat yang bukan datang dari terik matahari, melainkan dari kesadaran bahwa kami semua sedang melaju dalam satu irama.
Tiba di lokasi acara dengan zero accident adalah kebanggaan tersendiri. Panitia bekerja keras menjaga kelancaran, sementara para peserta saling mengingatkan demi keselamatan sesama pengguna jalan.
Setibanya di venue, kami disambut hangat panitia, melakukan registrasi, menerima sertifikat kehadiran, dan berfoto untuk dokumentasi. MC yang lincah memandu acara, sementara tamu dari berbagai pengda HTCI terus berdatangan. Di balik deru mesin, terasa jelas bahwa hati-hati ini saling terhubung. Teriring salut kepada Bro Bombom MTC selaku ketua panitia yang sudah mengatur dan mengondisikan segala sesuatunya.

Malam yang Menyala di Akkarena
Saat malam tiba, bukannya letih, justru energi terasa bertambah. Om Simon mengambil mikrofon dan melantunkan beberapa lagu. Suasana pun berubah jadi pesta kecil di bawah langit Makassar, hadirin berjoget gembira, tertawa ceria, dan bernyanyi bersama, lupakan sejenak semua keruwetan.
Setelah sesi makan malam, saya memilih duduk di sisi kiri panggung, dekat area VIP dan dekat musollah. Di sana, obrolan mengalir dengan Kang Deden, Yudhan, Ilham dari PGTC, dan seorang calon anggota TTFC (Tasik Tiger Fans Club). Mereka bercerita tentang rencana touring jelajah Sulawesi: Parepare, Toraja, Luwu Timur, hingga Danau Matano.
Mendengar itu, saya membayangkan jalan berkelok, udara pegunungan, dan deru mesin yang berpadu dengan suara angin. Kebersamaan seperti ini, di mana kami berbagi cerita dan merencanakan petualangan baru, adalah keseruan di komunitas motor.
Pesan dalam Sambutan
Acara berlanjut dengan sambutan dari Pj Sekda Kota Makassar, Drs. H. Irwan R. Adnan, M.Si., generasi pertama Makassar Tiger Club dan Dewan Pembina MTC. Ia mewakili Walikota yang berhalangan hadir. Ceritanya mengalir penuh nostalgia tentang awal berdirinya MTC, sahabat, dan keluarga.
“Usia tiga puluh tahun bukan waktu yang singkat. Makassar Tiger Club, seperti manusia dewasa, harus mampu membedakan mana kebaikan dan keburukan,” katanya. Pesan itu sederhana tapi dalam: kedewasaan organisasi tidak hanya diukur dari lamanya berdiri, tapi dari kemampuannya menjadi sumber kebaikan.
Ketua Umum Makassar Tiger Club (MTC), Bro Franz Sergei, juga mengingatkan pentingnya menjaga persaudaraan lintas generasi. Kapolsek Tamalate, Kompol Syarifuddin yang mewakili Kapolrestabes Makassar, menegaskan agar para bikers harus bisa menjadi teladan tertib lalu lintas. Sementara Ketua Umum Pengurus Pusat Honda Tiger Club Indonesia (HTCI), Bro Didik Iswanto, memuji konsistensi Makassar Tiger Club dalam mendukung event HTCI di berbagai daerah.

Filosofi yang Membumi
Tema 30 tahun Makassar Tiger Club tahun ini mengangkat tiga nilai luhur Bugis-Makassar: Sipakatau – Sipakalebbi – Sipakainge. Tiga kata sederhana yang sarat makna, yang jika dipahami dan dijalankan, mampu menjadi pondasi kokoh bagi persaudaraan di jalan raya dan di mana pun.
Sipakatau berarti saling memanusiakan. Dalam komunitas motor yang anggotanya datang dari berbagai daerah, profesi, dan latar belakang, nilai ini mengajarkan bahwa setiap orang pantas dihargai, dimanusiakan. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Kita semua sama-sama manusia, sama-sama saudara.
Sipakalebbi adalah saling menghargai dalam setiap pertemuan dan percakapan. Menghargai bukan hanya soal memberi salam atau tersenyum, tetapi juga tentang mendengarkan dengan tulus, menjaga tutur kata, dan mengakui perbedaan pendapat. Di tengah komunitas besar, rasa saling menghargai menjadi pelumas yang membuat semua interaksi berjalan mulus, tanpa gesekan yang tak perlu.
Sipakainge berarti saling mengingatkan, demi keselamatan dan solidaritas. Dalam dunia bikers, ini bisa berarti memperingatkan kawan yang melaju terlalu cepat, mengingatkan untuk mengenakan perlengkapan keselamatan, atau sekadar memberi tanda ketika ada jalan berlubang. Mengingatkan bukan berarti menggurui, melainkan tanda kepedulian bahwa kita ingin semua kembali ke rumah dengan selamat.
Nilai-nilai ini bukan sekadar tulisan di spanduk atau tema di acara perayaan. Ia adalah kompas moral yang menuntun setiap langkah komunitas. Jika dijalankan sepenuh hati, nilai ini dapat mengikat persaudaraan lebih erat daripada baut yang menahan rangka motor.
Sebab baut mungkin bisa kendor, tapi ikatan yang dibangun dari rasa saling memanusiakan, menghargai, dan mengingatkan, itu akan bertahan sepanjang perjalanan, bahkan ketika mesin sudah berhenti meraung.
Lintas Generasi, Satu Rasa
Saya melihat generasi pendiri duduk berdampingan dengan anggota muda. Mereka tertawa, bercerita, dan mengenang perjalanan panjang komunitas ini. Tak ada pembatas, hanya satu rasa yang sama: bangga menjadi bagian dari Makassar Tiger Club.
Dan di situlah saya sadar, motor hanyalah sarana. Yang kita kejar bukan sekadar tujuan di peta, tapi rasa saling memiliki di hati. Malam itu, saat langkah saya meninggalkan Pantai Akkarena, hati terasa penuh. Ada rasa syukur telah menjadi bagian dari momen ini.
Saya merenung di perjalanan pulang: motor hanyalah alat, tawa hanyalah suara, dan pertemuan hanyalah momen sesaat. Namun, persaudaraan, itulah yang abadi. Ia terjalin dari ribuan kilometer yang dilalui bersama, dari pelukan singkat di tikungan perpisahan, dari ingatan bahwa di ujung jalan selalu ada kawan.
Jadi, mari kita jaga persaudaraan ini. Sebab yang akan kita kenang bukan seberapa cepat kita melaju, tapi seberapa hangat kita saling menyapa. Bukan merek motor yang kita pakai, tapi rasa yang kita bawa pulang.
Di balik suara raungan mesin, ada kisah persaudaraan yang tak akan lekang oleh waktu. Dan saya percaya, itulah bahan bakar sejati yang membuat kita terus tumbuh bersama.