
Nilai Tinggi tapi Otak Kosong
Angin sore dari Danau Ketapang Huripjaya Babelan berdesir pelan. Di sebuah saung setengah terbuka, tiga pria duduk bersila di atas tikar pandan.
Rokok kretek mengepul dari tangan Ki Somad, lelaki sepuh yang disegani warga kampung karena kebijaksanaannya. Di depannya, dua guru muda bersandar santai: Syihab, guru Bahasa Inggris di SMP negeri, dan Agus Jekjon, wali kelas SMK swasta yang dikenal galak tapi perhatian.
“Ki,” ujar Syihab membuka percakapan, “saya mau curhat soal murid. Anak murid saya belajar mati-matian buat ujian bahasa Inggris, eh nilainya cuma 76. Tapi temennya yang nyontek dari ChatGPT bisa dapet 98. Semua karena HP dipegang bebas pas ujian.”
Agus menimpali sambil menyeduh kopi, “Bener, Ki. Anak-anak sekarang pinter pegang teknologi, tapi males mikir. Di sekolah saya juga begitu. Guru disuruh ngawasin ujian via HP, tapi gak dikasih pelatihan buat cegah kecurangan. Hasilnya, nilai tinggi tapi otak kosong.”
Ki Somad menyipitkan mata, memperhatikan kedua pemuda itu satu-satu, lalu mengangguk pelan. “Jadi, ceritanya anak-anak pada dapet nilai tinggi bukan karena ngerti, tapi karena ditolongin sama mesin AI. Itu mah bukan kecerdasan, tapi ketergantungan. Yang bahaya di sini bukan AI-nya, tapi takut muridnya yang lupa mikir.”
“Justru itu, Ki,” kata Syihab. “Kami para guru tahu itu salah, tapi kadang serba salah juga. Mau menegur, dibilang nyusahin anak. Kepala sekolah maunya nilai bagus, lulus semua. Orang tua juga maunya anaknya dapet nilai tinggi. Tapi mereka gak lihat prosesnya.”
Agus menambahkan, “Kepala sekolah saya malah bilang, 'Jangan bikin ribet, yang penting anak-anak senang.' Lah, ini sekolah apa tempat piknik, Ki?”
Ki Somad tertawa pendek, lalu menyandarkan punggung ke tiang saung. “Lha iya, zaman udah kebalik. Sekolah jadi tempat ngejar hasil, bukan tempat belajar. Ujian harusnya jadi cermin, bukan jadi panggung sandiwara.”
“Kadang saya sedih, Ki,” kata Syihab, “anak-anak sekarang hafal shortcut nanya AI, tapi gak bisa jelasin kenapa jawabannya begitu.”
“Lebih parah lagi,” timpal Agus, “ditanya Pancasila mikir, disuruh nyanyi lagu nasional malu, suruh shalat bingung rukun. Tapi semua dapet nilai agama 95. Dapet nilai TIK 100, padahal ngopi jawaban dari AI atau grup WhatsApp.”
Ki Somad mengangguk pelan. “Itu tandanya bukan salah anaknya saja, tapi sistemnya juga. Guru gak dikasih kuasa, cuman disuruh jaga. Dinas gak kasih pelatihan, tapi minta angka. Kepala sekolah pengen reputasi, bukan kualitas.”
TUGAS GURU
“Terus, kami harus bagaimana dong, Ki?” tanya Syihab. “Kami kan cuma guru biasa.”
“Justru karena kalian guru biasa, kalian bisa mulai dari hal yang kecil,” ujar Ki Somad tegas. “Bikin soal yang gak bisa dijawab pakai AI, ChatGPT dll. Soal yang butuh pemikiran, bukan pencarian. Suruh mereka analisis, jelaskan, bandingkan. Kalau perlu, suruh diskusi, presentasi.”
Agus terlihat mikir. “Tapi Ki... itu mah makan waktu. Muridnya kan banyak, tapi jam pelajaran sempit.”
“Iya juga yah,” jawab Ki Somad. “Tapi lebih baik sedikit tapi bener-bener ngerti, daripada semua lulus tapi bodong. Ibarat nanem pohon, lebih baik satu tumbuh kuat, daripada seratus tapi layu semua.”
Syihab menghela napas. “Berarti, sebagai guru, kami jangan sekadar ngasih nilai, tapi ngasih arah, ya Ki?”
Ki Somad tersenyum, bijak. “Guru itu bukan tukang nilai, tapi penjaga akal sehat. Bukan hanya transfer ilmu, tapi pembentuk karakter. Kalau anak didik kita makin malas mikir, bisa-bisa masa depan dikuasai mesin. Padahal mesin diciptakan buat bantu manusia, bukan gantiin manusia.”
Guru itu bukan tukang nilai, tapi penjaga akal sehat. Bukan hanya transfer ilmu, tapi pembentuk karakter
“Wah... ngeri juga ya, Ki,” kata Agus sambil menyender. “Kalau diterusin, nanti anak-anak bukan cuma nyontek pake AI, tapi dalam hidupnya pun yang disuruh mikir malah AI.”
“Makanya, sekarang tugas guru bukan cuma ngajarin mata pelajaran,” lanjut Ki Somad, “tapi ngajarin mikir. Ngajarin tanggung jawab. Dan yang paling penting, ngajarin anak buat ngerti bahwa kegagalan itu bagian dari belajar, think less feel more.”
Mereka bertiga diam sejenak. Hanya suara riak danau dan burung sore yang terdengar. Satu-dua anak kecil berlarian di pinggiran air, bebas, tanpa beban.
“Terima kasih, Ki,” ujar Syihab akhirnya. “Obrolan hari ini bikin saya semangat lagi. Kadang guru juga butuh guru.”
Ki Somad tersenyum. “Saya bukan guru. Saya cuma tukang ngopi yang seneng mikir. Tapi kalau mikirnya bisa bantu orang lain, ya syukur.”
Agus tertawa. “Kalau gitu, besok-besok saya bawa murid ke sini aja, Ki. Belajar langsung di saung sama guru kehidupan.”
“Boleh,” jawab Ki Somad sambil meraih kopinya. “Tapi syaratnya satu: mereka harus ninggalin HP-nya di rumah.”
Mereka bertiga tertawa bersama, diiringi cahaya matahari yang perlahan tenggelam di ujung danau, membiarkan senja menyelimuti obrolan penuh makna.