
Sore itu, angin sepoi-sepoi menyapu pelan depan bengkel Kanaya Motor punya Bang Aris di Pulo Timaha, Babelan. Matahari condong ke barat, menciptakan semburat oranye keemasan di langit yang mulai memudar. Bau tanah basah sisa hujan siang tadi masih tercium samar, bercampur dengan aroma oli dan asap knalpot yang menjadi ciri khas bengkel kecil itu.
Di kejauhan, suara anak-anak bermain layangan dan suara bebek di kandang menambah semarak kampung yang sederhana tapi penuh kehidupan. Suasana itu mengundang Ki Somad dan kawan-kawan untuk kembali bercengkerama sambil menyeruput kopi dan membahas peliknya dunia yang kerap meminggirkan rakyat kecil.
"Ki, ini beras naik lagi padahal kata berita stoknya banyak. Gimana sih?" celetuk Sule sambil menyeruput es teh sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
"Iya Ki," timpal Fufu, "di pasar banyak pedagang bilang bukan mereka yang nentuin harga. Katanya dari atas. Tapi kita-kita jadinya yang sengsara."
Aris hanya geleng-geleng, "Gue sih setuju aja harga naik, mudah-mudahan petani tambah sejahtera, tapi kenapa petani kayaknya gak berubah nasibnya yah Ki?."
Ki Somad tersenyum tipis, menghisap dalam kreteknya, lalu mengembuskan asap pelan-pelan seolah melepaskan beban dunia. "Bray," ucapnya pelan, "dalam hidup ini, manusia seringkali lupa bahwa perut yang lapar bisa membuat bangsa goyah. Seperti kata pepatah lama, 'orang bisa bertahan tanpa emas, tapi tidak tanpa sebutir beras.'", lalu menatap kosong ke jalanan yang lengang. "Ini soal lama, Bray. Biang keroknya ya mafia beras."
Oplosan: Bisnis Culas Permainan Beras
"Mafia? Kayak di film-film?" Sule terbelalak, matanya membesar sambil mengangkat kedua alis. Tangannya refleks menunjuk ke depan seolah sedang menirukan adegan film dramatis tembak menembak, membuat yang lain tersenyum geli melihat kelakuannya.
"Mafia beras gak pake pistol Le, tapi pake karung," jawab Ki Somad sambil terkekeh. "Ada program pemerintah namanya SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan). Beras itu disubsidi kayak bensin, harusnya dijual murah buat rakyat. Tapi ada aja oknum yang oplos."
Fufu angguk-angguk. "Aku baca Ki, katanya 80 persen beras SPHP dibongkar, dikemas ulang jadi beras premium, dijual mahal. Untungnya selisih 2.000-5.000 rupiah per kilo."
"Betul," ujar Ki sambil mengetuk ujung cangkir. "Kabarnya malah cuma 20 persen aja yang bener-bener sampai ke rakyat. Sisanya? Oplosan. Negara rugi sampai Rp10 triliun, rakyat lebih parah, kerugian bisa Rp99 triliun."
Aris menghela napas panjang. "Tapi kenapa pemerintah nggak bisa cegah?"
Ki Somad menatap jauh. "Beras itu bukan cuma soal makanan, tapi soal kekuasaan. Dulu zaman Orde Baru juga ada kasus kayak gini. Bedanya, sekarang lebih canggih. Lewat distributor, spekulan, sampe kartel yang mainin harga. Bahkan denger-denger ada permainan dengan menimbun barang agar harga naik."
Sambil menyeruput kopi, Ki Somad melanjutkan, "Dulu ada peribahasa Jawa: 'Wong urip iku kudu cukup sandang, pangan, papan.' Kalau pangan dimonopoli, kesejahteraan rakyat jadi cuma jadi mimpi tengari bolong."
Mafia Beras: Yang Untung Siapa, Yang Rugi Siapa?
"Tapi Ki," Sule menyela, "kalau enggak diuntungin, siapa yang mau jualan? Bukannya semua bisnis emang cari untung?"
Fufu membantah dengan suara lantang, "Tapi ini kan soal kebutuhan dasar, Le. Kalau beras jadi barang mewah, kita-kita ini rakyat kecil yang jadi korban. Ini bukan soal untung rugi biasa. Ini soal hati nurani."
Aris ikut nimbrung, "Gue setuju sama Fufu. Beda kalau dagang motor atau bensin. Ini beras, Le."
Ki Somad tersenyum, menepuk bahu Sule. "Benar semua. Memang manusia boleh cari untung. Tapi ada batas moralnya. Kalau udah main oplosan, main harga seenaknya, yang kempes bukan cuman dompet rakyat, tapi juga martabat pemerintah yang gak becus urus masalahnya."
Ia melanjutkan, "Mafia beras itu ibarat tikus di lumbung padi. Diam-diam makan, tapi yang lapar tetap rakyat. Dan lebih parah, petani pun nggak diuntungkan. Harga gabah mereka malah jatuh. Bayangkan, saat konsumen harus bayar mahal, petani justru dapat harga rendah. Siapa yang diuntungkan?"
"Mafia keparat itu kerjaaanya, Ki," jawab Fufu lirih sambil mengepalkan tangan.
"Nah," angguk Ki Somad. "Itulah kenapa penegakan hukum harus tegas. Nggak cukup cuma sanksi ringan. Karena ini menyangkut hak dasar manusia: pangan. Kejahatan pangan bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi pengkhianatan terhadap kemanusiaan."
Sule tampak berpikir keras, "Jadi intinya bukan soal bisnis biasa ya, Ki?"
Ki Somad mengangguk mantap. "Bukan. Ini soal keadilan. Karena seperti kata Mahatma Gandhi: "Bumi menyediakan secukupnya untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan satu orang."
Bumi menyediakan secukupnya untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan satu orang
Bijak di Tengah Kepalsuan
Angin sore makin lembut. Percakapan di depan bengkel Aris makin syahdu. Ki Somad menatap wajah-wajah muda di sekitarnya.
"Dulu, Bung Hatta pernah bilang: Indonesia merdeka bukan cuma soal bendera, tapi soal rakyat yang bisa makan dengan layak. Nah, kita ini belum sepenuhnya merdeka kalau pangan masih dikendalikan mafia."
Sule terdiam. Fufu menunduk. Aris hanya mengangguk kecil.
"Lantas kita bisa apa, Ki?" tanya Sule pelan.
Ki Somad tersenyum. "Kita bisa mulai dari hal kecil. Beli dari petani langsung kalau bisa. Dukung pasar tradisional yang jujur. Dan jangan diam kalau lihat ketidakadilan. Suara kecil kita lama-lama bisa besar."
Ia menyedot rokok terakhirnya, menatap langit jingga. "Yang bikin bangsa ini tumbuh bukan yang teriak paling keras, tapi yang terus berbuat meski kecil. Jangan sampai karena segenggam beras, kita kehilangan rasa kemanusiaan."
Mereka semua terdiam, larut dalam sore yang pelan-pelan berubah gelap. Suara jangkrik mulai menggema, menambah hening yang penuh makna.
Dalam diam itu, terbersit harapan—bahwa sekecil apapun tindakan, sekecil apapun suara, jika terus dijaga dan disuarakan, ia bisa menjadi gelombang perubahan. Karena negeri ini, seperti yang selalu dikatakan Ki Somad, bukan milik mereka yang serakah, tapi milik mereka yang mau menjaga, mau peduli, dan mau berbagi.
Dan pada akhirnya, bukan soal berapa banyak beras yang kita punya, tapi berapa banyak hati yang tetap bersih dan jujur. Suara adzan maghrib mulai terdengar dari kejauhan.
Di Pulo Timaha Babelan Bekasi, di antara canda dan kopi, sebuah kesadaran kecil tumbuh perlahan. Sebuah tekad lahir dalam keheningan: bahwa mereka tak akan lagi membiarkan segelintir orang mempermainkan nasib banyak orang demi pundi-pundi yang tak akan pernah cukup.