
Mentari siang itu menggantung miring di atas bengkel motor Aris, di Pulo Timaha, Babelan. Bau oli bercampur kopi hitam bikin suasana makin akrab. Di depan bengkel Kanaya Motor, ada bangku kayu seadanya, tempat para pemuda akamsi biasa nongkrong.
"Assalamualaikum, udah ngopi belom?" suara Ki Somad terdengar, sambil menepuk pundak Sule yang sedang memperbaiki tali pramuka yang kusut.
"Waalaikumsalam, Ki! Nih, baru mau ngaduk kopi. Duduk, Ki," sahut Aris, yang bajunya belepotan oli tapi senyumnya tetap cerah.
Fufu, pemuda santuy yang doyan bikin konten dakwah kreatif, langsung nyeletuk, "Ngomong-ngomong, Ki, kemarin saya liat postingan ente di Facebook soal Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu buruh. Kok bisa, Ki? PNS mah abdi negara, bukan buruh kuli bangunan..."
Sule nyengir, “Nah iya, Ki. Ane juga bingung. Ane punya mamang PNS, kalo dibilang buruh, bisa-bisa diapus dari silsilah kuarga!”
Ki Somad menghela napas pelan, mengeluarkan kretek, lalu menyulutnya sambil berkata, "Hehe... Nah, ini nih yang saya suka dari nongkrong di bengkel. Kongko ngalor ngidul, tapi bisa dalam. Yuk kita coba bahas pelan-pelan."
Definisi Buruh Secara Umum
"Anak muda," Ki Somad mulai, “Kalian semua tahu kan, buruh itu siapa?”
“Yang kerja di pabrik, Ki,” jawab Aris sambil nyeruput kopi.
“Yang ngangkat-ngangkat karung di pasar,” tambah Fufu.
“Yang demo mulu tiap Mei,” timpal Sule sambil terkekeh.
Ki Somad tersenyum, "Nah itu dia. Jadi gini, secara sederhana, definisi buruh itu siapa pun yang bekerja untuk orang lain dan dibayar. Sederhana banget arti katanya. Bahkan pemain bola yang digaji klubnya itu juga buruh."
Aris manggut-manggut. “Lah kalo begitu, saya juga buruh dong, Ki?”
"Betul. Lu pan kerja untuk pelanggan. Lu dibayar buat jasa lu. Lu bukan pengusaha besar yang bikin aturan gaji sendiri kan?."
Fufu langsung nyeletuk, "Tapi kan PNS itu digaji ama negara, Ki. Beda dong sama buruh pabrik."
“Justru karena digaji itulah mereka buruh, Fu,” jawab Ki Somad. “Sumber gaji bukan masalah. Mau dari negara, perusahaan, atau lembaga sosial selama lu digaji karena kerja buat pihak lain, ya elu memenuhi syarat untuk disebut buruh.”
PNS, Buruh, dan Menantu Idaman
Sule nyelutuk, “Tapi Ki, jujur aja yak, banyak PNS itu gengsi dibilang buruh. Katanya sih karena kerjaannya beda.”
Ki Somad nyengir, "Iya saya ngerti. Banyak temen saya juga gitu. Apalagi dulu pas saya masih aktif. Mereka ngerasa profesinya mulia, terhormat, intinya beda kasta."
“Padahal kan semua pekerjaan halal itu terhormat, ya, Ki?” tanya Fufu sambil menggaruk kepala.
“Puguh, bener banget, Fu. Masalahnya, masyarakat kita suka mengkultuskan profesi tertentu. Jadi ASN tuh kayak menantu idaman. Padahal yang jadi kuli bangunan juga bisa jadi imam yang baik buat keluarga, suami setia, ayah tangguh. Tapi kan jarang dipromosi'in begitu,” ucap Ki Somad sambil melirik si eneng botoh tetangganya Aris yang dari tadi mondar-mandir nyari perhatian.
Aris nyeletuk, “Makanya, jangan liat kerjaannya doang. Liat manusianya juga.” Ki Somad sedikit kaget, tersadar dari lamunan.
“Pinter!” seru Ki Somad sambil ngerasain mukanya rada anget kayak disindir Aris. “Tapi banyak nyang lupa. Jadi ASN tuh kadang bikin orang lupa diri. Merasa lebih tinggi dari yang lain. Padahal, hakikatnya sama ajah. Sama-sama makan gaji, sama-sama kerja buat orang lain.”

Buruh Itu Soal Relasi, Bukan Gengsi
Sule terlihat merenung. “Tapi Ki, bukannya buruh itu bisa demo, berserikat. Sementara PNS nggak bisa? Masa iya masih bisa disamain?”
Ki Somad mengangguk pelan, "Itu bener. Tapi itu soal hak, bukan soal status. Hak buruh lebih luas. Tapi bukan berarti PNS keluar dari definisi buruh. Justru karena nggak bisa demo itu, ASN sering sambat di belakang layar, curhat di medsos dan lain-lain."
Aris menimpali, "Gajinya naik cuman pas tahun politik, ya Ki?"
“Wah itu...,” Ki Somad terkekeh. “Makanya saya sering bilang, kalau ASN sadar mereka juga buruh, mungkin mereka akan lebih kompak menuntut perbaikan hak. Bukan diem, nunggu rezeki jatuh dari langit.”
Fufu angguk-angguk. “Jadi selama ini, masalahnya bukan di definisinya, tapi di pemahaman dan ego sama gengsi ya, Ki?”
“Hmmm mungkin juga,” jawab Ki Somad. “Kadang kita terlalu mikir apa kata orang. Takut dibilang kelas bawah. Padahal, yang bikin pekerjaan jadi mulia itu bukan profesinya, tapi ketulusannya.”
"Secara definisi, ASN (Aparatur Sipil Negara) dapat dianggap sebagai buruh karena mereka bekerja untuk mendapatkan upah atau kompensasi. Tapi, dalam konteks hukum, status PNS sebagai ASN dan keterbatasan dalam hak berserikat menyebabkan ASN enggak sepenuhnya bisa dianggap sebagai buruh dalam konteks hukum ketenagakerjaan dan serikat pekerja."
Sore Menjelang Maghrib
Angin sore mulai berembus, membawa aroma pepohonan dan riuh keceriaan suara anak-anak main bola di lapangan SMA Attaqwa 02 dekat bengkel.
“Ki, kalo semua mikir kayak ente, mungkin buruh sama PNS bisa saling dukung, ya?” ujar Sule.
Ki Somad tersenyum, “Itu impian saya, Le. Kesadaran kelas. Kalo semua sadar bahwa kita ini buruh, mulai dari guru sampai tukang parkir, kita bisa saling bantu. Nggak nyinyir, nggak saling meremehkan.”
Fufu menambahkan, “Jadi, nggak perlu malu jadi buruh, ya Ki?”
“Bangga, Fu. Karena kita hidup dari kerja. Dan kerja, kalau diniatkan baik, itu ibadah.”
Tiga pemuda itu terdiam sejenak, menatap langit. Obrolan yang awalnya canda, berubah jadi perenungan.
"Yuk, ini digadoh pisang gorengnya, refill dulu. Diskusi belum selesai, tapi perut kudu diisi," seru Ki Somad, menutup sesi diskusi dengan tawa kecil dan seteguk kopi pahit.