Lakum Dinukum Waliyadin Versi Kenangan Saya

Mari saling bantu. Saling menghormati. Pada akhirnya, kita semua sedang berjalan pulang—meski lewat jalan berbeda. Lakum dinukum waliyadin versi saya

Sekitar tahun 1994 saat saya jadi pengangguran sukses — Siang itu cukup terik. Saya dan Erik Satiri (yang kini tinggal di Kalimalang, Cikarang) duduk santai di pinggir jalan. Rumput liar menjadi alas tempat kami rebahan, melepas lelah setelah berkeliling ngamen dari rumah ke rumah. 

Gitar ¾ yang saya bawa—katanya sih gitar cewek karena lebih kecil—menemani kami. Si sexy berdawai 6 itu pinjaman dari Dalian, yang dulu jadi drummer band kami dan kini, kabarnya, sudah jadi pilot penerbangan komersil. Dulu dia tinggal di Komplek Kavling Diskum TNI AD, Cipinang Muara.

Sambil menyeruput es teh, kami ngobrol santai di trotoar dekat lapangan tenis Cipinang Elok, persis di samping SMPN 52. Hari itu terasa tenang, gak ada target, gak ada beban.

Lakum Dinukum Waliyadin Versi Kenangan Saya

Main Gitar di Acara Kebaktian

Tiba-tiba, dari arah Blok AK*, datang seorang ibu paruh baya. Wajahnya cerah, senyumnya hangat. Saat mendekat, ia menyapa dengan kalimat yang cukup mengejutkan:

“Puji Tuhan, sepertinya pertemuan ini sudah direncanakan.”

Saya dan Erik saling melirik. mungkin Erik juga berpikiran sama dengan saya, "Siapa ya, ibu ini?"

Singkat cerita ibu tadi memperkenalkan diri, meski saya sudah lupa namanya sekarang. Intinya, beliau sedang butuh bantuan. Besok akan ada kebaktian di rumahnya, tapi gitaris yang biasa menemani tidak bisa hadir. Ia berharap saya bisa menggantikan.

Saya coba menjelaskan bahwa kami hanya pengamen jalanan amatir. Lagu pop saja kadang masih salah-salah dan semau-maunya, apalagi lagu rohani. Tapi ibu itu tetap tersenyum. Ucapannya lembut, permintaannya sopan, dan raut wajahnya penuh harap.

“Bu, saya enggak ngerti lagu-lagu kebaktian. Kalau Ibu tetap butuh bantuan, kami bisa datang, tapi sebaiknya tetap ada pemain dari komunitas yang paham lagunya,” saya mencoba menolak dengan halus.

Namun, ketulusan ibu itu meluluhkan hati saya. Kami pun sepakat datang besok, dengan syarat tetap ada pemain utama dari pihak beliau.

Hari itu juga, ibu yang keturunan Tionghoa ini mengajak saya ke rumahnya. Ia menunjukkan buku lagu lengkap dengan chord dan kode irama. Tampaknya buku resmi, karena di masa itu belum umum orang mencetak buku sendiri sekalipun hanya kompilasi print-out komputer.

Satu lagu yang saya ingat betul berjudul Tahun Yobel. Judulnya unik dan menarik perhatian saya. Dari situ saya menyimpulkan bahwa beliau mungkin berasal dari komunitas Kristen Protestan Pentakosta.

Keesokan harinya, saya dan Erik datang lebih awal. Kami pelajari beberapa lagu dari buku itu. Syukurlah, ada pemuda yang datang juga, ia mahir bermain gitar dan paham betul lagu-lagu rohani tersebut. Saya hanya perlu mengisi ritme dan sesekali menambahkan warna musik. Tidak terlalu sulit karena ada yang memimpin.

Lakum Dinukum Waliyadin Versi Kenangan Saya

Erik ikut juga, mungkin lebih karena rasa sungkan. Tapi dari wajahnya, saya tahu dia tidak terlalu nyaman.

Acara kebaktian berjalan hangat, penuh doa dan puji-pujian. Saya pribadi tidak terlalu paham isi ibadahnya, saya hanya fokus memainkan gitar sebaik mungkin.

Lakum dinukum waliyadin

Setelah acara selesai, ibu itu tampak bahagia. Beliau mengucapkan terima kasih dan memberi kami sejumlah uang. Tidak besar, tapi cukup—lebih dari cukup dibanding ngamen keliling belasan rumah. Kami pun pamit pulang dengan senyum.

Sore harinya, kami duduk lagi. Kali ini di warung Bang Jack Sani, Jalan Perintis, simpang Jalan Basuki Rahmat, depan taman kecil dekat sekretariat RW 014 Cipinang Muara. Mie instan jadi teman ngobrol sambil melihat matahari perlahan tenggelam.

“Gue gak bakal mau lagi diajak ke acara kayak gitu,” kata Erik tiba-tiba.

Saya hanya tersenyum. “Santai aja. Kita udah janji sekali, dan itu juga gak ngaruh ke iman kita, kan? Kita cuma bantu main gitar, daripada ngamen keliling jauh.”

Erik mengangguk pelan, meski saya tahu dia belum sepenuhnya lega.

Bagi saya, pengalaman itu sangat berharga. Itu bukan sekadar soal main gitar. Tapi tentang belajar makna toleransi dan saling menghormati antar-keyakinan. Saya tidak merasa sedang terlibat dalam ibadah secara keimanan, karena posisi saya hanya sebagai pengiring lagu—dalam konteks sosial, bukan spiritual.

Saya lahir dan besar dalam keluarga Islam. Sejak kecil belajar mengaji dari berbagai ustaz, hingga sempat masuk sekolah diniyah di madrasah. Tapi saya juga belajar satu hal penting: keyakinan itu tidak rapuh hanya karena kita hadir dalam perbedaan.

Justru dari pengalaman itu, saya belajar membedakan antara akidah dan muamalah—antara hal yang menyangkut iman dan interaksi sosial. Saya percaya pada firman Allah:

"Lakum dinukum waliyadin." Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.

Ayat ini bukan hanya soal perbedaan, tapi tentang jaminan perlindungan terhadap keyakinan masing-masing. Tentang hak setiap orang untuk beribadah secara merdeka dengan damai, tanpa paksaan tanpa gangguan.

Kalau ada yang bilang saya salah karena hadir di kebaktian kristiani, silakan. Jika memang itu kesalahan di mata Tuhan, saya akan mohon ampun kepada-Nya. Tapi saya tidak akan merasa bersalah hanya karena membantu sesama manusia, selama tindakan saya tidak menodai keimanan saya sendiri.

Yang saya ingat dari pengalaman itu bukan lagunya, bukan juga gitarnya. Tapi wajah ibu itu. Senyumnya. Cara beliau memperlakukan saya dan Erik—dengan hormat, seperti anak sendiri.

“Kebaikan itu tak selalu datang dari arah yang sama.”

Kadang kebaikan muncul dari orang yang berbeda keyakinan, tapi punya hati yang sama: ingin menolong.

Toleransi bukan tentang menyetujui semuanya. Tapi tentang tetap menghormati, meski berbeda. Tetap menolong, walau bukan satu golongan. Dan tetap manusia—di dunia yang kadang penuh batas dan tembok.

Saya tidak menulis ini untuk memamerkan toleransi. Tidak juga ingin jadi pahlawan cinta damai. Saya hanya ingin mengajak siapa pun yang membaca: lihatlah dunia sedikit lebih terbuka. Karena hidup ini terlalu luas untuk disempitkan oleh prasangka.

Mari saling bantu. Saling menghormati. Saling menguatkan. Pada akhirnya, kita semua hanya sedang berjalan pulang—meski lewat jalan yang berbeda.

“Hidup bukan tentang siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling tulus untuk saling memahami.”

Jika cerita ini menyentuh atau membuka cara pandangmu, alhamdulillah. Bukan karena indahnya kenangan saya ini, tapi karena mungkin kita semua memang sedang butuh sedikit cerita baik hari ini.

-----------------------

*Blok AK saya ingat baik, karena ada teman SMA yang tinggal tak jauh dari tempat kami duduk-duduk di trotoar saat itu. Dia sekarang menjadi ibu yang baik dan terakhir saya bertemu ia berkarir di Angkasa Pura Bandara Soekarno Hatta Cengkareng.

Ilustrasi dibuat dengan Gemini AI menggunakan gaya anime dan tidak menggambarkan suasana yang sebenarnya karena saya juga sudah lupa detailnya :)

Posting Komentar

No Spam, Please.