Curhat Anak Terakhir

menjadi anak terakhir terkadang membuat seseorang sakit mental, tertekan, overthingking, banyak tuntutan, harus seperti ini dan itu. Curhat.

Dalam kehidupan berkeluarga, sepasang suami dan istri sudah pasti berharap memiliki buah hati. Tidak sedikit darinya bahkan berencana untuk mendapat kepercayaan ini lebih dari 1 orang anak. Tapi sayangnya, memang benar manusia hanya bisa berencana Allah yang menentukan semuanya. 

Sampai hari ini masih banyak keluarga yang belum diberikan kepercayaan untuk memiliki seorang anak. Dan adanya aku adalah titipan yang diberikan untuk orang tuaku.
Hai perkenalkan, aku adalah anak bungsu, ya anak perempuan terakhir dari 6 bersaudara. Orangtuaku memiliki 3 orang anak laki-laki dan 3 orang anak perempuan, dan aku menjadi yang paling kecil di antara yang lain.

Mungkin kalian akan sedikit bertanya-tanya mengapa aku menulis cerita atau curahan hati (curhat) ini. Hmmm, lebih tepatnya aku ingin berbagi pandangan dan cara aku bertahan hidup menjadi anak perempuan terakhir. 

Menjadi anak terakhir bukan sebuah kisah yang mudah, setidaknya menurut pengalamanku. Mungkin dalam pikiran orang-orang di sekitar, anak terakhir akan terus menjadi anak yang paling manja dan merepotkan. Tapi tidak dalam sejarah hidupku. Aku memang pernah manja, merepotkan pun sering, tapi kurasa semua akan ada masanya, karena itu semua terjadi sebelum anak kecil ini tumbuh besar. 

Seiring berjalannya waktu, aku pun mulai mengerti banyak hal, aku semakin bingung dengan satu hal, kenapa orang-orang beranggapan bahwa kehidupan seorang anak terakhir itu mudah?

Padahal yang sebenarnya terjadi, yang aku pahami, semua harapan yang tidak bisa diwujudkan oleh kakak-kakaknya dibebankan pada si anak terakhir. Sangat salah jika masih ada yang menganggap ini mudah. Karena aku juga merasakan beban itu dan kesulitan.

Oh iya, bahkan menjadi anak terakhir terkadang membuat seseorang sakit mental, tertekan, overthingking, banyak tuntutan, harus seperti ini dan itu. Bayangkan, anak yang dari kecil dimanja pas tumbuh besar mendapat beban yang berat.

Curhat Anak Terakhir

Dulu, sebelum sampai di hari ini aku pernah begitu ceria menjadi anak terakhir, sangat sangat ceria dan bahagia.

Ya, itu memang dulu, sebelum aku menyadari bahwa ANAK TERAKHIR ADALAH HARAPAN TERAKHIR. Yang awalnya cuma mau main-main sekarang harus rajin. Yang awalnya tenang sekarang malah sering bimbang. Berbalik dan berbelit.

Tapi tidak selesai dengan begitu saja. Tidak menjadi hari akhir juga bagi seseorang. Karena bagiku, beban baru ini adalah perjalanan, proses dan derita yang kelak akan menjadi cerita.

Menurutku juga, yang akan membantu seseorang melewati jalan ini hanyalah sebuah kepercayaan. Terlebih percaya pada Allah dan diri sendiri. Meyakinkan diri bahwa proses ini akan terlewati dengan baik dan sempurna di akhir nanti. Begitu juga dengan hasilnya, semua yang diusahakan akan didapatkan di waktu yang paling tepat.

Entah apa yang penting dalam tulisan ini. Tapi setidaknya, kalian tahu, kalian tidak sendiri, banyak sekali anak terakhir yang menjadi harapan terakhir. Bukan hanya kalian yang sangat terobsesi untuk berhasil karena beban ini, tapi aku dan yang lainnya juga sama. 

Mari buktikan bahwa anak terakhir tidak selamanya merepotkan. Kita akan punya masa depan untuk mengurangi beban. Kita akan mengubah pola pikir orang-orang yang terus menganggap kita lemah. 

Meski tidak mudah, untuk sukses memang butuh pengorbanan. Jadi, mari kita kuatkan lagi fisik dan mental kita. Perjalanan anak terakhir akan selalu terjal dan sulit. 

Semoga kita sampai pada akhir cerita yang tidak rumit.


-tulisaniphii-

2 komentar

  1. Seperti bercermin ya hehehe. Anak bungsu dari 6 bersaudara, 3 laki-laki, 3 perempuan. Tapi pada akhirnya anak bungsu (saya) bertanggung jawab pada rumah induk dan merawat orangtua. Asyik-asyik saja :D fun-fun saja.
    1. Lupa kalo Tuteh juga anak bungsu hahaha, yayaya anak bungsu yg terakhir tinggalkan rumah jadi diharapkan bisa merawat orangtua dan rumah induk yah :)
No Spam, Please.