
Sore itu, depan Bengkel Aris di Pulo Timaha ramai seperti biasa. Udara dipenuhi perpaduan unik antara bau oli mesin yang tajam dan aroma gurih gorengan yang baru saja dibawa Sule dari warung seberang.
Fufu, petugas keamanan perusahaan yang gandrung teknologi, sedang memamerkan rekaman CCTV di ponselnya kepada Aris. Sementara itu, Ki Somad duduk santai meja kerja, asik dengan rokok kretek dan kopinya, persis seperti seorang mandor yang tengah mengamati kegiatan pekerjanya.
“Ki, saya kemarin dikritik atasan,” keluh Sule seraya menjatuhkan diri ke bangku kayu di sebelah Ki Somad. Ia tampak lesu. “Katanya laporan saya acak-acakan. Padahal, demi Allah, saya udah rapihin. Sumpah, Ki… hati rasanya kayak dibejek-bejek*.”
Fufu terkikik geli. “Lu mah baperan, Le. Disinggung dikit langsung purik*.”
“Ah lu jangan sok kuat dah,” balas Sule, matanya melotot. “Lu sendiri kemarin dibilang lambat sama komandan, ngambek dua hari. Jangan pura-pura kuat.”
Aris, yang dari tadi fokus mengelap velg motor, langsung menyela, “Udah, jangan pada ribut di bengkel gue dong. Serius, rezeki gue bisa kabur kalau energi negatif makin tebal.”
Ki Somad tersenyum tipis. “Wah, topik kritik, ya. Menarik. Sini, sini… daripada ocehan kalian enggak karuan, mending kita bahas intinya.”
Kritik Hanya Suara Orang, Bukan Definisi Diri
Sule menatap Ki Somad penuh harap, mencari pencerahan. “Terus, saya harus bagaimana, Ki? Rasanya sakit sekali.”
Ki Somad menggaruk jenggot tipisnya. “Sule, kritik atasanmu itu bukan fakta mutlak. Itu hanya opini yang bisa jadi dipengaruhi oleh mood-nya, pengalamannya, atau bahkan bisa jadi karena dia sedang lapar.”
Fufu tertawa terbahak-bahak. “Berarti kalau orang lagi lapar, kritiknya jadi tambah pedas ya, Ki?”
“Puguh!*,” jawab Ki Somad. “Dalam psikologi sosial, 70 persen rasa sakit dari kritik itu justru datang bukan dari kata-katanya, melainkan dari narasi negatif yang kita ciptakan sendiri di kepala.”
Aris ikut menimpali sambil meletakkan lapnya. “Kayak gue kemarin. Ada yang bilang gue gemukan. Gue hampir marah, tapi setelah itu gue sadar: ya emang gue lagi banyak makan, terus kenapa?”
Semua orang tertawa ringan.
Ki Somad menepuk paha. “Tuh, denger. Kadang, bukan kritiknya yang membuat kita jatuh, tapi cara kita memaknai atau memahaminya.”
Sule mengangguk pelan, seolah baru menemukan benang merah masalahnya. “Berarti masalahnya berawal dari pikiran saya sendiri, ya, Ki…”
Jeda Sebelum Menelan Makna
Obrolan berlanjut, suasananya semakin hangat dan akrab. Ki Somad mencondongkan badan ke depan.
“Kalian tahu ajaran stoikisme?” tanyanya. “Mereka mengajarkan satu hal fundamental: kasih jeda sebelum merespons. Jangan semua kata orang kalian telan mentah-mentah.”
Aris menggeleng-gelengkan kepala. “Kayak jeda sebelum buka tagihan listrik, Ki. Kalau langsung buka, auto pingsan.”
Tawa pecah lagi.
Ki Somad melanjutkan, “Ketika ada orang melontarkan candaan yang kasar, kalian punya pilihan untuk memasukkannya ke hati atau tidak. Kalian punya kontrol itu, bukan mereka.”
Fufu tiba-tiba menjadi serius. “Ki, kalau ada yang bilang muka saya mirip tutup galon, itu harusnya saya masukin hati atau enggak?”
“Lihat dulu, Fu,” jawab Ki Somad. “Kalau itu hanya candaan, balas dengan candaan yang sama. Kalau itu hinaan, nilai dulu relevansinya. Biasanya sih, tidak ada kaitan sama sekali dengan pribadi atau wajahmu.”
Sule menyenggol lengan Fufu. “Tapi mirip sedikit, Fu…”
Fufu pura-pura melempar lap oli ke arah Sule. Ki Somad tertawa kecil. “Tuh, kan. Itu contoh orang yang bereaksi tanpa jeda,” kata Sule sambil mengelak.
Emosi Itu Tamu, Bukan Pemilik Rumah
Angin sore mulai bertiup pelan, membuat suasana makin sejuk. Ki Somad kembali bersuara. “Sule, merasa sakit hati itu wajar, manusiawi. Tapi ingat, emosi itu cuma reaksi, bukan identitas. Itu bukan nilai dirimu yang sesungguhnya.”
Ia menambahkan, “Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad bersabda: orang kuat itu bukan yang pandai berkelahi, tapi yang bisa menahan diri saat marah. Artinya, kekuatan sejati ada pada kemampuan mengerem emosi, bukan mengikutinya.”
Dari Abu Hurariah r.a. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, "Bukanlah orang yang kuat itu dengan banyaknya berkelahi, sesungguhnya orang-orang yang kuat ialah orang yang dapat menguasai dirinya di waktu sedang marah." (Muttafaq 'alaih) [Riyadus Sholihin Bab 3 Sabar, Hadist nomor 45 - Shahih Al-Bukhari no. 6114. Muslim no. 2609]
Sule terdiam cukup lama, merenungkan perkataan itu. “Berarti kemarin saya terlalu terbawa emosi, ya, Ki…”
“Tepat,” jawab Ki Somad dengan nada yang lembut. “Seharusnya, fokusmu adalah pada apa yang bisa kamu perbaiki dari laporan itu, bukan pada emosi dan rasa sakit yang timbul.”
Belajar Melihat Ukuran Masalah
Aris tiba-tiba mengangkat tangan. “Ki, kalau orang mengatai saya gendut, itu masuk kritik serius atau kritik receh?”
“Receh banget,” jawab Ki Somad tanpa pikir panjang. “Selama hidup kita berjalan, pekerjaan lancar, dan badan sehat, komentar seperti itu cuman seperti debu yang menempel sebentar.”
Fufu ikut menanggapi dengan ceria, “Iya, Ris. Lu tuh bukan gendut. Lu kenyang.”
“Elu sama Sule berdua bakalan gue tagih servis motor lebih mahal,” ancam Aris sambil tersenyum lebar.
Ki Somad tertawa. “Nah, itu poinnya. Banyak ejekan dan kritik yang sebenarnya kecil. Tapi, pikiran kita justru membesarkannya. Padahal, besok lusa hal itu sudah tidak relevan lagi.”
Menjadi Pengamat, Bukan Korban
Suasana bengkel mulai sepi pengunjung, tetapi obrolan mereka justru semakin mendalam.
Ki Somad menegaskan, “Kalau ada kritik, jangan langsung mengambil posisi sebagai korban. Jadilah pengamat. Dengarkan baik-baik, amati, ambil poin logisnya, dan buang segala dramanya.”
“Seperti CCTV, ya, Ki?” tanya Sule.
“Benar,” jawab Ki Somad. “CCTV merekam tanpa baper.”
Fufu mendongak dengan bangga. “Makanya, CCTV itu penting.”
“Yang penting tuh bukan CCTV-nya, Fu,” sela Aris. “Yang penting lu jangan lebay.”
Kekuatan Ada pada Fokus Diri, Bukan Validasi Orang
Obrolan mereka mencapai bagian penutup. Ki Somad menatap mata mereka satu per satu.
“Semakin kalian mencari validasi dari luar, semakin fragile (rapuh) diri kalian,” katanya. “Orang akan dengan mudah menjatuhkan kalian hanya dengan satu kalimat pendek.”
Sule menelan ludah. “Kayaknya selama ini saya bekerja untuk dipuji, Ki. Pantas gampang tumbang.”
“Bekerjalah untuk meningkatkan nilai dirimu sendiri,” nasihat Ki Somad. “Dengan begitu, kritik hanya akan menjadi bumbu penyedap, bukan vonis yang menghancurkan.”
Renungan Senja Ki Somad
Angin dari arah lapangan sekolahan di samping bengkel berhembus pelan, membawa aroma senja yang khas. Ki Somad bersandar ke sandaran kursi, menatap langit jingga.
“Hidup itu seperti naik motor,” katanya dengan nada pelan namun tegas. “Sepanjang perjalanan, orang akan berteriak, ada yang nyinyir, ada yang memuji. Tapi, setang yang menentukan arah motor itu ada di tangan kita.”
Ia tersenyum hangat. “Kritik itu bukan ancaman. Yang berbahaya adalah cerita jelek yang kita ciptakan sendiri di dalam kepala kita. Kalau hati sudah tenang, hinaan orang hanya akan lewat seperti angin.”
Sule, Fufu, dan Aris sama-sama mengangguk, seolah baru saja disadarkan oleh sebuah tamparan lembut.
“Intinya,” tambah Ki Somad sambil terkekeh kecil, “jangan baper melulu. Hidup udah berat tanpa perlu ditambah beban pikiran sendiri.”
____________
purik = ngambek