
Siang itu, matahari Bekasi lagi galak-galaknya. Asap knalpot bercampur bau oli bikin udara di depan bengkel Aris terasa khas, kalau kata orang kota, aroma industrial. Tapi buat kami yang sering nongkrong di sini, itu cuma bau sehari-hari.
Aris lagi jongkok di depan mesin motor, sibuk bongkar pasang spare part. Sule duduk di meja bengkel sambil terus membuka media sosial, sedangkan Fufu menikmati kopinya sambil berdendang diiringi lagu dangdut dari stasiun radio FM ternama di Bekasi. Ki Somad, seperti biasa, mondar mandir santai, ngudud kretek sambil menatap jalanan Pulo Timaha Babelan yang sepi-sepi panas.
“Eh, bray pada liat berita nggak?” Fufu tiba-tiba nyeletuk. “Ada resto kena kasus Hak Cipta gara-gara muterin lagu hits, trus katanya sekarang ada restoran yang sampe narikin dan masukin ‘biaya royalti musik’ di struk tagihan. Hadeh, ini dunia udah makin aneh.”
Sule langsung menimpali, “Waduh, kalo gitu bahaya, Fu. Jangan-jangan nanti kita beli cilok juga ditagih ‘biaya dengar musik dangdut abang-abang’.”
Aris nyelutuk sambil nggak lepasin pandangan dari mesin motor, “Lah, di sini kan tiap sore ada tukang bakso yang muter lagu dangdut lewat speakernya. Jangan-jangan dia juga harus bayar royalti, tuh.”
Ki Somad nyengir tipis. “Lu lu pada tu ye, kagak salah sih kalau ngobrol, tapi salah banget kalau sampe nggak nyari tahu dulu faktanya. Itu masalahnya bukan di musiknya, tapi di cara restoran ngehitung dan narik duit royalti.”
Fufu penasaran, “Maksudnya gimana, Ki? Bukannya royalti musik emang harus dibayar?”
LMKN - Lembaga Manajemen Kolektif Nasional
Ki Somad hembusin asap pelan. “Iya bener, tapi yang bayar itu ya pelaku usaha yang muter lagu buat bikin suasana enak di tempat mereka. Restoran, kafe, hotel, itu masuk kategori komersial. Mereka bayar royalti tahunan ke LMK atau LMKN, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional. Nah, duit royalti itu nantinya dibagi-bagi ke pencipta lagu, penyanyi, produser, semua yang punya hak.”
Sule mengerutkan dahi. “Jadi, pelanggan nggak harus bayar, gitu?”
“Ya jelas kagak,” kata Ki Somad. “Kita ke resto kan buat makan, bukan buat patungan bayar playlist. Royalti itu bagian dari biaya operasional mereka, sama kayak bayar listrik atau gaji karyawan. Kalau mau dimasukin ke harga menu, silakan, tapi nggak boleh ditagih terpisah di struk.”
Aris angkat kepala, ikut nyamber. “Lah, kalo mereka tetep narik biaya di struk gimana, Ki?”
“Itu bisa melanggar UU Perlindungan Konsumen. Pasal 10 bilang pelaku usaha dilarang bikin pernyataan yang menyesatkan soal harga. Sanksinya? Bisa kena penjara lima tahun atau denda dua miliar. Bukannya untung, malah buntung,” jawab Ki Somad sambil nyeruput kopi hitamnya.
Fufu ketawa, “Lah, kalo logika mereka bener, nanti kita bisa kena ‘biaya sewa sendok’ atau ‘biaya liat piring’. Ribet amat hidup.”
Sule mengangguk, “Bener tuh. Bayangin kalo kita ke bengkel Aris, terus ada tagihan ‘biaya dengar radio’.”
Aris ikut ngakak. “Kalo gitu, gue tambahin juga ‘biaya hirup bau oli’ biar lengkap, puas puas?.” mengikuti gaya Tukul Arwana.
Semua ketawa, tapi Ki Somad cuma geleng-geleng. “Lu pada ini memang kreatif, tapi inget, kasus kayak gini tuh gampang bikin salah paham. Apalagi kalo udah masuk media sosial. Kadang foto atau struk yang beredar itu belum tentu asli. Bisa editan. Tapi netizen kan cepet banget nyamber tanpa nunggu verifikasi.”
Fufu nyeletuk lagi, “Ya namanya juga netizen, Ki. Viral dulu, klarifikasi belakangan.”
“Dan itu masalahnya,” kata Ki Somad. “Bedain antara ‘viral’ sama ‘vital’. Viral itu rame, cepet nyebar. Vital itu penting, bikin kita ngerti duduk perkara. Kalo cuma ngejar viral, kebenaran bisa tenggelam. Media dan netizen seharusnya nyari fakta dan kebenaran, bukan cuma sensasi.”

Soal Royalti Musik
Sule manggut-manggut, “Berarti kasus royalti musik ini bukan akal-akalan musisi ya, Ki?”
“Bukan,” jawab Ki Somad tegas. “Hak cipta itu dibuat buat melindungi karya, supaya pencipta, penyanyi, musisi, semua yang terlibat dapet penghargaan yang layak. Masalahnya, orang sering salah paham gara-gara info setengah matang.”
Aris lalu nanya, “Terus kalo ada penyanyi di kafe bawain lagu sendiri, tetep bayar royalti nggak?”
Ki Somad tersenyum. “Kalau penyanyi itu masih pegang hak ekonominya, ya nggak perlu bayar ke pihak lain. Tapi kalo hak ekonominya udah dijual ke produser atau penerbit, ya yang punya tempat tetep wajib bayar ke mereka. Penyanyi cuma dibayar jasanya, nggak ngurusin royalti di tempat itu.”
Sule garuk kepala. “Wih, ribet juga ya aturannya.”
“Makanya, jangan males baca dan nanya,” kata Ki Somad. “Royalti musik itu kayak bayar tiket buat masuk ke dunia yang diciptain orang lain. Kita nikmatin, mereka dapet penghargaan. Cuma, jalurnya harus bener, jangan sampai ngerugiin orang yang nggak ada hubungannya.”
Musik bukan sekadar hiburan tapi jiwa dari suasana
Fufu senyum-senyum, “Jadi kesimpulannya, kalo gue denger lagu di bengkel Aris, gue nggak usah patungan bayar royalti, kan?”
Ki Somad langsung ketawa, “Yang lu patungan bayar cuman kopi aja, Fu. Musiknya gratis, bonus dari radio FM butut Aris itu.”
Semua pecah ketawa. Suasana panas siang itu jadi agak adem. Motor yang diperbaiki Aris pelan-pelan hidup lagi, dan suara dangdut dari radio kecil di sudut bengkel mengalun, tanpa tagihan di struk tagihan.
------------
Kadang kita lupa, lagu yang kita dengar sambil makan di resto, ngopi di kafe, atau nunggu motor di bengkel, bukan ujug-ujug datang dari tiupan angin. Di baliknya ada kesenian dan musisi yang begadang menulis lirik dan lagu, ada pemain musik yang berkeringat di studio, ada produser yang memoles sampai terdengar enak di telinga. Royalti musik adalah cara sederhana kita menghargai semua kerja itu.
Royalti bukan pajak untuk pemerintah, uangnya tidak masuk kas negara, tapi hak yang langsung disalurkan lewat LMKN kepada para pencipta dan pemilik hak.
Sayangnya, LMKN masih kurang dalam sosialisasi. Banyak pelaku usaha dan masyarakat yang salah paham, mengira ini pungutan pemerintah atau akal-akalan industri musik. Padahal, yang dibutuhkan hanya penjelasan yang jernih dan konsisten, agar publik mengerti bahwa membayar royalti bukan beban, melainkan bentuk penghormatan.
Sebab musik bukan sekadar hiburan—ia adalah nyawa dari suasana, dan setiap nyawa pantas dihargai.