
Dua gelas lain ada di depan Sule dan Fufu. Aris baru datang membawa sebungkus gorengan. Tapi pagi itu, tak seperti biasanya. Tawa yang biasanya mewarnai obrolan mereka pagi-pagi, mendadak lenyap.
"Gue yang keluar duit, gue juga yang punya ide, ya wajar dong kalau pembagian keuntungannya 70% buat gue," kata Sule, pelan tapi tegas. Tangannya mencengkeram gelas plastik berisi kopi susu, bibirnya setengah manyun.
Aris mengernyit. “Tapi kan gue yang sediain tempat, alat, skill ngerjain motor. Tanpa bengkel ini, lo nggak bakal bisa jualan juga, Sule.”
Fufu menimpali lirih, “Gue juga muter-muter nyari langganan, ampe ngiklan di medsos. Nggak cuma duduk ngopi kayak gini, lho.”
Percakapan mereka tak meledak, tapi menyimpan bara. Masing-masing merasa paling berkontribusi, paling layak dihargai. Dan dalam diam itulah, Ki Somad kembali meletakkan gelasnya dan mengusap jenggotnya yang sudah memutih.
Dari Ego ke Empati: Jalan Menuju Solusi Sama-Sama Menang
Sebagian besar konflik, pikir Ki Somad, berakar bukan dari niat jahat, tapi dari ketidakmampuan melihat dari sudut pandang orang lain. Anak-anak muda ini punya semangat. Tapi semangat yang tanpa keseimbangan sering berubah jadi ego.
Sule, si cepat bicara dan penuh ide, memang pintar. Ia punya naluri bisnis. Tapi sering lupa mendengarkan. Aris, si pekerja keras, sering merasa usahanya diremehkan. Sementara Fufu, si pendiam, justru yang paling sering jadi penengah—meski dalam hati sering merasa tak dianggap.
“Kalau semua merasa paling penting, siapa yang akan mengalah?” tanya Ki Somad akhirnya.
Sule mengangkat bahu. “Ya... gue nggak bilang gue paling penting sih, Ki. Tapi realitanya gitu.”
“Realita menurut siapa?” balas Ki Somad.
Sule terdiam. Aris dan Fufu saling pandang.
“Yang kalian butuhkan itu bukan menang sendiri,” lanjut Ki Somad, “tapi solusi sama-sama menang. Win-win. Semua dapat, semua puas, semua jalan terus.”
Menang Tanpa Mengalahkan
Ki Somad lalu menggambar di tanah pakai batang bambu kecil. Dua lingkaran, saling berpotongan.
“Ini kalian. Kalau masing-masing narik ke arah sendiri, lingkaran yang di tengah ini makin kecil. Tapi kalau kalian cari bagian yang bisa digabungkan, kalian bisa bikin sesuatu yang lebih besar dari sekadar persentase.”
Aris mengangguk perlahan. “Kayak waktu kita bangun gapura RT bareng-bareng itu, ya, Ki. Awalnya debat soal warna cat, tapi akhirnya malah jadi gapura paling rame di RW.”
Fufu tertawa kecil. “Dan yang naruh poster jual motor pertama kali ya gue…”
Sule tersenyum kecut, lalu mengangguk. “Oke deh, kalau gitu kita obrolin ulang. Mungkin selama ini gue terlalu mikirin untung buat diri sendiri.”
Ki Somad tersenyum. “Nah, baru itu namanya langkah pertama jadi orang bijak. Bukan ngorbanin diri, tapi mengerti kepentingan bersama.”
Bukan ngorbanin diri, tapi mengerti kepentingan bersama
Keseimbangan Antara Keberanian dan Pertimbangan
Solusi sama-sama menang bukan hanya soal adil. Tapi soal paham. Dalam 7 Kebiasaan yang Sangat Efektif, Covey bilang: “Untuk mencapai Win-Win, kita butuh dua hal—pertimbangan dan keberanian.”
Dan pagi itu, ketiga pemuda itu baru mulai belajar arti pertimbangan.
“Jadi kita buat sistem bonus aja,” usul Aris. “Kalau motor laku cepat, Fufu dapet tambahan. Kalau servis cepat dan bagus, gue dapet tambahan. Kalau modalnya balik untung besar, ya Sule juga dapet lebih.”
Sule mengangguk. “Gue setuju. Yang penting kita transparan dari awal.”
Fufu berseru, “Yang penting nggak cuma modal duit, tapi modal percaya juga.”

Kalau Bisa Sama-Sama Menang, Kenapa Harus Ada yang Kalah?
Hari itu tak ada perjanjian hitam di atas putih. Tapi ada komitmen di hati. Dan Ki Somad tahu, itu lebih kuat daripada tanda tangan di kertas.
Hidup bukan tentang siapa yang paling pintar bicara. Tapi siapa yang paling banyak mau mendengar dan memahami.
Kadang kita terlalu sibuk menghitung apa yang kita beri, sampai lupa apa yang kita terima. Padahal dalam kerja sama, memberi itu investasi. Dan keuntungan sejati bukan cuma soal uang, tapi soal hubungan yang terus bertumbuh.
Matahari mulai naik. Udara makin hangat. Tapi hati mereka jauh lebih hangat lagi.
Ki Somad menatap mereka satu-satu, lalu berkata pelan, “Menang yang sejati itu bukan saat kita berdiri di atas orang lain. Tapi saat kita bisa berjalan bersama, dan semua sampai.”
Cerita ini bukan hanya tentang bisnis motor bekas. Tapi tentang cara kita memandang dunia. Apakah kita hidup dalam mentalitas kelangkaan—takut kalah, takut kehilangan? Atau mentalitas berlimpah—yakin bahwa kalau kita kerja sama, semua bisa kebagian?
Karena dalam hidup, seperti kata Ki Somad, “Kalau bisa sama-sama menang, kenapa harus ada yang kalah?”