Sulitnya menjelaskan indahnya dunia bawah laut untuk orang gunung yang belum pernah menyelam itu, sama sulitnya menjelaskan indahnya gunung untuk orang pesisir yang belum pernah ke gunung. Jadi? kenapa tidak menikmati saja keindahan itu, apa perlunya menjelaskan apa yang kita percaya indah kepada orang lain? apalagi memaksakannya.
Buat saya itu absurd. Seakan-akan keindahan itu belum sempurna jika belum diakui oleh orang lain, padahal diakui atau tidak oleh siapapun, keindahan bawah laut dan puncak gunung tetap indah sebagaimana adanya. Lalu mengapa kita tidak mencoba memahami lebih dahulu keindahan yang belum kita kenali itu?
Buat saya itu absurd. Seakan-akan keindahan itu belum sempurna jika belum diakui oleh orang lain, padahal diakui atau tidak oleh siapapun, keindahan bawah laut dan puncak gunung tetap indah sebagaimana adanya. Lalu mengapa kita tidak mencoba memahami lebih dahulu keindahan yang belum kita kenali itu?
Membaca artikel di blog Mbak Prita soal "Bagaimana Menjadi Relawan" bagi saya cukup menarik, saya percaya bahwa dunia volunteer itu memiliki keindahannya sendiri, sebagaimana saya percaya dunia selain itu juga memiliki keindahannya. Seperti indahnya kedalaman laut dan ketinggian gunung. Dan saya Alhamdulillah walau tidak "berdomisili" dalam dunia-dunia itu masih dapat terpesona dengan kekaguman yang membuat saya bungkam. Bagi saya keindahan itu untuk dirasakan dan dihayati, bukan dikuantifikasi atau diukur dengan satuan-satuan eksak.
Dalam tulisannya Mbak Prita merujuk sebuah tautan tulisan di web Kompas berjudul "Apa yang Salah dengan Volunter?". Sebuah tulisan berisi refleksi oleh Butet Manurung, pendiri dan Direktur SOKOLA-Literasi dan Advokasi untuk Masyarakat Adat Indonesia.
Dalam tulisan itu Butet merangkum curahan pikirannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan skeptis yang ditujukan kepadanya. Beberapa saya kutipkan di bawah ini.
-----
Bagaimana kita bisa terlibat?
Kita hanya perlu lebih banyak melihat dan mendengar langsung. Ada banyak hal yang tak berada di tempatnya.
Datang ke sana, diam, dan amati dengan rendah hati. Rendah hati artinya kita datang dengan pertanyaan, bukan jawaban.
Sekalipun ada perasaan dibutuhkan, kita datang bukan untuk jadi pahlawan, bukan untuk menggurui, tapi mempelajari, mengenali, sambil mencari apa yang bisa kita bantu. Lalu biarkan hatimu mengatakan apa yang harus kamu lakukan.
-----
Berusaha untuk Memahami Terlebih Dahulu, Baru Dipahami
Langkah pertama yang saya tangkap dari tulisan Butet di atas adalah berusaha memahami lebih dahulu. "Melihat, mendengar langsung, amati dengan rendah hati, datang dengan pertanyaan, datang bukan untuk jadi pahlawan, bukan untuk menggurui, tapi mempelajari, mengenali, sambil mencari apa yang bisa kita bantu. Lalu biarkan hatimu mengatakan apa yang harus kamu lakukan."
Mengapa memahami lebih dahulu menjadi penting?. Dalam buku "Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif" karya Stephen R. Covey, "Berusaha untuk Memahami Terlebih dulu" diletakkan sebagai kebiasaan nomor 5, setelah kebiasaan nomor 4 yaitu "Berpikir Menang-Menang" (think win-win) dst .
Sebab jika kita mendengarkan dengan seksama, untuk memahami orang lain, ketimbang mendengar untuk menanggapi atau menjawab, maka (secara sadar atau tidak) kita sedang memulai komunikasi sejati dan membangun hubungan. Jika orang lain merasa dipahami, mereka merasa ditegaskan dan dihargai, mereka akan "merasa aman" untuk membuka diri, sehingga peluang untuk berbicara secara terbuka serta dipahami terjadi lebih alami dan mudah. Jadi agar kita lebih mudah dipahami maka berusahalah untuk memahami terlebih dahulu.
Berusaha memahami ini menuntut kemurahan hati (Butet menyebutnya rendah hati); berusaha dipahami menuntut keberanian. Keefektifan terletak dalam keseimbangan di antara keduanya. Ini juga berlaku dalam tulisan saya sebelumnya tentang bagaimana berhadapan dengan atasan, My Boss, My Coach, My Friend.
Kebiasaan "Berusaha untuk Memahami Terlebih dulu, Baru Dipahami" ini terletak di tiga kebiasaan untuk menuju kemenangan publik atau interdependensi (saling kebergantungan) misalnya bekerja dengan atau bersama orang lain. Pada gambar di atas terletak di segitiga sebelah atas, yaitu setelah seseorang telah selesai atau melalui proses independen/kemerdekaan dalam dirinya sendiri (kemandirian).
Kebiasaan "Berusaha untuk Memahami Terlebih dulu, Baru Dipahami" menjadi kebiasaan yang harus dimiliki sebelum menuju kebiasaan selanjutnya, yaitu 6. Sinergi dan 7. Sharpen the saw (mengasah gergaji).
Bagaimana kita bisa bersinergi jika diantara kita tidak saling memahami? Bukan sinergi namanya jika masing-masing bekeja tidak dalam tujuan yang sama.
Kembali memperhatikan tulisan Butet, dalam bahasa Butet ia menulis "...sambil mencari apa yang bisa kita bantu. Lalu biarkan hatimu mengatakan apa yang harus kamu lakukan. (Sinergi)".
Apakah kita sudah berusaha untuk memahami terlebih dulu sebelum yakin dengan apa yang bisa kita bantu?
Apakah kita sudah berusaha untuk memahami terlebih dulu sebelum memaksakan sesuatu yang kita percaya sebagai solusi?
Bagaimana kita dapat memberi solusi jika kita tidak memahami apa yang sedang terjadi?
Mohon ajari saya caranya melalui form komentar.