
Pagi masih basah, sisa-sisa embun bergelayut manja di ujung dedaunan. Matahari belum tinggi. Di balai kayu depan warung kopi pinggir sawah, yang sekarang sebagian sudah jadi perumahan, empat lelaki duduk mengelilingi teko kopi hitam, sambil nyeruput, dan mencari jawaban dari hidup yang semakin rungseb.
Ki Somad, lelaki sepuh dengan kopiah lusuh dan senyum sabar, nyender di salah satu tiang kayu warung. Di sebelahnya ada Choki, pegawai kecamatan yang lebih sering buka laptop di warung ketimbang di kantor. Qosim, sarjana baru yang lagi galau mencari kerja sambil bawa buku tebel judulnya “Kunci Sukses di Era Digital.” Dan terakhir Udin Babanya Harun, tetangga mereka penjual sayur mayur di Pasar Babelan yang selalu bawel tapi paling banyak stok cerita.
Suara motor jauh di jalan kampung terdengar sesekali. Sementara gelas-gelas kopi masih berembun, percakapan pun dimulai dengan wajah Qosim yang terlihat resah.
“Gue bingung, Ki,” katanya sambil melamun, “Katanya kita harus berbakat, harus jago, baru bisa sukses. Tapi kok saya lihat banyak juga yang dulunya orang pinter di sekolah malah hidupnya mandek, begitu-begitu aja sekian tahun?”
Udin yang dari tadi duduk selonjoran, langsung nyeletuk, “Jangan jauh-jauh, Sim. Liat gue, dulu ranking dua dari belakang mulu. Tapi sekarang bisa buka dua lapak sayur. Lha si Bisot, pinter banget, lulus cepat, tapi nganggur, ora pugu lagu.”
Choki yang duduk sambil mainin tutup botol ngakak, “Berarti emang dunia ini milik yang nekat ya, bukan yang pintar.”
Fokus
Ki Somad yang dari tadi ngelinting rokok, akhirnya angkat tangan sambil ngebetulin posisi duduk. Suaranya tenang, tapi nadanya serius.
“Tunggu dulu. Jangan cepet ambil kesimpulan. Dunia ini sekarang bukan milik yang kuat, apalagi yang paling pinter. Tapi yang paling fokus.”
“Fokus?” Qosim mengernyit. “Maksudnya, Ki?”
Ki Somad menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu tiup asapnya pelan.
“Coba lo pikir baik-baik. Banyak orang sekarang bukan kalah karena bodoh, tapi karena keganggu. Dikit-dikit lihat HP, scroll TikTok, main game, buka-buka Shopee, sampe lupa apa tujuan hidupnya. Gimana mau sukses kalo niat kerja malah nyasar ke video kucing joget?”
Udin ngakak sampe batuk. “Hahaha... kucing joget emang bikin candu, Ki. Apalagi yang nyanyi lagu India.”
Ki Somad senyum simpul. “Itu dia. Fokus sekarang tuh mirip kekuatan super. Orang berbakat, kalau gak bisa jaga fokus, ya cuma jadi penonton. Tapi orang biasa yang tekun dan gak gampang ngelirik sana-sini, bisa diam-diam jadi raja.”
Choki ikut nimbrung, “Tapi Ki, kadang kita pengen multitasking. Biar cepat sukses, semua dikerjain. Pagi dagang, siang ngonten, malamnya belajar saham.”
“Naah! Itu jebakan betmen zaman sekarang,” ujar Ki Somad sambil angkat alis. “Multitasking itu mitos. Otak kita tuh kayak motor bebek, bukan mesin jet. Kalo lo suruh jalan ke lima arah sekaligus, ya malah mogok.”
Multitasking itu mitos
Qosim mulai manggut-manggut, tapi masih penasaran. “Tapi gimana Ki, banyak orang ikut pelatihan ini-itu, ikut seminar, kursus online. Kan itu juga bentuk usaha?”
Ki Somad senyum sambil nyeruput kopi. “Betul. Nambah ilmu bagus. Tapi usaha tanpa arah itu kayak kapal layar tanpa kompas. Bisa jalan, tapi muter-muter aja. Ilmu tuh kayak makanan. Kalo lo telan semua tanpa cerna, yang ada malah mules. Sama juga kayak otak.”
Udin nyengir. “Kayak bini gue. Tiap hari nonton YouTube resep baru, tapi yang dimasak tetep itu-itu juga. Nasi goreng doang, paling gaya naruh telurnya yang beda.”
Semua ketawa. Bahkan Qosim mulai kelihatan rileks.
Ki Somad menyandarkan punggung ke tiang balai. “Fokus itu bukan soal gak punya pilihan. Tapi soal milih satu hal yang paling penting, dan ngejalaninnya sampe kelar. Orang sukses bukan yang ngelakuin semuanya. Tapi yang ngelakuin satu hal dengan total.”

Choki nyeletuk, “Jadi Ki, lebih baik kita F.O.C.U.S: Follow One Course Until Success?”
Ki Somad nunjuk Choki, “Nah, itu dia. Fokus itu kayak sinar matahari. Kalau dipantulin lewat kaca pembesar ke satu titik, bisa nyulut api. Tapi kalau nyebar, ya cuma bikin silau.”
Gangguan
Qosim duduk lebih tegak. “Tapi Ki… jujur aja, gue takut. Takut salah pilih. Takut ketinggalan sama yang lain. Takut gagal.”
Ki Somad menatap Qosim dalam-dalam. “Rasa takut itu bukan dosa. Tapi dia bisa jadi jebakan. Gangguan terbesar kadang bukan dari luar, tapi dari dalam. Suara kecil yang bilang lo gak cukup pinter, gak cukup layak, itu suara masa lalu. Bukan kenyataan hari ini.”
Udin angkat tangan. “Kayak gue pas pertama jualan di pasar Babelan. Takut barang kagak laku. Takut diketawain. Tapi pas dicoba, malah banyak yang beli. Yang penting berani jalan dulu.”
Choki tepuk tangan. “Tuh, kan. Berarti bukan soal bakat doang. Tapi soal berani milih, konsisten, dan gak gampang goyah.”
Ki Somad merem sejenak, ngerasain angin pagi yang bawa aroma lumpur dari sawah. “Hidup itu kayak jalan pulang dari sawah. Bisa aja lo keder, muter jauh. Tapi kalau lo tahu arah dan gak gampang tergoda belok sana-sini, lo bisa sampai lebih cepat.”
Qosim menatap Ki Somad. Matanya sekarang gak lagi resah. “Jadi Ki… kalau gue pengen sukses tahun ini…”
“Pilih satu hal yang lo cinta,” ujar Ki Somad pelan tapi tegas. “Tentukan jalurnya. Matiin gangguannya. Jalanin dengan sabar. Boleh belajar hal lain nanti, tapi satu dulu diselesaikan. Sukses itu milik orang yang paling fokus, bukan yang pintar.”
Udin berdiri sambil geret sendal. “Waduh, udah mau siang. Gue kudu ke pasar. Tapi makasih, Ki. Obrolan pagi ini bikin semangat lagi.”
Choki berdiri sambil stretching. “Besok-besok kita bahas soal rasa takut aja ya, Ki. Kayaknya seru tuh.”
Ki Somad tersenyum. “Boleh. Tapi sekarang… kita fokus dulu…”
“Abisin kopi ini!” sambung Udin sambil tertawa.
Semua ngakak. Pagi itu, balai kayu di tepi sawah bukan sekadar tempat ngopi. Tapi jadi kelas kehidupan, tempat di mana kebijaksanaan diseduh pelan-pelan dan Ki Somad yang nyeduh kopinya.