Dari Rokok Ilegal ke Denda Tiga Kali Lipat: Obrolan Warung Kopi

Cerita hukum di warung kopi soal denda rokok ilegal tiga kali lipat, restorative justice dan ultimum remedium cukai. Pilih pidana atau bayar denda?
Obrolan Warung Kopi tentang Keadilan Restoratif Cukai

Obrolan Warung Kopi tentang Keadilan Restoratif Cukai

Matahari siang membakar atap seng di Makassar. Di warung kopi Daeng Maro, suara sendok beradu dengan gelas berpadu dengan aroma robusta dan asap gorengan.

Buset duduk lesu di sudut, menyeruput es teh yang tinggal ampas esnya. Di depannya, Ki Somad meneguk kopi hitam tanpa gula — katanya, “sehitam masa lalu ekonomiku dulu.”

Sementara Bisot, si blogger medioker, menatap layar ponsel yang menampilkan Peraturan Menteri Keuangan.

“Ki, saya stres,” keluh Buset. “Rokok Buset Bold saya disita. Katanya tanpa pita cukai. Terus Bea Cukai kirim surat cinta, isinya denda seratus juta lebih, tiga kali lipat dari nilai cukai yang saya ‘curi’. Kalau nggak bayar, katanya bisa lanjut ke pidana. Duit dari mana, Ki?”

Ki Somad menatapnya seperti dokter yang sudah hafal penyakit pasiennya.
“Set, kamu itu lagi dikasih golden ticket sama negara. Itu bukan surat cinta, tapi surat kesempatan. Namanya Ultimum Remedium.”

Jalur Cepat Denda Tiga Kali Lipat

“Remed Ulti... apa itu, Ki? Kayak sekolah aja ada remed-remed,” Buset mengernyit.

Bisot menurunkan ponselnya. “Ultimum Remedium itu istilah hukum. Artinya, pidana itu jalan terakhir. Negara lebih senang uangmu masuk kas negara daripada kamu masuk sel.”

Ki Somad mengangguk pelan. “Nah, itulah yang sekarang disebut keadilan restoratif, Set. Negara nggak mau menghukum orang kecil yang mau bertanggung jawab. Yang penting, kerugian negara bisa dipulihkan tanpa perlu penjara.”

Buset menggaruk kepala. “Jadi masih bisa diperbaiki, gitu?”

“Bisa,” jawab Ki Somad. “Kamu lagi di tahap Penelitian Dugaan Pelanggaran Bea Cukai. Kalau kooperatif dan mau bayar dendanya — tiga kali nilai cukai yang kamu akali — urusanmu selesai. Rokok disita, tapi kamu bebas. Negara senang, kamu pun lega.”

Buset menghela napas. “Berarti bisa damai di luar pengadilan, ya?”

“Betul,” sahut Bisot. “Tapi bukan damai yang sembunyi-sembunyi, ya. Ini damai versi hukum. Asal kamu tanggung jawab dan mau memperbaiki kesalahan.”

Telat Tobat Denda Naik

Buset menatap kosong ke meja. “Tapi Ki, dulu waktu Ki Somad kena kasus, katanya dendanya empat kali lipat?”

Bisot terkekeh sambil mengelap kacamatanya. “Nah, itu karena Ki Somad dulu telat bayar. Kalau kasus udah naik ke penyidikan, yang urus bukan Bea Cukai lagi tapi Kejaksaan. Dan mengacu pada Peraturan Kejaksaan Nomor 5 Tahun 2024, dendanya bisa naik jadi empat kali lipat.”

Ki Somad ikut menimpali, “Negara anggap kamu sudah nyusahin. Makanya harga tobatmu ikut naik.”

Buset melotot. “Lah, kayak tiket pesawat last minute aja!”

“Pas banget!” jawab Ki Somad, tertawa. “Bea Cukai kasih harga promo di awal supaya kamu cepat sadar. Tapi kalau bandel, siap-siap harga tobatnya naik.”

Bisot menambahkan, “Hukum ini bukan cuma alat, tapi juga strategi finansial. Negara lebih butuh uangmu ketimbang memenjarakan kamu.”

Dari Rokok Ilegal ke Denda Tiga Kali Lipat - Gempur Rokok Ilegal

Rokok Ilegal dan APBN

Ki Somad menurunkan suaranya. “Set, saya ngerti kamu bukan penjahat. Cuma pengusaha kecil yang salah jalur. Tapi denda itu bukan cuma soal uang. Rokok ilegalmu itu menyakiti negara.”

Buset menatap bingung. “Kok bisa menyakiti negara? Kan cuma rokok…”

“Cuma rokok?” Ki Somad menatap tajam. “Di balik cukai, pajak rokok dan DBCTH itu ada uang buat subsidi, anggaran jalan desa, sampai JKN. Setiap batang rokok ilegal yang kamu jual tanpa cukai, ada rupiah negara yang hilang. Kalau banyak yang kayak kamu, APBN bisa jebol.”

Bisot menambahkan dengan nada tenang, “Dan kalau APBN jebol, negara harus pinjam lagi ke luar negeri. Jadi, kalau dipikir-pikir, orang jual rokok ilegal itu bukan cuma rugikan negara — tapi juga nambahin utang anak cucunya.”

Buset terdiam.

Di luar, suara klakson kapal Pelni dari pelabuhan terdengar serak, seolah ikut menegur. Daeng Maro datang membawa sepiring gorengan pisang, tapi tak satu pun yang tersentuh.

Buset menarik napas panjang. “Jadi selama ini saya ikut bikin negara berhutang, ya Ki?”

Ki Somad tersenyum. “Kurang lebih. Tapi kamu masih lebih baik dari yang pura-pura nggak tahu aturan. Keadilan restoratif itu buat orang yang mau berubah, bukan yang pura-pura tobat.”

Bisot menimpali, “Iya, jujur aja udah langkah besar. Tapi jangan bangga dulu. Kita semua masih belajar jadi warga negara yang benar.”

Daeng Maro nyengir. “Kalau semua orang udah bener, warung saya bisa sepi. Soalnya nggak ada lagi yang curhat di sini!”

Tawa pecah. Tapi tawa itu getir, seperti kopi robusta yang kelamaan diseduh.

Dari Rokok Ilegal ke Denda Tiga Kali Lipat - Keadilan Restoratif Cukai

Keadilan yang Memulihkan

Sore menjelang, langit Makassar berwarna jingga. Buset menatap sisa es di gelasnya — kini tinggal air bening, seperti pikirannya yang baru saja jernih.

Ia sadar, hukum bukan cuma pasal dan denda. Tapi juga cermin pilihan hidup.

Negara tidak ingin memenjarakan rakyatnya, tapi juga tidak bisa menutup mata terhadap kecurangan kecil yang diulang-ulang.

Itulah makna keadilan restoratif — keadilan yang berusaha memulihkan, bukan menghukum semata.

“Ki, saya janji,” katanya pelan. “Ini terakhir kalinya. Soalnya, yang lebih berat dari denda tiga kali lipat itu bukan bayarnya… tapi rasa malu waktu sadar, saya ikut bikin negara ngos-ngosan.”

Ki Somad hanya tersenyum. Angin sore meniup aroma kopi, dan untuk pertama kalinya, Buset menghirup udara tanpa rasa bersalah — dan tanpa asap rokok ilegal.



Posting Komentar

No Spam, Please.