
William Tell (2025)
Rilis: 21 Februari 2025
Action, Petualangan, Drama, Sejarah
Rating: R
Run Time: 2 jam 13 menit
Pemeran: Claes Bang, Ben Kingsley, Jonathan Pryce, Golshifteh Farahani
Sutradara: Nick Hamm
Dari Petani Damai Jadi Pahlawan Rakyat
Pernah denger tentang sosok legendaris William Tell? Kalau belum, film William Tell ini cocok banget buat kamu yang suka kisah heroik dengan sentuhan sejarah, aksi, dan drama keluarga.
Film ini dibuka dengan adegan ikonik: seorang ayah dipaksa menembak apel di atas kepala anaknya sendiri. Serem? Banget. Tapi justru dari momen ini, kisah perlawanan meletup.
Latar ceritanya ada di Swiss abad ke-14, saat negeri itu masih di bawah kendali kekaisaran Austria yang dipimpin Raja Albert (Ben Kingsley, dengan gaya eyepatch ala glam rock). William Tell (Claes Bang) digambarkan sebagai pemburu sederhana, seorang suami dan ayah yang cuma pengen hidup damai bareng keluarganya di desa kecil.
Namun hidupnya berubah drastis ketika ia memutuskan untuk menyelamatkan seorang buronan bernama Baumgarten. Tindakan kecil ini jadi percikan pertama dari api pemberontakan rakyat Swiss.
Kekuasaan Austria, melalui si licik Gessler (Connor Swindells), nggak tinggal diam. Mereka mulai menindas dengan cara makin brutal, hingga puncaknya: William dipaksa menunjukkan kesetiaannya dengan mempertaruhkan nyawa anaknya.
Dan emang bener sih, pas kita nonton William yang harus menembak apel di kepala anaknya, kita ngerasa kayak... "Gila, ini bukan sekadar uji ketepatan, ini ujian hati." Kalau lu jadi dia, berani nggak?
Di balik tekanan dan ancaman itu, William memilih satu hal: melawan. Dan dari sinilah, perjuangan sesungguhnya dimulai.
Cinta Tanah Air & Perjuangan Keluarga: Dua Sayap Satu Tujuan
Apa yang bikin seseorang akhirnya memilih untuk bangkit dan melakukan perlawanan tirani yang kejam? Jawabannya bisa jadi satu kata: keluarga.
William Tell bukan sosok yang ambisius atau haus kekuasaan. Justru ia adalah orang biasa yang ingin melindungi anak dan istrinya, Suna (diperankan dengan penuh pesona oleh Golshifteh Farahani). Tapi ketika keluarganya jadi target tirani, ia sadar: diam bukan lagi pilihan.
Menariknya, film ini nggak hanya menyorot perjuangan fisik, tapi juga sisi emosional dan filosofis dari cinta tanah air. Suna, sebagai istri William, bukan karakter pelengkap semata. Justru dialah yang jadi suara hati Tell, penyemangat di balik layar, dan alasan utama kenapa sang suami tetap teguh melawan. Ia bukan cuma pasangan hidup, tapi juga kompas moral dan api dalam jiwa pejuang.
Suna juga membawa perspektif unik: dia adalah korban perang, seorang ibu yang tahu betul arti kehilangan. Maka ketika ia berkata bahwa perjuangan mereka bukan cuma buat hari ini, tapi buat masa depan anak mereka dan generasi selanjutnya. Kita bisa merasakan dalamnya makna cinta tanah air dari kacamata seorang ibu.

Dari Panah ke Pemberontakan
Film ini pelan-pelan berubah dari drama keluarga jadi kisah epik pemberontakan. Tapi jangan salah, ini bukan soal gaya-gayaan main pedang atau panah. Ini tentang hati rakyat yang bangkit karena sudah cukup lama diam.
William Tell akhirnya menjadi simbol perlawanan. Dia bukan tentara, bukan bangsawan, tapi seorang ayah biasa yang akhirnya jadi pahlawan karena keadaan memaksanya memilih antara tunduk atau melawan. Dan dia memilih untuk berdiri melawan.
Di sini penonton diajak menyadari bahwa perlawanan bukan cuma soal senjata. Kadang, keberanian berkata “tidak” pada ketidakadilan itu sudah cukup menginspirasi orang lain. Film ini berhasil menggambarkan bahwa revolusi besar bisa dimulai dari satu orang yang berani mengambil sikap.
Cinta Tanah Air Nggak Perlu Jadi Politisi
Di tengah banyaknya film action yang cuma fokus ke ledakan dan baku hantam, William Tell justru berani mengambil jalan yang lebih dalam. Ia menunjukkan bahwa cinta tanah air bisa datang dari mana aja: dari dapur sederhana, dari tenda di tengah hutan, bahkan dari doa seorang ibu yang ingin anaknya hidup bebas tanpa ketakutan.
Pertanyaannya sekarang: masih relevan nggak kisah William Tell buat kita hari ini?
Jawabannya: sangat. Di era sekarang, bentuk penjajahan bisa aja beda, nggak selalu lewat kekuasaan asing, tapi bisa lewat ketidakadilan, ketimpangan, bahkan ketakutan untuk bersuara. Dan seperti William Tell, kita semua mungkin bakal dihadapkan pada pilihan: diem dan aman, atau bersuara dan berani terima risiko.
Film ini ngajarin kita bahwa cinta tanah air bukan tentang atribut atau upacara doang. Tapi tentang keberanian untuk melindungi yang kita cintai, meski harus berdiri sendiri. Tentang menyuarakan kebenaran, meski suara kita kecil. Dan tentang yakin bahwa setiap perjuangan hari ini adalah tabungan buat masa depan anak-anak kita.
Setiap perjuangan hari ini adalah tabungan buat masa depan anak-anak kita
Suna bilang, “Kalau kita diem sekarang, anak kita yang bakal ngerasain akibatnya.” Nah loh. Masih mau pasrah?
Untuk Kamu yang Masih Percaya Perjuangan Itu Berarti
Secara teknis, William Tell mungkin bukan film paling sempurna. Ada subplot yang kurang digali, akhir cerita yang agak ngebut, dan visual yang kadang keteteran. Tapi dari segi isi, nilai, dan akting film ini punya nyawa.
Claes Bang sukses jadi sosok William Tell yang tenang tapi tajam, dan Golshifteh Farahani jadi Suna yang kuat tapi hangat. Chemistry mereka bikin kita percaya: cinta dan perjuangan bisa jadi satu paket.
Kalau kamu lagi cari tontonan yang bukan sekadar aksi, tapi juga punya pesan dan nilai, William Tell bisa jadi pilihan. Bukan cuma bikin kamu terhibur, tapi juga mikir. Dan mungkin (cuma mungkin) bisa bikin kamu lebih peduli sama nasib bangsa sendiri.
So, siap jadi William Tell di kehidupan kamu sendiri? Atau mau terus pura-pura nggak lihat apel di atas kepala anak-anak kita?