Ultimum Remedium, Upaya Menegakkan Keadilan Restoratif Pelanggaran UU Cukai

Penerapan Ultimum Remedium UU Cukai terlambat 40 tahun dibandingkan dengan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang sudah mengadopsi sejak 1983

Ultimum Remedium, Upaya Menegakkan Keadilan Restoratif Pelanggaran UU Cukai

Setelah tim gabungan Bea Cukai bersama instansi terkait melaksanakan operasi Gempur Rokok Ilegal di berbagai wilayah nusantara, ada beberapa pertanyaan terkait penyelesaian pelanggaran yang tidak semuanya diselesaikan di pengadilan. Salah satu pertanyaan itu:

Apakah ada penyelesaian lain terhadap pelanggaran pidana UU Cukai?

UU HPP

Sebelum lebih jauh, kita flashback mengenai aturan yang mengubah UU Cukai. Pada tanggal 29 Oktober 2021, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Undang-Undang  Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Peraturan ini antara lain memiliki tujuan untuk memulihkan perekonomian negara akibat dampak pandemi Covid melalui optimalisasi penerimaan negara di bidang pajak dan cukai.

Undang-undang baru yang terbagi dalam beberapa klaster tersebut mengubah beberapa ketentuan antara lain UU KUP, UU PPh, UU PPN, dan UU Cukai.

Dalam bidang cukai, Bab VII Pasal 14 UU HPP memperluas peran dan kewenangan pejabat Bea dan Cukai dalam penelitian pelanggaran dan menambahkan ketentuan penerapan sanksi denda terhadap pelanggaran pidana di bidang cukai dengan mengadopsi prinsip ultimum remedium.

Khusus UU Cukai atau UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, ada pasal baru yang memperluas peran atau kewenangan pejabat Bea dan Cukai dalam memproses pelanggaran di bidang cukai, yaitu menambah Pasal 40B pada UU Cukai.

Selengkapnya bunyi Pasal 14 UU HPP sebagai berikut:


Di antara Pasal 40A dan Pasal 41 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 40B, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40B

(1) Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan penelitian dugaan pelanggaran di bidang cukai.

(2) Dalam hal hasil penelitian dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran administrasi di bidang cukai, diselesaikan secara administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.

(3) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dilakukan penyidikan dalam hal:
a. terdapat dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58; dan
b. yang bersangkutan membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar 3 (tiga) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

(4) Barang kena cukai terkait dugaan pelanggaran yang tidak dilakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan menjadi barang milik negara.

(5) Barang-barang lain terkait dugaan pelanggaran yang tidak dilakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat ditetapkan menjadi barang milik negara.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dugaan pelanggaran yang tidak dilakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dengan Peraturan Menteri.

Sesuai amanat ayat (6), peraturan pelaksanaan pasal 40B ini selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.04/2022 Tahun 2022 (PMK 237/22) tentang Penelitian Dugaan Pelanggaran di Bidang Cukai.

Ultimum Remedium, Upaya Menegakkan Keadilan Restoratif atas Pelanggaran UU Cukai

Ultimum Remedium

Pada Pasal 14 PMK 237/22 diatur lebih lanjut mengenai mekanisme dan prosedur Penelitian Dugaan Pelanggaran, Penyelesaian Perkara Tidak Dilakukan Penyidikan dan aturan mengenai pidana denda sebesar 3X nilai cukai yang seharusnya dibayar saat penelitian, atau sebesar 4X nilai cukai yang seharusnya dibayar saat sudah masuk proses penyidikan.
Adapun mengenai hasil penelitian yang dapat tidak diteruskan ke penyidikan diatur secara limitatif jika perkara tersebut berkaitan dengan pelanggaran terhadap Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58 undang-undang Cukai. 
Untuk pelanggaran pidana Pasal 53, 55 dan 57 UU Cukai tidak diatur dalam PMK 237/22, sehingga prosesnya tetap dilanjutkan ke penyelidikan hingga penyidikan sesuai peraturan yang berlaku. Mengenai pasal-pasal pidana cukai bisa baca di halaman ini.

Apa yang diatur dalam Pasal 40B UU HPP beserta aturan pelaksanaannya pada PMK 237/22 tersebut telah sesuai dengan asas Ultimum Remedium, sebuah asas hukum yang meletakkan pemidanaan atau sanksi pidana penjara sebagai alternatif atau upaya terakhir dalam penegakan hukum. Penerapan asas ini telah sesuai dengan sifat UU Cukai dan UU Perpajakan pada umumnya yang lebih fokus pada menegakkan aturan fiskal dalam pemulihan pendapatan negara yang pada akhirnya adalah meningkatnya penerimaan negara.

Asas Ultimum Remedium juga sesuai dengan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) yang sedang digalakkan dalam strategi mereduksi pelanggaran hukum di Indonesia.

Ultimum Remedium, Upaya Menegakkan Keadilan Restoratif Pelanggaran UU Cukai


Keadilan Restoratif

Keadilan Restoratif (restorative Justice) adalah upaya penyelesaian masalah hukum untuk mencari penyelesaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dari pada hukuman pembalasan.

Dengan semangat keadilan restoratif, Pasal 40B UU Cukai dan PMK 237/22 sebagai aturan pelaksanaannya lebih mengedepankan pemulihan atau pemenuhan hak-hak keuangan negara yang seharusnya dibayarkan menjadi terpenuhi terlebih dahulu. 

Hal itu sangat sesuai dengan tujuan dari penerapan asas Ultimum Remedium dalam penyelesaian pelanggaran di bidang cukai sehingga tidak semua pelanggaran pidana di bidang cukai diselesaikan di pengadilan, jikapun masuk pengadilan, vonisnya akan berupa pidana denda, dengan subsider pidana penjara.

Subsider adalah hukuman pengganti apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakam, contohnya hukuman kurungan sebagai pengganti (subsider) hukuman denda apabila terhukum tidak membayar pidana denda.

UU HPP membahas terkait subsider sanksi pidana. Pada Pasal 44C UU HPP dijelaskan bahwa pidana denda pada dasarnya tidak dapat disubsider, sehingga wajib dibayar oleh terpidana. Apabila pidana denda tidak dibayar, jaksa dapat melakukan penyitaan aset. Jika setelah dilakukan penyitaan aset pidana denda belum lunas, pidana tersebut dapat diganti dengan pidana penjara. Hal tersebut juga sesuai dengan tujuan utama pemidaan hukum fiskal (termasuk UU Kepabeanan dan UU Cukai) yakni mengembalikan penerimaan negara melalui pidana denda.

Penerapan asas Ultimum Remedium pada UU Cukai memang terlambat 40 tahun jika dibandingkan dengan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang sudah mengadopsi Ultimum Remedium sejak tahun 1983, namun lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Penulis: MZR

Posting Komentar

No Spam, Please.