Sisi Baik Perpindahan Konsumsi ke Rokok Murah (Downtrading) Yang Turunkan Pendapatan Cukai

Sekalipun perpajakan di Indonesia tidak menggunakan istilah ‘sin tax’. Namun, konsep sin tax tercermin pada penerapan cukai rokok bea cukai
Sisi Baik Perpindahan Konsumsi ke Rokok Murah (Downtrading) Yang Menurunkan Pendapatan Cukai Negara

Memangnya ada yah sisi baik perpindahan konsumsi ke rokok murah (Downtrading) yang berpotensi menurunkan penerimaan negara di sektor cukai?

Tujuan Cukai

Dalam dunia perpajakan ada dikenal konsep yang lazim disebut dengan “Sin Tax”, merujuk IBFD International Tax Glossary (2015) sin tax merupakan istilah untuk pajak represif atas barang seperti alkohol dan/atau tembakau atau aktivitas seperti perjudian. Pajak semacam ini dirancang lebih untuk mencegah aktivitas tertentu daripada untuk meningkatkan pendapatan

Sekalipun rezim perpajakan di Indonesia tidak menggunakan istilah ‘sin tax’. Namun, konsep sin tax tercermin pada penerapan cukai atas rokok dan alkohol yang keduanya menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 39/2007, cukai dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik sebagai berikut:
  1. barang-barang yang konsumsinya harus dibatasi;
  2. barang-barang yang distribusinya harus diawasi;
  3. barang-barang yang konsumsinya berdampak pada rusaknya lingkungan hidup;
  4. sebagai sarana untuk memenuhi rasa kebersamaan keadilan di masyarakat.

Karakteristik pertama dan kedua (dibatasai dan diawasi) atas barang kena cukai tersebut relevan dengan konsep sin tax. Namun, tidak berarti semua pengenaan cukai merupakan bentuk dari sin tax.

Sebab, cukai juga dapat dikenakan sebagai bentuk dari pajak eksternalitas atas suatu perilaku ekonomi yang bisa menyebabkan sisi negatif bagi kegiatan ekonomi lain (pigouvian tax) serta goods and services tax atas barang-barang mewah.

Dewasa ini, cukai juga dipandang sebagai sebagai instrument fiskal secara makro. Fungsinya selain berperan sebagai suatu alat yang mengendalikan konsumsi terhadap suatu barang, juga untuk menambah pendapatan negara.

Sejalan dengan tujuan cukai, mengutip dari Kompas TV, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan 3 alasan naiknya tarif CHT serta HJE pada tahun 2023 dan 2024, dari 3 alasan itu tidak disebut alasan penerimaan negara. 3 alasan naiknya harga rokok yaitu:

1. Meningkatkan edukasi bahaya merokok

Pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyampaikan bahwa tarif CHT (cukai hasil tembakau) untuk rokok akan dinaikkan guna meningkatkan edukasi betapa bahayanya merokok kepada masyarakat. 

2. Menekan perokok usia muda

Pertimbangan selanjutnya, yaitu mengenai konsumsi rokok yang menjadi konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras. Bahkan, konsumsi tersebut melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam.

Dalam penetapan CHT, pemerintah telah menganalisa target penurunan prevalensi perokok bagi anak yang berusia 10-18 tahun menjadi 8,7% sesuai dengan RP JMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2020-2024.

3. Mengendalikan konsumsi rokok

Lebih lanjut, Sri Mulyani menyampaikan bahwa pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai guna mengendalikan baik konsumsi maupun produksi rokok. 

Sri Mulyani berharap kenaikan cukai rokok dapat berpengaruh terhadap menurunnya keterjangkauan rokok di masyarakat.

Jika semua alasan itu tercapai dan ada penurunan pendapatan negara dari sektor cukai, hal itu sudah menjadi konsekuensi atau risiko yang tidak bisa dihindarkan, namun meletakkan pendapatan negara sebagai tujuan utama jelas akan menyalahi tujuan cukai itu sendiri.

Video Kompas TV Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan 3 alasan naiknya tarif CHT serta HJE pada tahun 2023 dan 2024 bisa dilihat di sini.

-----------

Sisi Baik Perpindahan Konsumsi ke Rokok Murah (Downtrading) Yang Menurunkan Pendapatan Cukai Negara


Fenomena Perpindahan Konsumsi ke Rokok Murah (Downtrading)


Setelah naiknya harga rokok, beberapa pengamat menangkap fenomena peralihan konsumsi dari rokok golongan 1 yang mahal ke rokok golongan di bawahnya yang lebih murah (downtrading), fenomena itu diyakini akan merugikan penerimaan negara.

Dikutip dari mediaindonesia* 12 Agustus 2023, Direktur Segara Research Institute dan Rektor Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta Mukhaer Pakkana dengan kritis mengungkapkan sebagai berikut:

Direktur Segara Research Institute, Piter Abdullah mengatakan, selain penerimaan negara, fenomena downtrading juga merugikan dari sisi pengendalian tembakau. Hal itu mengingat fungsi cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi, di mana kebijakan cukai saat ini gagal menurunkan prevalensi perokok.

"Fenomena downtrading saat ini jangan dilihat hanya dari penurunan penerimaan. Konsumsi tetap, hanya saja masyarakat beralih dari rokok mahal ke rokok murah. Karena beralih cukainya juga turun, sehingga penerimaan juga turun," kata Piter dalam keterangannya, Jumat, 11 Agustus 2023.

Rektor Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta, Mukhaer Pakkana menegaskan, downtrading akan terus menggerus penerimaan negara. Hal itu karena jarak tarif cukai rokok yang lebar, dan strukturnya yang berlapis. Perpindahan konsumsi menurutnya bisa mengarah pada maraknya peredaran rokok murah, dari golongan dengan tarif CHT yang lebih rendah.

---------------

Dalam artikel itu juga dinyatakan, Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp102,38 triliun di Semester 1-2023, atau turun 12,61 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2022. 

Namun demikian sekalipun pendapatan cukai menurun, hal itu tidak membuat penerimaan negara secara keseluruhan menjadi turun. Karena Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melaporkan realisasi pendapatan negara pada semester I 2023 mencapai Rp 1.407,9 triliun atau tumbuh positif 5,4 persen. Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Kerja bersama Gubernur Bank Indonesia dan Banggar DPR RI dalam Pelaporan Realisasi Semester I APBN TA 2023, di DPR, Senin (10/07)**.

-----------

Pergeseran perilaku konsumsi masyarakat yang tadinya menghisap rokok kelas 1 kemudian beralih ke kelas bawahnya juga bagi saya merupakan kabar baik. Mungkin yang dimaksud kelas adalah golongan, karena dalam aturan cukai dikenal beberapa golongan pabrik dengan membedakan hasil produksi dan jenis mesin untuk menetapkan perbedaan tarif cukai.

Misalnya SKM atau Sigaret Kretek Mesin yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya, atau sebagian menggunakan mesin. 

SKM dibagi menjadi 2 golongan yaitu golongan I yang produksinya Lebih dari 2 milyar batang, dan Golongan II yang produksinya tidak lebih dari 2 milyar batang. 

Jika golongan itu yang dimaksud sebagai rokok kelas 1, maka ini adalah perusahaan rokok yang sedikit menyerap tenaga kerja karena hampir seluruh proses produksinya menggunakan mesin. Adapun golongan lain atau yang dimaksud rokok kelas di bawahnya adalah perusahaan rokok yang banyak menyerap tenaga kerja dalam prosesnya.

Sisi baik perubahan itu adalah semakin tingginya demand atas produksi rokok atau hasil tembakau dari pabrikan yang sedikit banyaknya masih menggunakan tenaga manusia dalam proses pembuatannya. 

Hal ini menguntungkan bagi pemerintah dari sisi penyerapan ketenagakerjaan, karena dapat memperbanyak penyerapan tenaga kerja jika pabrikan tersebut akan menaikkan jumlah produksi atau menambah pabriknya.

-----------

Tentunya semua kebijakan memiliki kekurangan, namun khusus mengenai kebijakan cukai, ada beberapa aspek yang tidak bisa dipisahkan, yakni kesehatan , tenaga kerja, keberlangsungan industri rokok, penerimaan negara dan pengendalian rokok ilegal.





* https://mediaindonesia.com/ekonomi/604273/perpindahan-konsumsi-ke-rokok-murah-rugikan-penerimaan-dan-pengendalian-rokok
** https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Realisasi-APBN-Sem-I-2023 

Posting Komentar

No Spam, Please.