Kaos Kaki Sang Ustadzah

Reina melihat kaos kaki Ustadzah Eli bolong di bagian bawah, ia akan membelikan ustadzah Eli selusin kaos kaki minggu depan
Kalo saya bikin fiksi
Tandanya saya lagi mumet :D

Kaos Kaki Sang Ustadzah


~Kaos Kaki Sang Ustadzah ~


Gak ada yang bikin gak ribut di rumah ini. Mulai bangun tidur, sampai mau tidur lagi. Rumah sepasang suami istri yang terbilang masih muda, dengan tiga anak dengan kisaran usia 8 - 14 tahun. 

Dari mulai masalah antrian kamar mandi, seragam sekolah, tempat pensil, tempat minum dan kotak bekal, hp yang charger-nya dilepas pakai tanpa izin. Ahh.... Reina, sang mama, sudah nyaris kebal telinga menghadapi keseharian ini. 

" Ma, jilbab kaka yang hijau mana.. kok ga ada?

" Coba liat di gantungan baju belakang pintu...."

" Ma, tas abang kena air kemaren...."

" Kenapa ga bilang sih bang....."

" Ma... adek ga mau sarapan nasi goreng... maunya bubur...."

" Kan, kemaren udah bubur dek... gantian dong...."

" Sayang, iket pinggang ayah di mana yaa?"

Maka ketika satu per satu pasukan kecilnya berangkat sekolah, saatnya bagi Reina melepaskan keribetan pagi, menyongsong keribetan berikutnya.

Majelis Taklim


Hari ini jadwal majelis taklim. Semangat Reina menimba ilmu lewat pengajian sedang menggebu.

Selain itu, Reina suka dengan ustadzah Eli sang pengisi taklim yang baru. Materinya mengena, gampang dicerna, ringan tapi penting. Pembawaan ustadzah Eli yang sebenarnya membuat Reina suka hati. Manis, sederhana, senyumnya khas, dan ramah. 

Gamis dan jilbab sudah pas, tas berisi Al Quran terjemah, tinggal... ahaa... kaos kaki. 

Dua bulan ini Reina mencoba istiqomah,  mengenakan kaos kaki. Awalnya Barry sang suami protes, menurutnya, kalo Reina pake kaos kaki ke mana-mana jadi gak higienis. Karena kaos kakinya ga terjamin kebersihannya. 

Buat yang satu ini, Reina kasih jaminan, bahwa ia akan memakai kaos kaki sekali pakai langsung masuk ke bak cucian. Dua lusin kaos kaki langsung masuk daftar belanjaan. 

Tapi, tak satupun kaos kakinya nampak matching dengan stelan gamis dan jilbabnya kali ini. Reina mulai naik tensi. Seingatnya, ia punya dua pasang kaos kaki berwarna biru muda. Tapi ke mana?

Keringat mulai menetes, kekesalannya dia tumpahkan dengan menulis status di status WhatsApp. "Where the hell you damn blue socks? I'm in a hurry..."

Tapi, semua sudut ruang setrika, lemari dan kamar sudah ditelusuri, sang kaos kaki tak juga ia temui. Reina menyerah. 

Akhirnya ia memutuskan memakai kaos kaki berwarna coklat muda. Agak risih juga, tapi tak apalah. Warna ini lebih netral. 

Sepuluh menit kemudian, Reina sudah tiba di musholla cluster tempatnya tinggal. Ia langsung bergabung dengan ibu-ibu komplek yang sudah tiba lebih dahulu. Mereka sedang membaca surat Ar Rahman. Reina mengucapkan salam, lalu bercipika-cipiki, lantas memilih ke sisi kanan ustadzah Eli akan duduk.

Sang Ustadzah


Tak berapa lama, ustadzah Eli datang. Dengan motor honda tua yang lumayan memprihatinkan kondisinya. Jujur ketika pertama kali bertemu ustadzah yang dikirim DKM masjid komplek perumahan, Reina agak under estimate

Naik motor butut, gamis dan jilbab yang terlalu primary, gak keliatan pintar. Tapi ahh.... benar kata istilah, dont judge the book from it's cover

Dua tiga kali pertemuan, Reina jatuh cinta. Beberapa temannya juga mengaku sama. Bahkan udah banyak yang sering curhat ke ustadzah Eli di telpon, atau bahkan mengundang langsung ke rumah. 

Ustadzah Eli yang sederhana itu lulusan sarjana sebuah universitas negeri yang terkenal. Cerdas dan rendah hati. Tak sedikitpun ia nampak rendah diri. 

Reina menyambut ustadzah Eli dengan berdiri. Ketika tengah duduk, pandangan mata Reina memandang ustadzah hitam manis itu dengan seksama. Gamis polos biru dongker, dengan kerudung lebar berwarna senada. Bikin penampilan beliau keliatan sangat biasa. Jauh dari cantik, walau jujur masih terlihat menarik. 

Lalu, kaos kaki warna coklat yang sudah terlihat timbul benangnya dan..... aihh.... sekilas Reina melihat kaos kaki Ustadzah Eli bolong di bagian bawah.

Sebuah Teguran


Reina mendadak pening. Teringat kekesalan hatinya sebelum ke sini cuma gara-gara kaos kaki. Sedangkan ustadzah Eli, yang pintar dengan kualitas yang jauh lebih baik darinya, tak pernah risau hanya gara-gara kaos kaki yang ga matching. "Betapa tak tau dirinya," ia bergumam. 

Kaos Kaki Sang Ustadzah

Diam-diam Reina memiliki niat, ia akan membelikan ustadzah Eli selusin kaos kaki minggu depan. 

Tentu ini tak seberapa bila dibandingkan dengan sebuah pelajaran berharga yang ia dapatkan dari sosok ustadzah yang sederhana dan rendah hati itu. 

Betapa besar makna bersyukur.

Penulis Mak Sri Suharni
Selasa, 20 September 2016

4 komentar

  1. Moral of the story: beli kaos kaki hitam sebanyak-banyak hahaha :D matching dengan semua baju itu, Om.
    1. :) buat saya yang gak biasa pakai kaos kaki dan lebih suka bersendal ria, iya iya aja hahaha
  2. Cerita yang renyah, thanks for share 👍👍
    1. terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak :)
No Spam, Please.