Anonimitas, Deindividuasi dan Lingkaran Kekerasan

Identitas terlindungi oleh anonimitas membuat orang menjadi agresif daripada saat dalam kondisi normal - Deindividuasi dan Lingkaran Kekerasan - bisot


Jiwa muda penuh dengan aspirasi, kadang mereka melakukan pemberontakan-pemberontakan untuk melawan arus mainstream atau apapun yang dominan. Pemberontakan seperti itu wajar saja dialami para remaja yang sedang mencari jati diri, namun demikian proses ini bukan tidak memiliki risiko.


Jiwa Muda Jiwa Pemberontak

Buat para pemuda yang bisa memainkan alat-alat musik mereka melawan kemapanan dengan genre yang sesuai dengan selera mereka.

Lahirnya musik punk, indie, grunge, crossover, grindcore dll menurut keyakinan beberapa orang diawali dengan semangat pemberontakan akan selera mainstream yang dirasa terlalu mendikte rasa.

Demikian juga bagi mereka yang memiliki kecerdasan warna, mereka bermain di ranah lukisan hingga graffiti di tembok yang berisi kritik. Yang memiliki kecerdasan diksi menyuarakan puisi-puisi perlawanan di komunitas sastra atau di panggung indie, dan seterusnya, termasuk dalam bidang seni, sehingga lahir apa yang dikenal Art Brut.

Bagaimana buat yang gak bisa apa-apa? 

Pemberontakan mereka menjungkirbalikkan semua, mereka mirip lubang hitam yang akan melahap apa saja yang ada, dengan ekspresi kemarahan paling rendah, mereka tidak segan melakukan aksi kekerasan dan melukai siapa saja yang lebih lemah sebagai ekspresi pemberontakan terhadap semua nilai. 

Dalam setiap kumpulan itu solidaritas tumbuh. Perasaan senasib sependeritaan menghadapi problema yang sama, merasa sama-sama dalam perjuangan yang sama.

Dalam kesendirian yang menyadari kelemahan dan terus terpinggirkan, akhirnya butuh berkelompok untuk menyatukan kekuatan. Itulah kenapa ada rasa ketergantungan dengan kelompoknya, ada rasa keterikatan dan kebutuhan untuk selalu ikut dan mempertahankan kelompoknya.



Deindividuasi

Deindividuasi adalah keadaan di mana seseorang kehilangan kesadaran akan diri sendiri (self awareness) dan kehilangan pengertian evaluative terhadap dirinya (evaluation apprehension) dalam situasi kelompok yang memungkinkan anonimitas dan mengalihkan atau menjauhkan perhatian dari individu (Festinger, Pepilone, & Newcomb; 1952)

Deindividuasi adalah bentuk pengekangan perilaku yang diinginkan individu, tetapi bertolak belakang dengan norma sosial. Teori ini juga menegaskan bahwa menyatunya individu terhadap kelompok membuat individu kehilangan identitas diri yang berakibat seseorang berperilaku agresif atau menyimpang dari perilaku sosial. (Festinger, dalam Chang, 2008)

Deindividuation Theory atau Deindividuasi menjelaskan mengapa dalam kelompok dan keramaian identitas pribadi akan mudah cair dan berubah menjadi identitas kelompok, terutama jika ada kesamaan atribut atau persamaan lainnya. 


Teori-teori tentang penyebab Deindividuasi 

Singer, Brush, dan Lublin (1965) menyatakan bahwa seseorang bisa mengalami deindividuasi jika:
  1. mempunyai banyak kesamaan dengan anggota kelompok yang lain
  2. merasa yakin bahwa tindakannya tidak akan diperhatikan sebagai tindakan perorangan, namun sebagai tindakan kelompok
  3. tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas aksi yang ia lakukan.
Jika tiga syarat tadi telah terpenuhi, maka deindividuasi bisa terjadi.


Menurut Reicher (1995) ada 3 faktor utama yang membuat seseorang mengalami deindividuasi, yaitu:
  1. Group immersion, yang berarti meleburnya individu ke dalam kelompok. Individu tidak lagi melihat dirinya sebagai seorang individu tetapi sebagai bagian dari kelompok.
  2. Anonimity, yaitu saat di mana identitas pribadi seseorang tidak diketahui.
  3. Hilangnya self- awareness dan self regulation. Hilangnya kesadaran diri dan kontrol diri menjadi salah satu faktor yang membuat seseorang mengalami deindividuasi.
Menurut Myers (2008) ada beberapa faktor yang mempengaruhi deindividuasi, yaitu
  1. Individu berada dalam kelompok besar. Ketika individu berada pada kelompok besar, maka individu merasa bahwa tanggung jawab adalah urusan kelompok. Kesadaran individu berkurang dan berpotensi menimbulkan perilaku impulsif.
  2. Anonimitas fisik. Ketika individu berada pada kelompok besar, maka individu cenderung mempersepsikan dirinya sebagai yang anonim.
  3. Terstimulasi dan pengalihan aktivitas. Seringkali perilaku kelompok berawal dari hal-hal sepele. Contohnya bentrokan antar suporter yang biasanya dari saling ejek dan berujung ke tindakan kekerasan seperti tawuran, pengeroyokan dan semacamnya.

Dengan memahami teori deindividuasi, kita mungkin akan lebih memahami fenomena mengapa massa yang semula tertib tetap memiliki risiko berubah menjadi kacau (chaos) karena alasan-alasan kecil, risiko itu selalu ada.

Aparat keamanan paham benar soal psikologi massa seperti itu, atau setidaknya telah dibekali dengan pemahaman yang cukup untuk mengantisipasi dan menghadapi agresi kolektif massa, baik yang sedang tertib atau pun yang chaos.

Kalau ada yang menilai perilaku kelompok seperti itu pengecut bisa dibenarkan bisa juga enggak. Karena justru kelemahan per individu itu yang membuat mereka membentuk kelompok yang lebih besar dan kuat lalu menghancurkan yang lebih lemah dari kelompok mereka.

Para pelaku tawuran itu hanya kuat saat bersama dengan kelompoknya, jika sendiri mereka mereka sadar betul akan kelemahannya. Rasa tak percaya diri akan terus terpelihara sehingga dalam kehidupan pribadi mereka lebih banyak mengalah dan menampilkan sikap pasrah atau selalu lari dari masalah.

Jika hal demikian terus dibiarkan maka bisa berakibat buruk bagi perkembangan psikologi mereka hingga risiko gangguan jiwa, sikap anti sosial yang akrab dengan kekerasan akan terus terbawa dan membuat mereka sulit beradaptasi dengan lingkungannya.


Identitas yang terlindungi oleh anonimitas, membuat seseorang menjadi lebih agresif daripada saat mereka dalam kondisi normal. 

Jangan heran jika akun-akun anonim bisa membuat status atau berkomentar di luar kewajaran atau memprovokasi secara terang-terangan. Mereka kemungkinan besar adalah pasukan siber (cyber army) yang sudah ditugaskan dengan misi tertentu. Sebenarnya ada kesalahan pemahaman dengan istilah buzzer, namun demikian pemahaman yang berkembang seperti mengidentikkan kata buzzer untuk pasukan siber.

Jika benar jiwa muda adalah jiwa pemberontak, maka mudah-mudahan ada keberanian untuk memberontak dan mendobrak keterikatan untuk meninggalkan lingkaran pertemanan yang negatif. Jika bisa, maka sedikit demi sedikit rasa percaya diri akan tumbuh dan kehidupan dengan sendirinya akan menjadi jauh lebih baik.


Rabu, 13 April 2022 | 11 Ramadhan 1422.


Posting Komentar

No Spam, Please.