Pacaran itu apa sih?

Pacar adalah teman yang punya hubungan berdasarkan cinta kasih. Pacaran merupakan proses perkenalan dalam tahap pencarian kecocokan menuju pernikahan
Pacaran itu apa sih?

PACARAN ITU APA?

Jati Diri di Persimpangan Jalan: Memahami Gejolak Rasa di Masa Remaja

Ada cerita unik yang sering kita temui di lorong-lorong sekolah, di kafe-kafe, atau bahkan di media sosial: tentang dua insan yang saling berpandangan, senyum-senyum malu, dan tiba-tiba saja dunia terasa milik berdua. Kisah ini begitu universal, seolah-olah pacaran adalah babak wajib dalam setiap skenario kehidupan remaja. 

Kita mungkin pernah merasakannya, melihatnya, atau bahkan menjadi pemeran utamanya. Namun, di balik semua keindahan itu, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya, “Sebenarnya, pacaran itu apa, sih?”

Sejak zaman Nabi Adam dan Siti Hawa, manusia memang diciptakan berpasangan. Rasa suka terhadap lawan jenis adalah fitrah, sebuah anugerah yang menggerakkan roda kehidupan. Tanpa rasa ini, mungkin dunia akan terasa sepi, tanpa warna, tanpa generasi baru. Namun, seperti mata uang, setiap anugerah memiliki dua sisi. 

Di tangan yang salah, rasa suka bisa disalahartikan menjadi sesuatu yang lain—sebuah hubungan yang hanya berlandaskan kesenangan sesaat, bukan tujuan yang mulia. Dan di sinilah, para remaja sering kali terjebak dalam labirin emosi yang membingungkan.

Kenapa Pacaran Begitu Populer di Kalangan Remaja?

Masa remaja adalah fase pencarian jati diri yang paling intens. Kita bagaikan bunga yang baru mekar, haus akan cahaya dan air. Rasa ingin tahu membuncah, dan kita ingin mencoba segala hal, termasuk apa yang dianggap "normal" oleh lingkungan sekitar. Inilah mengapa pacaran menjadi begitu masif. 

Bagi sebagian remaja, pacaran adalah simbol kedewasaan, bukti bahwa mereka "laku," atau cara untuk merasa diterima oleh teman sebaya. Sayangnya, banyak yang terjebak dalam definisi pacaran yang sempit, hanya sebatas "punya pacar," tanpa memahami esensi dan tanggung jawab di baliknya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pacar adalah teman lawan jenis yang memiliki hubungan berdasarkan cinta dan kasih. Sementara itu, Wikipedia mendefinisikannya sebagai proses perkenalan untuk mencari kecocokan menuju pernikahan. Kalau kita telaah, kedua definisi ini sebenarnya sangat luhur. 

Mereka bicara tentang cinta, kasih, dan tujuan yang serius. Namun, realitanya di masa remaja, seringkali pacaran hanya menjadi ajang mengisi waktu luang atau pelarian dari rasa bosan. Bukan lagi tentang mencari kecocokan, tapi lebih kepada ajang pamer, ikut-ikutan tren, atau bahkan mengorbankan diri sendiri demi orang lain.

Pacaran bukanlah perlombaan. Jangan merasa tertinggal hanya karena teman-temanmu sudah punya pacar, sementara kamu belum.

Dampak Tak Terduga dari Pacaran di Usia Belia

Meskipun terlihat menyenangkan, pacaran di usia remaja seringkali membawa dampak negatif yang tidak disadari. Ini bukan berarti pacaran itu sepenuhnya buruk, tapi lebih karena kita belum memiliki benteng mental dan prioritas yang kuat.

  1. Prioritas Terbalik dan Waktu yang Terbuang. Saat seorang remaja mulai pacaran, seringkali ia menjadi lalai. Tugas sekolah yang menumpuk, amanat orang tua, bahkan waktu untuk beribadah, semua terasa tak sepenting membalas pesan dari sang pacar. Otak kita seolah hanya terprogram untuk satu hal: kebahagiaan saat ini, bersama dia. Kita jadi boros kuota, boros pulsa, dan yang lebih parah, boros waktu yang seharusnya kita gunakan untuk belajar, mengeksplor hobi, atau mengembangkan diri.

  2. Jebakan Pergaulan Bebas. Banyak yang tidak menyadari bahwa pacaran bisa menjadi pintu gerbang menuju pergaulan bebas. Lingkungan pertemanan seringkali menormalisasi tindakan dalam pacaran seperti berpegangan tangan, berciuman, atau bahkan lebih dari itu, seolah itu adalah hal biasa dalam sebuah hubungan. Padahal, kita tahu betul, hal-hal tersebut sangat tidak pantas untuk dilakukan, apalagi di usia yang belum matang. Tekanan dari teman atau bahkan dari pacar sendiri bisa membuat kita melakukan hal yang tidak kita inginkan, hanya demi menjaga hubungan.

  3. Kesehatan Mental yang Tergerus. Ini adalah dampak yang sering terabaikan. Putus cinta bisa terasa seperti akhir dunia. Ditolak atau diselingkuhi bisa membuat kita merasa tidak berharga. Ketergantungan emosional pada pasangan dapat membuat kita kehilangan jati diri. Ketika hubungan berakhir, kita harus menghadapi kesedihan yang mendalam, rasa sakit, dan bahkan trauma. Di usia yang seharusnya penuh dengan semangat, kita justru harus berjuang dengan patah hati dan kehilangan, yang pada akhirnya bisa mengganggu fokus belajar dan masa depan.


Pacaran bukanlah perlombaan. Jangan merasa tertinggal hanya karena teman-temanmu sudah punya pacar, sementara kamu belum. Ingatlah, bahwa di usia remaja, fokus kita seharusnya adalah mencintai diri sendiri terlebih dahulu. Kembangkan bakatmu, raih prestasimu, jalin pertemanan yang sehat, dan bangun benteng keimanan yang kokoh.

Hubungan yang sehat tidak akan pernah membuatmu mengorbankan masa depanmu. Cinta sejati tidak akan menuntutmu melakukan hal yang merusak kehormatan diri. Jadikan masa remajamu sebagai investasi terbaik untuk masa depanmu. 

Daripada sibuk memikirkan pasangan, lebih baik sibukkan dirimu dengan hal-hal yang bermanfaat, yang bisa membawamu selangkah lebih dekat dengan cita-cita.

Pada akhirnya, hidup adalah tentang pilihan. Pilihlah jalan yang akan mengantarkanmu pada kebahagiaan sejati, bukan kebahagiaan sesaat. Pilihlah pergaulan yang membangun, bukan yang merusak. Karena, mencintai dan dicintai memang takdir, tapi bagaimana kita mengelola cinta itu adalah pilihan. Jadikan masa remajamu sebagai babak terbaik dalam kisah hidupmu, di mana kamu belajar, berkembang, dan mencintai diri sendiri seutuhnya.

Penulis: Silvi Apriyanti
Editor: Bisot
Mahasiswi Perbankan Syariah STEI SEBI DEPOK 

Posting Komentar

No Spam, Please.