Menyelami The Old Woman with the Knife (2025)
Pernahkah Anda membayangkan pahlawan film laga bukan seorang pemuda berotot dan bersemangat tinggi, melainkan seorang perempuan berusia senja yang menyimpan sejarah panjang di setiap gerakannya?
Imajinasi itu menjadi nyata dalam film Korea Selatan The Old Woman with the Knife (2025). Film ini bukan sekadar tontonan aksi berdarah, tapi juga kisah reflektif tentang usia, cinta, dan harga dari setiap keputusan yang kita buat dalam hidup.
Siapa Hornclaw, Si Assassin di Usia Senja
Disutradarai oleh Min Kyu-dong dan diadaptasi dari novel karya Gu Byeong-mo, film berdurasi 131 menit ini memperkenalkan kita pada Hornclaw (Hyeyoung Lee), pembunuh bayaran legendaris dari organisasi rahasia bernama “pengendali hama manusia”, sebuah kelompok yang hanya menargetkan penjahat yang lolos dari hukum.
Selama empat dekade, Hornclaw dikenal sebagai mesin pembunuh paling efisien. Julukan “Hornclaw” atau “Cakar Tanduk” ia dapatkan setelah sebuah misi berdarah yang menegaskan reputasinya, dalam organisasinya ia juga dijuluki Godmother atau Ibu Suri. Namun film ini tidak hanya menyoroti sisi mematikannya, melainkan juga rutinitas kecil yang membuatnya terasa manusiawi: ia menyembunyikan senjata di antara toples kimchi di dapurnya, hidup sendirian, dan menua dengan rasa sepi yang diam-diam menyakitkan.
Di balik wajah dinginnya, Hornclaw adalah simbol dari pengalaman dan kecerdikan, perpaduan antara ketegasan, kesepian, dan kelelahan yang hanya bisa lahir dari hidup panjang yang penuh darah.
Ketika pengalaman menjadi senjata utama
Alur film berjalan maju-mundur, membawa kita ke tahun 1975, ketika Hornclaw masih bernama Soel-hwa Min (Shin Sia). Gadis muda itu berubah menjadi pembunuh setelah insiden kekerasan yang memaksanya bertahan hidup dengan cara ekstrem.
Dari situlah lahir “Nails”, sosok awal yang kelak dikenal sebagai Hornclaw. Fragmen-fragmen masa lalu ini bukan sekadar kilas balik, tetapi potongan luka yang menjelaskan mengapa ia hidup dengan kode etik: hanya membunuh mereka yang pantas mati.
Kini, di usia senjanya, Hornclaw mulai melunak. Ia mengadopsi seekor anjing tua terlantar, lambang dirinya sendiri: pejuang tua yang butuh kasih sayang. Ia juga berkenalan dengan Dr. Kang (Yeon Woo-jin), seorang dokter hewan yang tanpa sengaja menjahit luka-lukanya.
Dari hubungan itu, film menumbuhkan sisi lembut di balik tembok keras Hornclaw. Interaksi mereka, bersama putri kecil Dr. Kang, menjadi jeda kemanusiaan di tengah hidupnya yang kelam.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.

Konflik generasi dan benturan nilai
Masuklah Bullfight (Kim Sung-cheol), pembunuh muda penuh ambisi yang baru direkrut oleh organisasi. Bagi Bullfight, membunuh bukan lagi soal moral, melainkan hiburan dan kekuasaan. Ia mengagumi Hornclaw, tapi juga ingin menggantikannya. Bullfight menjadi simbol dunia baru yang kejam, di mana prinsip lama dianggap beban.
Sementara itu, Direktur Son (Kang-woo Kim), kepala organisasi, mendukung pendekatan Bullfight demi keuntungan lebih besar. Hornclaw, yang selama ini hidup dengan etika “membunuh yang pantas mati”, mulai dianggap usang. Dunia yang ia jaga perlahan berubah menjadi bisnis darah tanpa batas.
Namun hubungan Hornclaw dan Bullfight ternyata jauh lebih dalam daripada sekadar rivalitas profesional.
Ikatan lama yang terlupakan
Bertahun-tahun sebelum pertemuan mereka, Hornclaw pernah menerima misi untuk membunuh seorang pria yang merupakan ayah dari Bullfight kecil. Untuk mendekati target, Hornclaw menyamar sebagai pengasuh anak tersebut. Dalam penyamarannya, ia menjadi satu-satunya pelindung bagi Bullfight kecil yang tumbuh dalam rumah penuh kekerasan. Dari interaksinya dengan Hornclaw itulah Bullfight kecil baru merasakan kasih sayang dan perlindungan. Anak itu memandang Hornclaw sebagai sosok ibu dan pengasuh yang menyelamatkan dan melindungi.
Namun saat tiba eksekusi mengubah segalanya, ketika Hornclaw membunuh ayahnya tepat di depan mata Bullfight kecil. Ironisnya, itu tidak menumbuhkan kebencian, justru keinginan untuk ikut dengan Hornclaw, kini anak itu berusaha mencari wanita yang pernah menjanjikan, “Kalau kamu sudah besar nanti, kamu boleh hidup bersamaku.”
Bertahun-tahun kemudian, janji itu membuat Bullfight menjadi sosiopat pembunuh dan terus mencari Hornclaw, bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk menepati harapan masa kecilnya: hidup bersama orang yang dulu menyelamatkannya. Tapi dunia mereka sudah terlalu kelam untuk cinta yang polos seperti itu.
Pertarungan Final
Konfrontasi antara Hornclaw dan Bullfight mencapai puncaknya di taman hiburan terbengkalai, sebuah tempat yang sunyi, kumuh tak tersentuh manusia, penuh warna pudar dan kenangan masa lalu. Tapi pertarungan itu bukan sekadar duel pribadi. Bullfight menculik putri kecil Dr. Kang untuk memancing Hornclaw datang. Bagi Bullfight, itu ujian terakhir: apakah Hornclaw masih seorang pembunuh, ataukah ia sudah berubah menjadi manusia yang mampu melindungi kehidupan?
Hornclaw datang sendiri untuk menyelamatkan anak itu dengan disambut tembakan dan aksi perkelahian yang keren. Namun demi menuntaskan siklus masa lalu, pertarungan tak terhindarkan. Aksi mereka brutal, tapi juga memilukan, dua jiwa yang terikat masa lalu saling melukai demi alasan yang sama: cinta.
Di akhir hujan peluru dan darah, Hornclaw berhasil menyelamatkan anak Dr. Kang. Bullfight terluka parah, dan di detik-detik terakhir hidupnya, ia berbisik lirih mengingatkan janji lama mereka, termasuk janji Hornclaw untuk mengajak Bullfight ke taman hiburan terbengkalai yang menjadi tempat duel mereka. Momen itu membuat Hornclaw hening. Ia menatap wajah Bullfight yang sekarat, dan untuk pertama kalinya, ia mengingat anak kecil yang dulu ia tinggalkan. Dalam mata yang hampir tertutup, Bullfight tersenyum, bukan dengan benci, tapi dengan damai.
Hornclaw memeluknya, lalu menatap langit abu-abu taman hiburan. Ia tidak menang, ia tidak kalah. Ia hanya seorang wanita tua yang akhirnya menebus satu janji lama.

Aksi yang cerdas dan manusiawi
Adegan pertarungan di taman hiburan menjadi simbol utama film: antara masa lalu dan masa kini, antara membunuh dan menyelamatkan. Koreografi pertarungannya menegangkan, tapi tetap sarat makna. Hornclaw tidak lagi berjuang demi misi, melainkan demi sesuatu yang lebih besar, hak seseorang untuk hidup tanpa rasa takut.
Sutradara Min Kyu-dong memadukan kekerasan dengan kelembutan secara menawan. Setiap pisau, peluru, dan tatapan di layar membawa makna emosional. Ia menjadikan pertarungan fisik sebagai metafora untuk konflik batin: bagaimana seseorang bisa berubah tanpa menghapus masa lalunya.
Melampaui genre aksi
Sekilas, film ini mungkin tampak seperti versi Korea dari John Wick — dunia rahasia para pembunuh dan kode etik yang dilanggar. Tapi The Old Woman with the Knife jauh lebih manusiawi. Hornclaw bukan legenda yang dingin; ia adalah manusia yang menua, menyesal, dan masih mencari makna hidup.
Pertemuan terakhir dengan Bullfight menjungkirbalikkan definisi “musuh.” Film ini tidak lagi bicara tentang kemenangan, tapi tentang penyesalan dan cinta yang tak sempat terucap. Tak ada kemenangan, tak ada kemuliaan. Hanya kedamaian kecil setelah badai panjang — mungkin, untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa hidup.
Pada akhirnya, The Old Woman with the Knife bertanya dengan lembut namun tajam: apakah nilai seseorang memudar seiring usia, atau justru bertambah dalam karena pengalaman? Hornclaw menjadi simbol “buah memar” — tampak rusak di luar, tapi menyimpan rasa yang paling kaya.
Kesimpulan
The Old Woman with the Knife (2025) bukan sekadar film aksi, banyak yang bisa dicatat sebagai pelajaran, salah satunya tentang penebusan dan keberanian untuk tetap berpegang pada hati di tengah dunia yang kehilangan arah. Ia mengingatkan bahwa bahkan dalam kegelapan, masih ada ruang kecil untuk kasih sayang.
Hornclaw mungkin hanya pembunuh tua, tapi lewat kisahnya, kita belajar: menjadi manusia sejati bukan soal umur atau kekuatan, melainkan keberanian untuk menyelamatkan, bahkan ketika diri kita pernah dipenuhi noda dan luka.