
Ada keponakan saya bernama Shafiyah. Setiap kali bertemu dengannya, saya sering bercanda dengan memanggilnya “Shopi” memakai nada khas notifikasi atau iklan salah satu aplikasi belanja online.
Kemarin malam ketika saya bersama Aziz mampir ke rumahnya, ia mengintip dari jendela sambil bertanya polos, “Siapa?” Saya pun menjawab dengan gaya khas itu. Seketika ayahnya mengira ada kurir paket datang, sementara ibunya langsung paham kalau itu saya. Tetang ibunya saya pernah sedikit cerita di tulisan: Kopi Sore Pembawa Kenangan.
Momen kecil tadi membuat saya teringat akan nama yang ia sandang: Shafiyah, nama mulia yang juga dimiliki salah satu istri Rasulullah SAW: Sayyidah Shafiyah binti Huyay.
Nama ini bukan sekadar identitas. Ia membawa sejarah, doa, sekaligus pengingat akan sosok wanita yang kehidupannya penuh pelajaran, baik dalam kesabaran, cinta, maupun keberanian.
Dari Tawanan Perang Menjadi Ummul Mukminin
Sayyidah Shafiyah lahir dari keluarga terhormat. Ayahnya, Huyay bin Akhtab, adalah pemimpin Bani Nadhir, salah satu suku Yahudi di Madinah. Namun sejarah mencatat, ayahnya dikenal sebagai orang yang keras menentang Rasulullah SAW hingga menimbulkan fitnah dan pengkhianatan. Beberapa asbabun nuzul ayat Al-Quran mengaitkan Huyay bin Akhtab sebagai salah satu tokoh Yahudi yang keras menentang Rasulullah.
Ketika terjadi Perang Khandaq, suku Bani Quraizhah termasuk Bani Nadir berkhianat dan melanggar perjanjian damai dengan menyerang kaum muslimin dari dalam Madinah. Setelah kaum Muslimin menang, Huyay bin Akhtab turut dieksekusi karena pengkhianatannya. Saat itu Shafiyah menjadi tawanan perang, ia berada diantara tawanan non kombatan yang tidak dieksekusi. Rasulullah kemudian memberinya pilihan: mau kembali ke kaumnya di Khaibar dengan bebas dan merdeka atau masuk Islam dan menjadi istri beliau.
Dengan keteguhan hati, Shafiyah berkata, “Aku telah mempelajari dan meneliti Islam dan meyakini engkau sebelum engkau mendakwahiku. Aku memilih iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Maka sejak saat itu, ia menjadi bagian dari keluarga Nabi. Dari kisah ini kita bisa belajar bahwa hidayah tidak terikat pada garis keturunan. Shafiyah membuktikan, meski lahir dari keluarga yang menentang Islam, dengan intelektualitasnya ia memilih kebenaran dan keimanan.
Kesabaran Menghadapi Ujian Hati
Sebagai Ummul Mukminin, Shafiyah tidak lepas dari ujian. Kecantikan dan kebaikan hatinya kadang membuat istri-istri Nabi yang lainnya merasa cemburu. Menurut catatan Annas, pernah suatu ketika, Shafiyah menyuruh pelayannya membawakan kue untuk Rasulullah yang sedang bersama Aisyah, tetapi Aisyah karena rasa cemburu tak tertahan, memecahkan piring yang dibawa oleh pelayan Shafiyah. Rasulullah dengan lembut menenangkan suasana, mengatakan pada pelayan, "Ibumu sedang cemburu," lalu memungut kue-kue itu dan mengganti piring yang pecah untuk dibawa kembali. Shafiyah memahami perasaan cemburu Aisyah dan memakluminya.
Menurut catatan Tirmidzi, Ada pula saat Hafshah menyebut Shafiyah sebagai “anak Yahudi.” Ucapan ini melukai hatinya hingga ia menangis. Rasulullah lalu menenangkan dengan penuh kasih, “Memang benar, engkau anak seorang Yahudi. Tapi engkau keturunan Nabi Harun, pamanmu Nabi Musa, dan kini engkau adalah istri seorang Nabi.”
“Memang benar, engkau anak seorang Yahudi. Tapi engkau keturunan Nabi Harun, pamanmu Nabi Musa, dan kini engkau adalah istri seorang Nabi.”
Menurut beberapa tulisan yang saya baca, ada riwayat yang mencatat bahwa surah Al-Hujurat Ayat 11 tentang larangan mengolok-olok diturunkan (asbabun nuzul) salah satu alasannya berkaitan dengan hinaan pada Sayyidah Shafiyyah tersebut, namun saya gagal mencari riwayat dan sumber referensi yang layak atas klaim ini.
Pelajaran dari peristiwa ini begitu relevan hari ini. Dalam kehidupan modern, banyak orang yang merasa rendah diri karena asal-usul, status sosial, atau latar belakang keluarga. Namun, Shafiyah mengajarkan bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh masa lalunya, melainkan oleh pilihan dan keteguhan imannya.
Keberanian dan Kebesaran Hati
Ketika Rasulullah wafat, Shafiyah tetap menunjukkan keberaniannya. Saat rumah Khalifah Utsman bin Affan dikepung oleh para pemberontak Khawarij, ia berusaha mengirimkan bantuan makanan melalui jalur rahasia meski dihalangi dan diancam. Ini bukti bahwa cintanya kepada Islam tidak berhenti meski Nabi telah tiada.
Keteladanan lain terlihat ketika pembantunya memfitnahnya dengan mengadukan dirinya kepada Umar bin Khattab, “Shafiyah masih mencintai hari Sabtu dan tetap berhubungan dengan orang-orang Yahudi!”. Sayyidah Shafiyah dengan sabar mengklarifikasi fitnah itu, “Hari Sabtu sudah tidak aku cintai lagi sejak Allah menggantinya dengan hari Jumat. Sedangkan orang-orang Yahudi, aku mempunyai kerabat di sana dan aku hanya bersilaturrahmi.” Umar pun kemudian membenarkan perilaku Shafiyah.
Bukannya marah atau menghukum, Shafiyah memilih memaafkan dan membebaskan budaknya. Sebuah sikap yang jarang ditemui: memaafkan ketika sebenarnya bisa membalas. Dalam dunia yang hari ini dipenuhi konflik, dendam, dan perpecahan, sikap Shafiyah adalah solusi: menghadapi keburukan dengan kelapangan dada.
Sayyidah Shafiyah di Mata Sejarah dan Kehidupan Modern
Sejarah mencatat Shafiyah sebagai sosok penuh keanggunan. Aisyah bahkan pernah berkata, “Aku tidak pernah menemukan perempuan yang pandai membuat makanan seperti Shafiyah.” Artinya, ia bukan hanya cerdas dan berani, tetapi juga terampil dalam hal yang membawa kehangatan rumah tangga.
Dalam konteks kehidupan masa kini, keteladanan Shafiyah bisa menjadi inspirasi. Dari beliau kita belajar tiga hal penting:
- Keberanian memilih kebenaran – meski lahir dari keluarga yang menentang Islam, ia memilih iman. Ini mengajarkan kita untuk berani melawan arus jika arus itu salah.
- Kesabaran menghadapi ujian sosial – meski dicibir dan diperlakukan tidak adil, ia tetap menjaga hati dengan penuh kelembutan.
- Kebesaran hati dalam memaafkan – di tengah dunia modern yang mudah tersulut amarah, sikap memaafkan adalah keteladanan yang sangat relevan.
Semua Ummul Mukminin adalah Teladan
Mengenal Sayyidah Shafiyah membuat kita menyadari bahwa di balik setiap nama ada cerita, dan di balik setiap cerita ada pelajaran hidup. Namun, perlu diingat, keteladanan tidak hanya ada pada Shafiyah. Semua istri Nabi memiliki kemuliaan dan peran penting masing-masing. Mereka adalah Ummul Mukminin (ibu bagi orang-orang beriman) yang Allah muliakan tanpa terkecuali.
Karena itu, ketika kita menyebut satu nama, itu bukan untuk meninggikan di atas yang lain, melainkan untuk mengingatkan diri bahwa suri teladan bisa datang dari mana saja.
Dalam kehidupan yang penuh tantangan, kita bisa belajar kecerdasan dari Aisyah, keteguhan dari Hafshah, kedermawanan dari Zainab, dan kelembutan hati dari Shafiyah. Semuanya bersatu dalam satu pelajaran besar: cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah cahaya yang menguatkan setiap langkah.
Catatan ini hanya ulasan mengenai keponakan saya yang bernama Shafiyah beserta doa agar nama ini menjadi tauladan baginya.