
Ngopi Sore di Pasar Babelan
Senja menetes perlahan di Pasar Babelan. Sisa aroma cabe dan ikan asin masih menggantung, bercampur wangi kopi pahit dari warung kecil di pojok lapak yang mulai sepi. Di bangku kayu, Ki Somad duduk santai menikmati rokok dan kopi pahitnya.
Usianya sudah sepuh, tapi semangatnya belum pudar. Di dekatnya ada Bisot si petualang motor yang baru tiba dengan motor andalannya yang dekil berlumpur.
“Capek, Sot?” tanya Ki Somad sambil meniup asap rokoknya.
“Lumayan, Ki. Keliling pesisir Bekasi cuma dua jam, biar kondisi jalan masih amburadul tapi pemandangan sawah dan kampung masih bisa bikin seger,” kata Bisot. “Saya naik motor buat nyari tenang. Tapi ada teman-temen lain malah sibuk main HP buat ngilangin stres. Bukannya tambah stres, ya?.”
Sebelum Ki Somad sempat menjawab, Udin, si penjual cabe yang lapaknya dipakai nongkrong, menghampiri mereka. Udin memang dikenal murah senyum dan ringan tangan.
“Sot, kalau mau cuci motor di tempat Bang Anen, jangan di marih. Ki Somad mau ngopi santuy,” canda Udin.
Udin langsung menimpali sambil menghidangkan kopi. “Anak sekarang stresnya beda, Sot. Kita dulu pusing karena harga cabe naik. Bocah sekarang stres gara-gara followers turun.”
Ki Somad tertawa kecil. “Ya, tiap zaman ada jenis stresnya sendiri, Din.”
Tak lama, Fufu datang. Jaketnya mengkilat, rambutnya licin, tapi matanya letih. Ia duduk, masih menatap layar ponselnya.
“Fufu nih,” kata Bisot menggoda, “Dia ini contoh anak zaman sekarang, Ki. Style sudah keren, tapi kalau diajak ngobrol, jawabannya selalu singkat. Lebih percaya diri di depan kamera daripada di depan kita.”
Fufu menatap sekilas. “Bukan gitu, Bang. Itu namanya efisiensi komunikasi. Kenapa harus basa-basi panjang kalau intinya sudah jelas? Kan buang-buang waktu.”
Udin ngakak. “Nah, itu dia! Dunia makin efisien, tapi manusia makin susah ngobrol.”
Ki Somad hanya tersenyum, menyeruput kopinya perlahan.
Dopamin Murah dan Kebahagiaan Instan
“Fufu ada benarnya,” ujar Ki Somad pelan. “Zaman sekarang memang menuntut cepat. Tapi kecepatan itu kadang jadi cetek, gak punya kedalaman.”
Ia menatap mereka satu per satu. “Lu pada tahu gak, obrolan basa-basi yang kalian anggap buang waktu itu sebenarnya latihan empati. Dari sana kita belajar membaca wajah, nada bicara, suasana hati. Itu latihan jadi manusia.”
Bisot mengangguk. “Berarti generasi sekarang kurang latihan jadi manusia, Ki?”
Ki Somad tersenyum tipis. “Bukan kurang latihan, tapi terlalu sibuk dengan hal instan. Semua pengin cepat ada hasilnya. Padahal, kebahagiaan juga ada di proses.”
Fufu mengernyit. “Tapi emang salah, Ki, kalau orang cari senang cepat? Kan wajar pingin hiburan.”
Ki Somad melanjutkan, suaranya tenang. “Kenapa anak muda sekarang gampang rapuh, gampang stres, bahkan mudah sampai berpikir bunuh diri? Karena mereka kehilangan fondasi itu.”
Bisot menyahut, “Karena gadget, Ki?”
“Bukan gadget-nya, Sot. Tapi ketergantungan kita pada HP. Kalian tahu Dopamin?” tanya Ki Somad.
Fufu menggeleng.
“Dopamin itu zat di otak yang bikin kita merasa senang. Misalnya habis minum kopi enak, dapat nilai bagus dari otak, atau berhasil ngerjain sesuatu, otak banjir dengan dopamin. Tapi sekarang banyak yang dapat dopamin tanpa usaha: dari notifikasi, like, atau scroll video pendek. Nah, itu yang disebut dopamin murah, senangnya cepat, tapi cepat juga hilang.”
Bisot tertawa. “Jadi kayak motoran cuma dua menit, tapi bensinnya habis.”
“Persis! Hahaha” Ki Somad tertawa. “Dopamin murah itu bikin otak ketagihan. Akhirnya kita sulit menikmati hal yang lambat tapi bermakna.”
Dopamin murah bikin otak ketagihan. Akhirnya kita sulit menikmati hal yang lambat tapi bermakna
“Saat kita ngobrol dan tertawa bersama di sini, otak kita juga melepaskan Dopamin, tapi itu Dopamin murni. Dopamin yang didapat dari usaha membangun koneksi, dari empati. Kualitasnya berbeda, efeknya lebih ngena,” jelas Ki Somad.
“Jadi, ketika masalah nyata datang masalah yang butuh skill negosiasi dan dukungan emosional, anak muda sekarang stres dan rapuh,” simpul Udin. “Mereka tidak terbiasa menghadapi kesulitan yang lambat dan perlu proses.”
Ki Somad mengangguk. "Tawuran itu juga bisa jadi pelampiasan. Karena di dunia nyata, mereka tidak punya tempat untuk menunjukkan emosi secara dewasa. Mereka lebih percaya diri dengan gaya idol di media sosial, tapi cemas dan takut saat harus berinteraksi langsung tanpa filter."
Udin menimpali, “Berarti yang bikin rapuh bukan HP-nya, tapi kebiasaannya, Ki?”
“Betul,” jawab Ki Somad. “Bukan ponsel yang salah, tapi manusia yang tidak tahu cara memanfaatkannya.”
Menemukan Keseimbangan
Fufu menatap layar ponselnya yang gelap. “Tapi media sosial juga banyak manfaatnya, Ki. Saya belajar banyak dari situ. Bisa cari info, peluang, bantu promosi usaha, dapet teman baru juga.”
“Benar, media sosial memang banyak manfaatnya,” kata Ki Somad. “Tapi teknologi itu seperti pisau. Bisa motong roti, bisa juga melukai. Tergantung siapa yang pegang.”
Ia mencondongkan badan. “Kita boleh keren di layar, kok. Tapi beranilah juga jadi hangat di dunia nyata. Karena seratus like di foto nggak akan sebanding dengan satu tawa bareng atau satu kali pelukan tulus dari teman saat kita sedang jatuh.”
Bisot menepuk bahu Fufu. “Bener tuh, kita nggak cuma butuh Wi-Fi, tapi juga butuh suasana hati.”
“Dan kopi,” tambah Udin.
Mereka semua tertawa.
Ki Somad tersenyum lebar. “Nah! Tawa ini dopamin juga. Tapi dopamin yang murni, yang datang dari kebersamaan. Rasanya lebih awet.”
@ kangatepafia.com
Bahagia yang Tak Bisa Di-download
Senja makin redup. Lampu-lampu pasar berganti benderang. Fufu diam, menatap cangkir kopinya sendiri yang masih setengah penuh. Uapnya perlahan hilang, seperti sisa waktu yang terbuang di depan layar.
Ia memandangi langit oranye keunguan dan membatin pelan:
“Mungkin Ki Somad benar. Aku terlalu sibuk ngejar senang cepat. Dapat like, dapat notifikasi, tapi habis itu kosong lagi. Ternyata bahagia nggak bisa di-download dari HP.”
Ia meneguk kopinya. Pahit, tapi hangat.
“Mungkin kebahagiaan sejati itu sesederhana ini, cukup hadir, tanpa tergesa. Bukan dari layar HP, tapi dari tawa, kopi, dan orang yang benar-benar mendengar.”
Angin sore berembus pelan, membawa aroma kopi yang tersisa. Di kejauhan, Ki Somad tertawa kecil bersama Udin dan Bisot. Fufu menatap mereka, lalu menatap dirinya sendiri.
“Hari ini aku belajar satu hal,” pikirnya, “bahwa dopamin murah cuma bikin kenyang sebentar. Tapi kehadiran nyata, itu yang bikin hati utuh.”
Ia tersenyum, menatap pasar yang perlahan gelap. Untuk pertama kalinya, ia tak memeriksa HP-nya. Ia hanya duduk, menikmati senja dan akhirnya, benar-benar merasakan kehadiran dirinya dengan penuh sadar, saat ini di sini. Nyaman, damai dan layak disyukuri.