
Bengkel motor Aris di Pulo Timaha sore itu seperti biasa: riuh suara ketokan kunci inggris, ditimpa alunan dangdut dari radio tua. Aris, pemilik bengkel, jongkok dengan tangan belepotan oli membongkar karburator.
Di bangku panjang depan bengkel, Sule asyik ngemil keripik. Di sebelahnya ada Fufu, lagi sibuk baca berita dari ponselnya. Ki Somad duduk di pojok, ditemani rokok kretek dan kopi hitam pahit tanpa gula, sedang menikmati suasana sore mbari ngeliatin motor wara-wiri depan bengkel.
“Eh, Ki,” Fufu buka obrolan, matanya tak lepas dari layar. “Ini rame banget berita soal pencemaran nama baik. Katanya TNI mau laporin Ferry Irwandy, tapi ditolak polisi. Kok bisa gitu, Ki? Bukannya institusi juga punya nama baik?”
Pencemaran Nama Baik
Sule cepat sekali menimpali. “Ya harusnya bisa dong, Fu! Kalau orang hina institusi, apalagi TNI, ya institusinya berhak lapor. Masa nunggu per orang? Keburu rusak nama baiknya.”
Aris mendongak, keningnya berkerut. “Eh, tapi yang gue baca kata mamang Yusril Ihza Mahendra, justru enggak bisa. Cuma individu yang boleh lapor. Kalo TNI tersinggung gegara status medsos orang yang dianggap menghina, ya enggak bisa langsung main lapor ke polisi.”
Sule makin semangat. “Lah, tapi kan institusi juga manusia… eh maksud gue, punya martabat juga, kudu jaga nama baiknya. Bayangin, kalau ada yang nyinyir soal pramuka, masa gue pribadi yang lapor? Lebih mantap kalau kwartir cabang langsung!”
Fufu ngakak. “Halah, Sule. Kalau lo lapor mulu, yang ada malah pramuka dikira baperan. Bisa-bisa lo yang kena pasal karet, lu yang merusak nama baik organisasi pramuka.”
Suasana cair, tapi Sule masih kelihatan serius, seperti belum puas dengan jawaban Fufu.
Ki Somad, yang sejak tadi tenang, akhirnya menaruh gelas kopinya. “Heh, kalian ribut kayak pitik ayam rebutan gabah. Dengerin dulu.”
Dia hirup kreteknya dalam-dalam. “Pasal 27A UU ITE itu delik aduan. Artinya, cuma korban langsung, individu, yang boleh ngadu. Institusi enggak bisa. Jadi kalau ada orang bilang ‘TNI mau begini-begitu’, itu enggak bisa dilaporin atas nama TNI. Lain cerita kalau dia hina "Kopral Sule" secara pribadi, baru bisa, itu juga kudu elu Le yang laporin.”
Aris manggut-manggut. “Oh, jadi bener kata polisi ya, Ki?”
“Bener,” Ki Somad menegaskan. “Mahkamah Konstitusi pun udah bilang: ‘orang lain’ maksudnya individu, bukan lembaga. Jadi kalau kritiknya buat institusi, harus dianggap bagian dari demokrasi.”

Sule belum puas. “Tapi Ki, kalau gitu orang bisa seenaknya dong. Misalnya gue bilang, ‘Warung kopi Ki Somad kopinya pahit kayak hati mantan,’ itu kan jatohnya pencemaran nama baik juga!”
Semua pecah tawa. Ki Somad senyum tipis. “Heh, Sule. Kopi pahit itu seni. Yang enggak kuat pahit, ya cari minuman lain, gitu aja kok repot. Kalau gue laporin tiap orang yang bilang kopi gue pahit karena penghinaan atau nyebarin hoaks, mending gue jualan sirup aja Le hahaha.”
Aris sampai kesedak ketawa. Fufu menimpali, “Betul tuh, Le. Jangan baperan sama kopi. Pahit itu bukan hinaan, tapi identitas.”
Tapi Sule tetap ngotot. “Ya beda Ki. Kalau kopi kan urusan pribadi. Tapi kalau institusi dihina, itu serius. Masa dibiarkan? Nama institusi bisa rusak.”
Fufu kali ini mengangguk. “Iya, Ki. Demokrasi memang penting, tapi jangan sampai kebablasan. Kritik harus ada batasnya. Kalau kelewatan, jadinya fitnah.”
Suasana menegang. Aris meletakkan kunci inggrisnya, ikut memperhatikan.
Kritik dan hinaan itu bedanya tipis
Ki Somad elus jenggot, menatap mereka satu-satu. “Nah, ini yang sering bikin salah paham. Kritik dan hinaan itu bedanya tipis. Kadang orang sampaikan kritik pedas, tapi dianggapnya sebagai hinaan. Padahal tugas kita bukan buru-buru lapor, tapi dengerin dulu: itu kritik membangun apa cuma nyinyir?”
Coba kita cek fakta, pada sebuah unggahan di Instagram, Ferry Irwandy mengungkapkan kekhawatirannya tentang kemungkinan diberlakukannya darurat militer. Ia menulis, "Sepanjang sejarah darurat militer, selalu hadir dengan janji menstabilkan keadaan, tapi faktanya kebebasan sipil dibatasi, oposisi ditindas, media disensor."
Ia juga membuat status, "Jangan sampai negara ini jatuh pada darurat militer. Kalau sampai terjadi kebebasan sipil akan hilang dan kekuasaan penuh ada di tangan mereka yang memegang senjata."
Setelah itu, ia mengunggah sebuah pembaruan yang menunjukkan darurat militer berhasil dicegah. "Darurat militer hari ini bisa kita cegah, terima kasih kerja keras dan kerjasamanya teman-teman. Tetap saling jaga saling bersama kawan-kawan semua. Kuatkan diri, negara ini, rakyat ini, punya hak sepenuhnya untuk memiliki pemerintahan, aturan dan penegakan hukum yang lebih baik.
Filosofi Pohon Besar
Ki Somad melanjutkan dengan suara tenang. “Institusi TNI itu kayak pohon besar. Kalau ada angin kencang, daunnya goyang. Tapi pohon besar enggak boleh jatuhin ranting ke kepala orang yang cuma tiup angin. Kritik itu angin. Kadang bikin ribut, tapi justru bikin pohon belajar kuat.”
Dia nyalain rokok lagi. “Itulah kenapa hukum ngatur begitu. Pencemaran nama baik cuma berlaku kalau ada individu yang jelas-jelas dirugikan. Kalau institusi, jawabnya dengan dialog atau apalah, bukan dengan ancaman pidana. TNI atau lembaga negara lain mestinya buka ruang komunikasi, bukan malah ngawasin warganya kayak zaman dulu.”
Sule mulai melunak, meski wajahnya masih manyun. “Jadi maksudnya, jangan gampang baper gitu, Ki?”
“Betul,” jawab Ki Somad. “Kalau baper, demokrasi jadi seragam kayak baju bocah sekolah: semuanya sama, enggak ada warna lain. Padahal hidup jadi indah karena perbedaan.”
Menjaga Nama Baik
Angin sore membawa aroma sawah dari ujung kampung. Obrolan di bengkel kembali cair dengan canda, tapi ucapan Ki Somad masih menggantung di benak, seperti gema yang enggan reda.
Kritik, ternyata, bukan musuh. Ia bagai cermin yang berani menyingkap wajah kita apa adanya. Kadang menyakitkan, kadang menohok, tapi justru di situlah letak kejujuran yang jarang kita terima dari pujian. Hanya hati yang berani menatap cermin itu dengan tenang yang bisa tumbuh, pelan tapi pasti, jadi lebih kuat.
Kalau kita masih mudah marah setiap ada suara berbeda, mungkin masalahnya bukan pada orang yang berbicara, tapi pada ruang di dalam dada kita yang terlalu sempit.
Hati yang sempit ibarat gelas kecil: setetes air saja sudah membuatnya tumpah. Sedangkan hati yang lapang, seperti lautan, mampu menampung sungai-sungai deras tanpa kehilangan ketenangannya.
Dan bukankah pada akhirnya, lapang dada lebih berharga daripada nama baik yang kita jaga dengan amarah? Sebab nama baik hanyalah bayangan di mata orang lain, sementara kelapangan hati adalah cahaya yang tinggal di jiwa kita sendiri.
Senja pun merayap pelan, meninggalkan siluet bengkel dalam temaram. Di sana, antara bunyi jangkrik dan lampu led yang berpendar redup, kita belajar bahwa menerima kritik bukan soal kalah atau menang, melainkan keberanian untuk tumbuh menjadi manusia yang lebih utuh.