
Di tengah hiruk pikuk kehidupan, seringkali saya merenung. Saya memandangi layar media sosial yang berisik, dipenuhi dengan kabar yang datang silih berganti. Ada tawa, ada tangis, ada pujian, dan tak jarang, ada pula amarah yang meluap. Namun, dari semua riuh rendah itu, satu hal yang selalu mengusik batin saya adalah bagaimana kita, sebagai sesama manusia, begitu mudah terpengaruh oleh arus informasi, terutama yang menyesatkan, hingga melupakan esensi dari kedamaian dan kebersamaan.
Peristiwa yang menimpa Ibu Menteri Keuangan, Sri Mulyani, baru-baru ini menjadi pengingat yang menyakitkan. Sebuah video hoaks yang memalsukan pernyataan beliau, viral, dipercaya banyak orang dan menyulut emosi massa hingga memicu kerusuhan fisik. Rumah beliau, yang seharusnya menjadi tempat berlindung dengan segala kenangannya, menjadi sasaran aksi penjarahan. Saya muak melihat bagaimana sebuah kebohongan yang disebar, bagai percikan api, mampu membakar amarah begitu banyak orang.
Mendalami Luka Akibat Hoaks: Mengapa Kita Mudah Terbakar?
Hoaks Sri Mulyani tentang "guru beban negara" adalah contoh nyata betapa berbahaya dan merusaknya informasi palsu. Peristiwa ini bukanlah sekadar isu politik, melainkan cerminan dari kerentanan kolektif kita. Mengapa kita begitu mudah percaya pada sesuatu yang tidak kita verifikasi?
Menurut Ketua Presidium Masyarakat Antifitnah Indonesia (MAFINDO), Septiaji Eko Nugroho, video tersebut menggunakan teknologi deepfake yang sangat meyakinkan. Teknologi ini adalah kecerdasan buatan (AI) yang mampu menciptakan video atau audio palsu dengan kemiripan yang luar biasa dengan aslinya. Dalam kasus hoaks Sri Mulyani, deepfake audio tersebut begitu halus sehingga sulit bagi telinga awam untuk membedakannya dari suara asli.
Saya pribadi memahami mengapa isu ini begitu sensitif. Di tengah isu tunjangan DPR yang besar dan gaji guru yang kerap kali belum memadai, pernyataan yang seolah-olah menyebut guru sebagai "beban negara" adalah provokasi yang kuat. Ini membakar emosi yang sudah ada, seakan-akan menuangkan bensin ke dalam api. Hoaks ini tidak menciptakan amarah, tetapi mempercepat dan meluaskan penyebarannya, mengubah ketidakpuasan yang terpendam menjadi aksi anarkis yang nyata.
Tak hanya merusak, hoaks juga memiliki dampak ekonomi dan sosial yang signifikan. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bahkan menyatakan bahwa hoaks dapat menyebabkan kerugian ekonomi, kerusuhan sosial, dan bahkan memakan korban jiwa. Secara pribadi, saya melihat ini sebagai ancaman serius bagi ketahanan digital nasional kita, karena informasi palsu yang beredar dapat mengikis kepercayaan dan memecah belah bangsa.

Membangun Kesadaran dan Menegakkan Keadilan
Sebagai seorang penulis dan perenung, saya percaya bahwa setiap permasalahan memiliki jalan keluar. Kita tidak boleh hanya menyalahkan keadaan, tetapi harus proaktif dalam mencari solusi. Dalam kasus ini, saya melihat adanya dua langkah penting yang perlu kita ambil: edukasi diri dan penegakan hukum yang tegas.
1. Edukasi Diri: Melatih Hati dan Pikiran
Langkah pertama dimulai dari diri kita sendiri. Sebelum membagikan informasi, mari kita luangkan waktu sejenak untuk berhenti dan berpikir. Kita perlu bertanya pada diri sendiri: "Apakah informasi ini benar? Apakah saya sudah memeriksanya dari sumber terpercaya?" Kita harus belajar untuk tidak mudah terbawa emosi dan menjadi kritis terhadap setiap informasi yang kita terima, terutama yang memicu amarah.
Sama seperti yang dijelaskan oleh Co-Founder MAFINDO, Eko Juniarto, mengenali deepfake audio memang sulit, tetapi kita bisa mengidentifikasi kejanggalan pada konten visual, seperti gerakan lidah atau jakun yang tidak natural. Meskipun demikian, cara terbaik adalah dengan mencari sumber informasi yang kredibel dan membandingkan fakta. Mari kita latih diri kita untuk menjadi benteng terdepan dalam melawan hoaks.
2. Penegakan Hukum: Mencari Kebaikan dalam Ketertiban
Namun, edukasi saja tidak cukup. Peristiwa penjarahan rumah Sri Mulyani sangat mungkin dipicu oleh hoaks tersebut adalah bukti nyata bahwa kebohongan di ruang siber dapat menimbulkan kerusuhan di dunia fisik. Ini adalah pelanggaran hukum yang serius dan harus ditindak tegas.
Saya sangat mendukung langkah penegak hukum untuk memeriksa pemilik akun Instagram @ewinkleeming, yang diduga kuat sebagai penyebar pertama video tersebut. Ini bukan tentang menghukum semata, tetapi tentang memberikan pelajaran dan menciptakan efek jera. Hukuman ini, yang bisa dikenakan berdasarkan Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang ITE, yang telah diperjelas oleh Mahkamah Konstitusi, sangat penting untuk menjaga ketertiban.
Penegakan hukum terhadap penyebar pertama adalah langkah krusial. Namun, kita juga tidak boleh melupakan penyebar selanjutnya. Siapapun yang terbukti menyebarkan hoaks setelah mengetahui kebenarannya, juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kecuali mereka segera menghapus unggahan tersebut, tindakan mereka juga harusnya mendapatkan sanksi. Tujuannya adalah untuk menciptakan budaya digital yang bertanggung jawab, di mana setiap orang sadar akan dampak dari apa yang mereka bagikan.
Menuju Masa Depan yang Lebih Damai
Menurut catatan Septiaji (Co-Founder & Chairman of @turnbackhoaxid and @mafindoid), video berisi klaim Sri Mulyani yang menyebut “guru itu beban negara” pertama kali muncul di akun instagram @ewinkleeming pada Minggu (17/8). Sampai dengan Selasa (19/8), unggahan tersebut telah ditonton 57 ribu kali, disukai 810 kali dan telah dibagikan ulang sebanyak 391 kali. Video ini berhasil menjadi “bahan bakar” masyarakat untuk meluapkan amarahnya lewat demonstrasi di mana-mana. Namun, saat ini unggahan @ewinkleeming itu sudah sudah hilang.
Meski dari sumber aslinya sudah hilang, video tersebut masih terus tersebar di berbagai media sosial seperti TikTok, Instagram hingga X. Bahkan, di TikTok, banyak masyarakat yang bereaksi terhadap pernyataan “guru itu beban negara” dengan memperlihatkan video-video yang menunjukkan perjuangan para guru selama ini.
Dengan terjadinya penjarahan rumah tinggal yang patut diduga terjadi terkait dengan unggahan di akun Instagram @ewinkleeming, saya kira yang bersangkutan layak diuji apakah telah memenuhi unsur-unsur Pasal 28 ayat (3) UU ITE atau tidak, soal itu pengadilan yang dapat menjawabnya.
Saya berharap penegak hukum dapat menegakkan hukum dan memeriksa akun tersebut. Saya berharap ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh warga negara Indonesia agar tidak mudah menyebarkan hoaks yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Pada akhirnya, saya mengajak kita semua untuk melihat kebaikan dalam setiap sisi. Penegakan hukum yang tegas bukanlah bentuk kezaliman, melainkan upaya untuk melindungi kita semua dari bahaya yang tak terlihat. Hukuman bagi penyebar hoaks adalah langkah bijaksana untuk memastikan bahwa kita semua dapat hidup dalam masyarakat yang lebih aman, di mana informasi dapat dipercaya dan kedamaian dapat terjaga.
Mari kita jadikan peristiwa ini sebagai pelajaran berharga. Mari kita bertekad untuk menjadi agen perdamaian, bukan penyebar kebencian. Setiap kali kita merasa ingin menyebarkan sesuatu yang meresahkan, mari kita ambil napas dalam-dalam dan renungkan. Ingatlah, bahwa setiap kata yang kita ketik, setiap unggahan yang kita bagikan, memiliki kekuatan untuk membangun atau menghancurkan. Pilihan ada di tangan kita. Saya percaya, kita semua mampu memilah dan memilih jalan yang lebih baik.