
Setiap kali saya berjalan di sekitar Pantai Losari, Makassar, ada satu hal yang selalu membuat saya berhenti sejenak. Di sisi kanan Hotel Aryaduta terhampar Jalan Maipa, dan di sisi satunya ada Jalan Datu Museng.
Dua nama itu seakan berdampingan selamanya, menyimpan sebuah kisah yang tidak pernah usang: kisah cinta, kehormatan, dan pengorbanan.
Bagi banyak orang di Makassar, Datu Museng dikenal sebagai “Romeo” versi Makassar, sementara Maipa Deapati menjadi “Juliet”-nya. Tetapi semakin saya membaca dan menelusuri kisah mereka, saya menemukan lapisan lain yang jauh lebih rumit daripada sekadar tragedi asmara.
Di balik kisah cinta itu, tersimpan latar belakang politik, pertarungan harga diri, hingga intrik suksesi kerajaan yang bersentuhan langsung dengan kepentingan VOC di kawasan timur Nusantara.
Datu Museng dan Maipa Deapati
Kisah Datu Museng dan Maipa Deapati diabadikan dalam kesadaran kolektif masyarakat Makassar bukan hanya sebagai cerita rakyat, tetapi juga sebagai simbol moral dan kultural yang berfungsi sebagai pedoman hidup. Cerita ini merepresentasikan nilai-nilai Siri’ (harga diri atau kehormatan) dan Paccé (kasih sayang dan empati mendalam), dua konsep fundamental dalam filsafat hidup orang Makassar.
Nama Datu Museng terus dihidupkan melalui berbagai medium budaya: sinrilik, sastra lisan yang dilantunkan dengan petikan kecapi, pertunjukan teater, novel, hingga film layar lebar.
Sinrilik memang bukan catatan sejarah murni, tetapi berfungsi sebagai media pembelajaran, penyampai pesan bijak, edukasi moral, pendidikan karakter, sekaligus hiburan. Dengan cara itu, kisah Datu Museng dan Maipa melampaui sekadar sejarah politik, menjadi bagian dari identitas kultural yang diwariskan lintas generasi hingga sekarang.
Kisah Datu Museng dan Maipa Deapati melampaui sejarah—ia menjadi identitas kultural yang tak lekang oleh waktu
Jejak dari Sumbawa
Menariknya, jejak Datu Museng juga ditemukan di Sumbawa, meskipun dalam bingkai yang berbeda. Di sana ia dikenal sebagai Lalu Malarangang Dea Tumuseng atau Datu Busing.
Tahun 1765 menjadi periode penuh gejolak. Sultan Muhammad Jalaluddin Syah II dari Sumbawa wafat, dan putra mahkota yang baru berusia sembilan tahun, Sultan Mahmud, diangkat menggantikannya. Karena usianya masih belia, pemerintahan dijalankan oleh wali, Dewa Mapeconga Mustafa, Datu Taliwang.
Keputusan itu ditentang oleh Datu Jereweh yang merasa memiliki legitimasi lebih kuat. Ia kemudian berangkat ke Makassar untuk meminta dukungan VOC. Sebelum itu, ia mendekati kerajaan-kerajaan tetangga agar turut mendukung rencananya. Akhirnya, pada 19 Februari 1765, di Fort Rotterdam, sebuah Kontrak Politik ditandatangani Datu Jereweh yang mengaku sebagai perwakilan Sultan Sumbawa, dihadiri oleh Sultan Bima, Sultan Dompu, Raja Tambora, serta wakil VOC Cornelis Sinclair (Senklaar).
Langkah Datu Jereweh dianggap pengkhianatan oleh Dewa Mapeconga Mustafa selaku perwakilan resmi Sultan Sumbawa dan didukung oleh Dewan Lima Belas di Kesultanan Sumbawa. Untuk menegakkan kembali kehormatan dan menjaga kedaulatan Kesultanan Sumbawa, mereka mengutus sosok yang dinilai paling mampu menyelesaikan krisis itu: Datu Museng. Bersama istrinya, Maipa Deapati, ia berlayar ke Makassar dengan misi politik yang mempertaruhkan nyawa mereka.
Dua Versi yang Berkelindan
Dari sanalah saya membaca dua versi besar tentang Datu Museng.
- Versi Makassar menggambarkannya sebagai pejuang yang dipanggil Raja Gowa untuk melawan Belanda.
- Versi Sumbawa menekankan perannya sebagai utusan diplomatik resmi kerajaan, yang ditugaskan mengawal kehormatan Sumbawa dari intervensi VOC.
Mana yang benar? Bagi saya, kedua versi tidak saling meniadakan, melainkan saling melengkapi. Sinrilik memang menekankan sisi dramatik, sementara catatan politik Sumbawa memberi konteks historis yang lebih konkret. Jika dipadukan, keduanya menghadirkan gambaran utuh: seorang bangsawan muda yang berdiri di perbatasan antara kepentingan pribadi dan tanggung jawab publik.
Tentang Akhir Hidupnya
Sejarah jarang memberi jawaban tunggal, begitu pula soal bagaimana Datu Museng mengakhiri hidupnya.
Ada versi yang menyebut setelah Maipa wafat di pangkuannya, Datu Museng mengamuk melawan serdadu VOC dan sekutunya hingga tewas di tangan Karaeng Galesong pada 4 Maret 1765.
Versi lain lebih dramatik: karena tubuhnya kebal senjata, ia meminta sahabatnya, Sarian Tujaku, menikamnya dengan badik pusaka. Bahkan sebelum benar-benar tiada, ia masih sempat menikam balik Tujaku, lalu menancapkan badik ke batang pisang di pantai—adegan simbolis yang menegaskan kendali penuh atas jalan ajalnya.
Sinrilik Makassar pun menekankan pengkhianatan yang getir: Datu Museng gugur oleh tombak Karaeng Galesong, kerabatnya sendiri. Kata-kata terakhirnya menyinggung dua hal: cinta pada Maipa dan kekecewaan terhadap sesama bumiputera yang tergoda oleh bujuk penjajah.
Dalam versi lain Karaeng Galesong sendiri akhirnya mati terbunuh atas perintah Tumalompoa (pejabat VOC) yang kecewa karena mendapati kenyataan puteri cantik Maipa Deapati yang ia impikan menjadi gundiknya telah menjadi mayat.

Maipa Deapati: Cinta dan Harga Diri
Peran Maipa Deapati tidak dapat dipisahkan dari kisah heroik Datu Museng. Tanpa dirinya, cerita ini tidak akan sekuat sekarang. Ia menunjukkan bahwa cinta sejati bukan sekadar rasa memiliki, melainkan keberanian mempertaruhkan martabat hingga titik darah terakhir.
Dalam buku Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia (Palgrave, 2007), sejarawan Thomas Gibson pada halaman 86 menulis: When the Dutch governor demands Datu Museng’s wife Maipa Deapati as a concubine, they contemptuously refuse to obey.
Mengetahui rencana tidak baik dan risiko yang akan dihadapi oleh dirinya, Maipa meminta suaminya menikam dirinya dengan badik pusaka. Ia lebih rela mati di tangan orang yang dicintai daripada hidup dipermalukan penjajah. Pilihan itu mencerminkan nilai Siri’ na Paccé - menjaga kehormatan dengan keberanian, sekaligus menegaskan cinta yang melampaui batas kehidupan.
Bagi Datu Museng, keputusan itu adalah ujian terberat. Namun justru di situlah makna cinta mereka mencapai puncaknya: bukan sekadar ikatan perasaan, melainkan keberanian menjaga martabat meski harus berakhir dengan kematian.
Konflik dengan Tumalompoa bukan pertikaian pribadi semata, juga ada benturan budaya. Tumalompoa menginginkan agar Datu Museng menceraikan Maipa dan menyerahkannya untuk dijadikan nyai (gundik), sebuah praktik kolonial yang lazim terjadi pada era tersebut: menjadikan perempuan pribumi sebagai tropi dan objek kekuasaan, bahkan terhadap seorang putri bangsawan yang sudah bersuami.
Bagi Datu Museng, keinginan itu adalah penghinaan ganda: merendahkan Maipa sebagai istri sah sekaligus menodai siri’ yang suci dalam budaya Bugis-Makassar. Penolakannya bukan hanya pembelaan cinta, tetapi perlawanan terhadap sistem kolonial yang merampas martabat atas nama kekuasaan.
Gugurnya Maipa Deapati dan suaminya Datu Museng mengukuhkan mereka sebagai martir yang memilih mati daripada hidup dalam aib. Sementara Maipa Deapati juga dikenang sebagai perempuan yang menjadikan cinta dan harga diri sebagai satu kesatuan. Kisah mereka tetap hidup sebagai teladan bahwa martabat sejati selalu pantas diperjuangkan.
Jejak di Kota Makassar
Hingga hari ini, nama mereka tetap hidup. Di Kota Makassar, Jalan Datu Museng dan Jalan Maipa Deapati berdampingan. Di ujung barat kota dekat pantai Losari, terdapat sebuah pemakaman sederhana yang dipercaya sebagai tempat peristirahatan keduanya. Dua nisan berdampingan, seolah masih menyatu dalam sunyi.
Pengabadian ini bukan sekadar formalitas administratif. Ia adalah bentuk restu publik, sebuah cara masyarakat memberi ruang abadi dalam kehidupan sehari-hari. Setiap orang yang melewati jalan itu, sadar atau tidak, ikut menjaga kisah mereka tetap hidup.
Bisikan dari Masa Lalu
Mengapa kisah Datu Museng dan Maipa Deapati bisa bertahan begitu lama? Apakah karena tragedi cintanya yang menyayat, atau karena perlawanan mereka terhadap VOC dan sekutunya?
Mungkin jawabannya terletak pada sifat kisah ini yang selalu menyisakan ruang tafsir. Dalam sinrilik, mereka tampil sebagai epos cinta penuh pengorbanan. Dalam catatan politik, mereka hadir sebagai utusan kerajaan. Dalam ingatan rakyat, mereka menjadi simbol kehormatan yang tak tergadaikan.
Dan dalam setiap versi, satu hal tetap sama: mereka memilih jalannya sendiri, meski harus berakhir di bilah badik.
______________
Referensi:
ihinsolihin.wordpress.com
mbojoklopedia.com
pedomankarya.co.id
zainuddintika.blogspot.com