Pernah makan di Mie Gacoan sambil dengar musik populer yang enak didengar?
Nah, siapa sangka ternyata pemutaran lagu-lagu itu bikin waralaba Mie Gacoan Bali masuk dalam pusaran kasus hukum. Masalahnya? Royalti musik.
Kasus Royalti Musik Mie Gacoan ramai sejak Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) SELMI melaporkan pemilik waralaba Mie Gacoan di luar Jawa—PT Mitra Bali Sukses—karena dianggap memutar musik tanpa izin resmi sejak 2022.
Setelah berbagai upaya persuasif dan mediasi tidak digubris, SELMI akhirnya melapor ke Polda Bali, dan pada Juni 2025, direktur PT tersebut ditetapkan sebagai tersangka. Kerugiannya ditaksir mencapai Rp 7 miliar.
Lagu Siapa yang Diputar?
Lagu-lagu yang dipermasalahkan juga bukan lagu biasa. Ada karya dari Lyodra, Maliq & D'Essentials, sampai Katy Perry dan Magic. Pemutaran musik di tempat komersial tanpa izin dianggap melanggar Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khususnya soal hak ekonomi pencipta lagu.
Di Indonesia, sistem yang lazim berlaku selama ini adalah blanket license—semacam "paket izin" bagi pengguna musik di tempat komersial. Jadi, pemilik restoran cukup bayar ke LMK dan boleh mutar lagu apa saja yang terdaftar di bawah lembaga tersebut.
Masalahnya, sistem ini sepertinya belum terkomunikasikan dengan merata. Pengusaha atau UMKM mungkin saja masih bingung harus minta izin dan bayar ke mana: LMK, LMKN, atau langsung ke pencipta lagu? Jangan sampai pengguna sudah bayar royalti langsung ke musisi, tapi tetap ditagih oleh lembaga. Bingung, kan?

Hak Cipta Itu Penting, Tapi Sistemnya Juga Harus Adil
Yuk, jujur. Kita semua suka musik. Tapi pernah nggak kita mikir bahwa lagu yang diputar di tempat makan, kafe, atau mall itu hasil kerja keras musisi? Hak cipta itu kayak "upah" buat kreativitas.
Kalau royalti musik nggak dibayar, gimana musisi bisa terus berkarya?
Nah, di situlah pentingnya hukum hak cipta. Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 sebenarnya sudah cukup progresif. Pasal 81 bahkan membuka peluang buat pencipta mengelola sendiri haknya alias direct licensing. Artinya, pencipta lagu bisa bikin kontrak langsung sama pengguna, tanpa lewat lembaga.
Tapi praktiknya? Masih ruwet. Banyak pencipta belum tahu caranya, belum ada sistem digitalisasi katalog yang jelas, dan belum ada kepastian hukum kalau mereka mau pakai jalur langsung. Bahkan, gak menutup kemungkinan pengguna tetap bisa ditagih kembali oleh lembaga meski sudah punya izin langsung dari pencipta. Nggak fair, kan?
Kita perlu mikir lebih luas. Sistem blanket bagus untuk efisiensi, terutama buat bisnis kecil yang nggak mungkin negosiasi satu-satu. Tapi direct licensing juga perlu ruang hidup, apalagi buat musisi yang sudah punya jaringan luas dan bisa kelola sendiri.
Solusinya? Sistem hibrida. Kombinasi antara blanket dan direct, dengan tiga syarat utama:
1. Transparansi Data
Harus ada sistem terbuka yang jelas siapa pemilik hak lagu dan siapa yang mewakili.
2. Katalog Terbuka
Layaknya Australia yang punya sistem online untuk notifikasi karya cipta, Indonesia juga harus punya database yang bisa diakses semua pihak.
3. Audit dan Pelaporan
Setiap transaksi—baik lewat lembaga maupun langsung—harus bisa diaudit oleh otoritas publik. Ini penting buat menghindari korupsi dan pungli berkedok royalti.
Direct Licensing Itu Hak, Bukan Ancaman
Banyak yang bilang direct licensing itu bikin kacau. Tapi justru sebaliknya. Ini adalah peluang bagi pencipta untuk mandiri dan mendapat bagian lebih besar dari karyanya. Di sisi lain, pelaku usaha jadi punya opsi lebih transparan dan hemat biaya.
Selama semua dilakukan secara sah, dengan kontrak tertulis dan dilaporkan ke negara, tidak ada alasan untuk melarang sistem ini. Bahkan, Pasal 81 UU Hak Cipta sudah jelas-jelas mengizinkannya.
Saatnya Duduk Bareng
Kasus Mie Gacoan ini bisa jadi pelajaran penting. Bukan hanya soal siapa salah atau benar, tapi tentang bagaimana kita membangun ekosistem musik yang adil untuk semua. Musisi dapat haknya, pengusaha dapat kepastian hukum, dan negara tidak kehilangan kepercayaan publik.
Daripada saling menyalahkan, lebih baik kita dorong perbaikan sistem. Lembaga kolektif seperti LMK dan LMKN tetap penting, tapi harus terbuka dan tidak memonopoli. Di saat yang sama, pencipta juga harus aktif memahami hak-haknya dan mengelola karya dengan profesional.
Musik Adalah Karya, Bukan Gratisan
Jadi, kalau kamu denger musik di restoran atau kafe, ingat ya—itu bukan hiburan gratis. Di baliknya ada kerja keras, ada hak yang harus dihargai. Kita semua bisa mulai dari hal kecil: menyadari bahwa hak cipta itu nyata, dan mendukung sistem yang adil buat semua.
Karena pada akhirnya, musik bukan sekadar irama, tapi juga rezeki bagi yang menciptakannya.
_______________________
Untuk yang ingin mendalami topik ini, bisa membaca Dinamika Masalah Direct Licensing Musik di Indonesia, tulisan Rianda Dirkareshza, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta di link ini.