
Hari itu angin sore menggesek pelan daun pisang di samping bengkel Kanaya Motor milik Aris, yang letaknya di dalam gang Pulo Timaha Babelan. Ki Somad, lelaki sepuh berpeci hitam dan berbaju koko lusuh, duduk santai di bangku kayu. Kopi hitam mengepul di tangannya.
Di seberangnya, Fufu, aktivis ormas Islam yang suka debat, baru selesai mengganti oli motornya. Aris, si pemilik bengkel, sibuk ngelap karburator. Sule, pemuda pramuka yang cerewet dan suka kutip-kutip hadis, datang belakangan bawa gorengan.
“Eh, Ki…,” sapa Fufu sambil duduk selonjoran. “Saya mau nanya. Kadang saya malu nanya hal yang saya nggak ngerti, takut dikira bego. Tapi makin saya sok ngerti, makin pusing kepala saya.”
Sule nyeletuk, “Itu mah penyakit umum zaman sekarang, Fu. Banyak orang takut kelihatan bodoh, akhirnya malah betul-betul bodoh.”
Aris menimpali, “Apalagi di medsos. Semua pengin jadi yang paling pinter dan paling ngerti. Tapi begitu ditanya ulang, ngelesnya muter-muter kayak dinamo rusak hehehe.”
Ki Somad tertawa kecil. “Hehehe… justru itu tanda kita mau mulai belajar, Fu. Rasa bodoh itu tanda kita lagi masuk zona tumbuh.”
Fufu mengernyit. “Lho, Ki, jadi masa merasa bodoh itu bagus?”
Merasa Bodoh Bukan Rendah Diri
“Gini, Fu,” kata Ki Somad sambil menyeruput kopi, “Pernah denger nama Martin Schwartz? Dia nulis di jurnal Cell bahwa ilmuwan-ilmuwan hebat itu justru nyaman merasa bodoh. Bukan karena minder, tapi karena sadar masih banyak yang belum mereka tahu.”
Sule mengangguk-angguk, “Kayak anak kecil ya, Ki. Mereka nggak malu bertanya, bahkan hal sepele. Tapi kita, makin gede, makin takut bertanya.”
Ki Somad tersenyum, “Betul. Karena kebanyakan orang dewasa bukan cari pemahaman, tapi cari pengakuan. Padahal kata Einstein, ‘Saya tidak punya bakat khusus. Saya hanya sangat penasaran.’ Nah, penasaran itulah bahan bakarnya otak untuk terus belajar.”
Aris menimpali, “Jadi orang pinter tuh bukan yang banyak tahu ya, tapi yang nggak takut ngaku nggak tahu?”
“Puguh,” jawab Ki Somad. “Karena dengan ngaku nggak tahu, kita jadi tahu di mana kita harus belajar. Itu namanya ‘conscious ignorance’ — kebodohan yang disadari.”
Antara Sok Tahu dan Takut Malu
Fufu mulai merasa tidak nyaman. “Tapi Ki, kalau saya ngaku nggak tahu terus, orang lain bisa ngeremehin saya. Gengsi juga, apalagi di forum diskusi…”
Sule membantah, “Itu justru masalahnya, Fu. Kita terlalu fokus ke penilaian orang lain. Jadi bukan belajar yang dikejar, tapi citra biar kelihatan pintar.”
Aris tertawa kecil, “Kayak motor juga ya Ki, kalau takut kotor ya nggak bakal pernah diservis. Padahal makin dibongkar, makin ngerti dalemannya.”
Fufu menghela napas, “Tapi kenyataannya, malu keliatan bego itu nyata, Ki. Kadang saya udah ngerti setengah, tapi pura-pura ngerti semua demi jaga image.”
Ki Somad meletakkan gelas kopinya. “Itu karena kita belum bisa berdamai dengan proses. Dalam Islam, Nabi SAW bersabda: 'Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan jalannya menuju surga.' Tapi nggak pernah disebut ‘ilmu yang langsung paham’. Justru prosesnya yang dimuliakan.”
Sule menambahkan, “Malu karena bodoh itu wajar, tapi terus-menerus pura-pura ngerti itu dosa terhadap akal.”
"Lagulu Le," sambung Fufu.
Bodoh Awal Belajar
Ki Somad menghela napas panjang sambil memandangi langit senja yang kemerahan. “Bray… Kalau kita merasa bodoh saat belajar, itu bukan kelemahan. Itu tanda kita jujur pada diri sendiri dan sedang membuka pintu pembelajaran. Bodoh itu bukan titik akhir, itu titik awal. Justru kalau kita nggak pernah merasa bodoh, bisa jadi hati otak lagi mandek, takabur dan hati keras.”
Fufu menatap kosong ke lantai semen bengkel. “Jadi, saya harus belajar berdamai dengan rasa nggak tahu ya, Ki?”
“Bukan cuma berdamai,” jawab Ki Somad pelan, “Tapi jadikan itu teman. Setiap kebingungan adalah pintu masuk. Jangan khawatir orang bilang kita bego. Takutlah kalau kita berhenti bertanya karena merasa diri sudah pintar.”
Takutlah kalau kita berhenti bertanya karena merasa diri sudah pintar
Aris ikut menimpali, “Jadi kayak saya kalau nemu motor mogok model baru. Bukannya malu tanya, malah saya seneng. Itu tantangan.”
Sule berdiri dan berkata, “Ayo kita bikin budaya jujur ngaku nggak tahu. Kalau kita semua berani bilang ‘belum paham’, ilmu bakal lebih mudah nyangkut.”
Ki Somad tersenyum puas. “Nah bagus itu Le. Ingat, orang jenius itu bukan yang tahu segalanya, tapi yang tidak berhenti mempertanyakan. Dan setiap rasa bodoh adalah doa yang belum lengkap. Lengkapilah dengan belajar.”
Senja jatuh pelan. Di antara suara obrolan, tawa, dan sisa bunyi obeng dari tangan Aris, sepotong filosofi mengendap: bahwa menjadi bodoh bukan dosa — selama itu jadi bahan bakar untuk tumbuh.