Resensi Film: Father Stu (2022), dari Petinju Menjadi Pendeta Kharismatik

Resensi Film: Father Stu (2022), dari Petinju Menjadi Pendeta Kharismatik
Resensi Film: Father Stu (2022), dari Petinju Menjadi Pendeta Kharismatik

Film biopik "Father Stu" berdurasi 2 jam lebih ini adalah karya sutradara Rosalind Ross yang mulai tayang pada April 2022, iya setahun yang lalu :). 

Poster film menampilkan aktor kenamaan Mark Wahlberg dengan rating di IMDB 6.5/10. Tapi saya yakin ini film yang bagus, dan benar saja... saya tidak kecewa setelah menontonnya.

Sebelum lanjut, film ini sarat dengan pesan dan adegan terkait agama atau kepercayaan Kristen Katolik. Sebagai muslim saya tidak sedang mengulas kepercayaan orang lain tapi sekadar review atau ulasan film yang bagi saya kisahnya cukup menginspirasi semangat perjuangan hidup, banyak hal positif yang bisa saya petik dalam film ini.

Just info, film asli Father Stu mendapat rating R atau Restricted, karena menampilkan Stu yang merokok, bertinju di atas ring, luka yang berdarah, meminum minuman keras, dialog yang terkait hubungan sex, adegan merayu, berciuman dan seterusnya, namun versi film yang sudah lolos sensor mendapat rating PG-13, yang artinya orangtua perlu berhati-hati, beberapa adegan film rating ini tidak sesuai untuk anak di bawah usia 13 tahun. 

PG-13 memberi peringatan bahwa konten dalam film umumnya tidak sesuai untuk anak di bawah 13 tahun (usia pra-remaja). Konten ini termasuk penggunaan bahasa yang kasar, kekerasan atau adegan seksual serta konsumsi alkohol, rokok bahkan narkoba. 

Hanya mengingatkan, film ini memang bukan untuk konsumsi remaja.


Alur Film Father Stu

Film dibuka dengan flashback saat Stuart atau Stu remaja yang diperankan oleh Wahlberg sedang bersama Bill yang diperankan oleh Mel Gibson. Bill berseloroh, satu-satunya kesamaan dengan putranya itu adalah mereka berdua suka dengan selai kacang. Dia kemudian memerintahkan Stu agar memakan sayuran.

Kemudian cerita lanjut ke masa Stu dewasa yang berprofesi sebagai atlit tinju amatir. Dari dialog dan adegan yang dikisahkan itulah mulai terungkap bahwa kisah ini terhubung ke dunia nyata dan berdasarkan dari biografi seorang pendeta di Montana Amerika Serikat.

Dari pertarungan tinju tersebut, Stu mengalami cedera rahang dan diperiksa secara medis di rumah sakit. Kathleen, ibunda Stu diperankan oleh Jacki Weaver yang berada di rumah sakit mengkhawatirkan Stu, terlebih Stu kini menjadi anak satu-satunya karena saudaranya Han sudah meninggal. Kathleen banyak menasehati Stu agar mengubah karir yang lebih rendah risiko dan lebih baik masa depannya.

Dokter kemudian menjelaskan hasil pemeriksaannya, di tulang rahang Stu terdapat infeksi serius, serta gejala peradangan yang mempengaruhi kandungan darahnya. Dokter masih membutuhkan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui lebih jauh mengenai masalah kesehatan Stu, namun dokter mendiagnosa bahwa masalah tersebut membahayakan jiwanya. 

Stu tidak lantas percaya apa kata dokter, Stu justru malah menuduh dokter tersebut telah bekerjasama dengan ibunya agar ia meninggalkan dan berhenti menjadi seorang petinju.

Stu yang marah karena tidak dapat meneruskan karir di ring tinju akhirnya curhat di makam saudaranya. Stu terus bercerita di makam saudaranya itu sambil meminum minuman keras. Saat keluar dari pemakaman saudaranya, Stu yang mabuk sempat meninju wajah patung Bunda Maria di gerbang luar area pemakaman, namun aksinya dihentikan dengan datangnya aparat keamanan. Ia kemudian diamankan sherif karena diduga melakukan vandalisme serta dikhawatirkan mengemudi di bawah pengaruh alkohol hingga mengganggu ketertiban.


Hijrah ke California

Stu kemudian mendapat ide untuk hijrah dengan impian menjadi aktor Hollywood. Sambil menunggu nasib baik dan untuk memenuhi keperluan hidupnya, di California ia bekerja di supermarket dan sesekali menjadi aktor video iklan.

Saat bekerja di supermarket itulah ia bertemu dengan Carmen, diperankan oleh Teresa Ruiz. Kisah cinta pada pandangan pertama ini awalnya tidak mulus karena Carmen adalah seorang pengajar yang taat di sekolah minggu di gereja katolik, terlebih menurut Carmen, Stu belum dibaptis.

Stu tak menyerah mengejar cintanya hingga beberapa kali mendatangi gereja di mana Carmen beraktivitas. Dari interaksi itulah Stu mulai mengalami banyak perubahan, cintanya pada Carmen berhasil mengubah Stu.

Resensi Film: Father Stu (2022), dari Petinju Menjadi Pendeta Kharismatik

PDKT Stu ke Carmen membuahkan hasil, hubungan mereka sudah ada kemajuan, bahkan Stu sudah bertemu orangtua Carmen. Suatu malam sepulang dari bar, Stu mengalami kecelakaan sepeda motor yang hampir merenggut nyawanya saat bermotor di bawah pengaruh alkohol. Kecelakaan yang cukup parah hingga Stu sempat koma. Namun kedatangan Carmen membuatnya mulai sadar dan mulai pulih.

Dalam pikiran Stu, dia seharusnya sudah tewas dalam kecelakaan itu, namun ajaibnya ia selamat, saat kecelakaan itulah ia merasakan pengalaman spiritual yang membuatnya banyak berpikir mengenai sebelum dan saat terjadi kecelakaan.

“I think God saw something in you worth saving, but it’s up to you to decide what you’ve got to offer.” 

"Mungkin Tuhan melihat sesuatu dalam dirimu yang berharga untuk diselamatkan, tapi terserah padamu apa yang akan kamu korbankan untuk membalas kasih-Nya." kata Ham, yang diperankan oleh Aaron Moten.

Stu yang awalnya tempramen ini, setelah melewati pertarungan batin dan lama berkontemplasi akhirnya memilih menjadi pendeta. Ide itu awalnya ditentang oleh Carmen yang ingin dinikahi Stu, namun tekad Stu sudah bulat dan tidak bisa diubah lagi.

Ketika Bill, ayahnya mengetahui, ia mengejek Stu, “Ini seperti Hitler yang meminta untuk bergabung dengan ADL (Anti Defamation League)”. Bill lalu mengeluarkan pistolnya dan menyerahkannya kepada Stu dengan maksud untuk sekalian menembak ayahnya jika Stu hanya bertujuan untuk mempermalukan keluarganya.

Selanjutnya Stu mendaftar pendidikan untuk menjadi pendeta, di sana ia kembali bertemu dengan Ham dan Jacob. Ia sempat ditolak, namun bukan Stu namanya jika ia tidak memperjuangkan apa yang sudah ia inginkan.
 

Saat berolah raga di sekolah seminari kepastoran ia terjatuh dan tidak bisa berdiri kembali, rumah sakit memvonisnya mengidap kelainan otot yang progresif pada kakinya. Gangguan itu disebut Myositis Tubuh Inklusi. Sebuah kelainan otot yang jarang terjadi, di mana otot terus melemah hingga berhenti berfungsi, kabar buruk tambahan, myositis tersebut belum ditemukan ada obatnya. Stu mau tidak mau harus menggunakan alat bantu untuk menunjang rutinitasnya.

Atas kejadian itu Stu marah kepada Tuhan, hingga sampai pada pemahaman bahwa penderitaannya sebagai ujian yang membuatnya menghayati penderitaan Kristus, dan dia kemudian melanjutkan pendidikannya dengan susah payah. Seiring berjalannya waktu, gejala myosis kemudian juga menyerang tangannya. 


Kembali ke Montana

Rektor seminari memberi tahu Stu bahwa dia tidak dapat melanjutkan pendidikan, dengan alasan ketidakmampuannya untuk merayakan Sakramen. Stu kemudian kembali ke Montana bersama orangtuanya. 

Penderitannya semakin parah, berat badannya bertambah, dan dia kehilangan kemampuan untuk hidup mandiri. Ayahnya, saat hadir dalam pertemuan Alcoholics Anonymous, sempat mengakui bahwa ia merasa ikut bertanggung jawab atas kondisi putranya karena pengabaian dan "ketidakhadirannya".

Sejumlah jamaah ​​paroki dari gereja Stu bersama Carmen di California kemudian mengajukan petisi kepada Keuskupan Helena untuk menahbiskan Stu sebagai pendeta sebagaimana impian Stu. Uskup kemudian setuju, dan akhirnya Stu ditahbiskan dengan dihadiri Carmen, Ham, dan orangtuanya. 

Stu memulai pelayanan di Montana dan dengan cepat mengembangkan hubungan dengan komunitasnya. Dia kemudian dirawat di fasilitas perawatan khusus, dari sana dia tetap melanjutkan pelayanannya dan orang-orang ramai berduyun-duyun menemuinya setiap hari. 

Suatu hari Jacob mengunjunginya, dalam sesi pengakuan dosa ia mengakui bahwa ia tidak pernah merasa mampu menjadi pendeta, ia juga berterus terang bahwa mengikuti pendidikan di seminari juga hanya demi menyenangkan ayahnya.

Stu menasehati Jacob, ada banyak cara untuk melayani Tuhan dan dia tidak boleh merasa tertekan dalam melakukannya. Jacob berterima kasih kepada Stu dan mengucapkan selamat tinggal, sebagai pesan terakhir kepadanya. 

Resensi Film: Father Stu (2022), dari Petinju Menjadi Pendeta Kharismatik

Tahun 2014, Father Stu yang kharismatik meninggal di usia 50 tahun. Kredit penutup dalam film menampilkan foto-foto kehidupan nyata Stu sejak anak-anak hingga dewasa dan menjadi pendeta.

Dialog-dialog di film ini cukup bagus, silakan nonton sendiri bagaimana Stu sering mempertanyakan keyakinannya, memprotes kebijakan gereja hingga gaya eksentriknya saat memberi ceramah, beda dan ngena. 

Seperti tulisan pada poster film; God Wanted A Fighter... And He Found One - Tuhan menginginkan seorang petarung... dan Dia menemukan Father Stu. 

Salam :)


Posting Komentar

No Spam, Please.