Kepompong Hampa Belaka

Kedzalimannya terus terjadi, pencitraannya kian melambung tinggi. Tapi gw tau, tak ada bangunan istana yang kokoh yang berdiri di atas pasir.
Kepompong Hampa Belaka


Gw tau betul rasanya "tersingkirkan". 

Bertahun luka jiwa itu membekas. Pengen membalas namun tak kuasa. Pengen teriak takut malah tambah sakit jiwa. 

Padahal kalau dipikir berulang kali, rasanya tak ada yang salah. Tapi mungkin otak dan pengetahuan gw yang cetek gak nyampe mikirnya. 

*nanti akan ada kegiatan fisik (disebutlah aktivitas yang sepintas mengerikan buat ibu-ibu yang gak terbiasa dengan aktivitas ekstrem, ibu-ibu menyusui atau balita) 
>> gw yang bagian dari panitia dan pernah meliput agenda itu pada tahap pertama memberi penjelasan: "Maaf bu, gak ada yang perlu dikawatirkan kok". 

Semua agenda-agenda itu gak ada. Aktivitas fisik itu cuma kita full berkegiatan di luar ruangan. Seharian penuh. Ada tenda buat anak, bayi dan balita. Ibu bisa mlipir ke sana saat anak rewel, ibu capek atau harus menyusui. 

Lain waktu soal keluhan teman-teman betapa otoriternya beliau dalam segala hal. Kita cuma harus bisa pasrah. Dan saat gw kemukakan hal ini karena terlalu banyak dan terlalu sering terjadi.... Ternyata gw dihempaskan dengan kenyataan menyakitkan. 

Buat dia, gw berurusan dengan orang yang salah. Mau satu kecamatan menjadikan gw sebagai public enemy, bahkan keluar statement gw udah di-BLOKIR, di-BLACKLIST, gw jalan terus. 

Walau nangis darah, gw terus melangkah. Saat manusia sedunia seolah gak berpihak, gw yakin banget ada DIA yang gak pernah meninggalkan gw. Biar waktu yang menjawab. 

Dan butuh 3 tahun, yapp tiga tahun gw bisa move on. Selama itu, walau luka emang belom sembuh. Gw berusaha tegar. 

Saat gw tetap bertahan bahkan membantu di tempat yang sama, bukan berarti gw mencari muka demi simpati manusia, itu terlalu rendahan! 

Gw melakukannya sebagai bukti rasa SYUKUR gw, syukur tak terhingga atas PENJAGAAN-Nya. 

Kepentingan;
Nama;
Pengen dianggap;

Gw hempaskan semua! Itu barter yang terlalu murah. Mereka boleh ngelepehin gw. Tapi ludah mereka itu mencuci gw. Suatu hari nanti, pastikan bercahaya, debu jadi permata, nista jadi mulia.... Syalalala.... #ehh 

Di perkumpulan yang satu, lebih toxic dan tragis lagi. Gegara seorang lelaki yang gak rela aibnya terbongkar, dia tega membuat citra buruk rendahan segala rupa demi membuat gw menyingkirkan diri. Ibarat pepatah, dipoyok dilebok! 

Itulah perlakuannya. Aib yang gw bongkar bukan yang bersifat pribadi. Berkaitan dengan amanah dan lingkaran setan kepentingan individu dengan ambisinya. 

Gw gak mau jadi setan bisu, yang memilih mendiamkan segala kebobrokan itu mengendap jadi borok tersembunyi. Ini harus diklarifikasi. Gw punya bukti, tapi kalo kudu bolak-balik ke Jogya, gw gak punya waktu dan ongkos. 

Kepompong Hampa Belaka


Semua terhempaskan di grup komunitas. Belasan klarifikasi gw dihapus tanpa ampun. Menyisakan fitnah besar untuk gw sebagai: Mak Lampir tukang protes yang jadi usil karena cintanya tertolak. Anj*ng biadab! 

Gw memutuskan mlipir. Darah gak cuma mengalir jadi airmata, tapi di kaki dan jiwa. Sakit jangan ditanya. Tapi gw angkat tangan gw ke langit, Isyhadu yaa Rabb.... Trus gw berdiri dan pergi ogah nengok lagi. 

Kedzalimannya terus terjadi, pencitraannya kian melambung tinggi. Tapi gw tau, tak ada bangunan istana yang kokoh yang berdiri di atas pasir. Satu saat akan runtuh. Dengan atau tidak gw ada di sana menjadi saksi. 

Seperti kepompong, saat keindahan kupu-kupu menjadi sempurna, ia akan kosong. Hampa belaka.
 
Tiada hal yang berdiri terlalu lama saat ada pendzaliman di atasnya. Harga diri mereka adalah dengan menjatuhkan orang lain yang dianggap mengalahkan eksistensinya. Harga diri gw adalah pergi sejauh-jauhnya menghilang dari mereka. Sampai waktu yang akan membuktikannya. 


#end
#masihnangisIngetnya

Penulis: Maks Sri Suharni
Kamis, 21 Okrtober 2021

*"Dipoyok dilebok" (Pepatah Sunda) artinya kurang lebih diejek, tetapi ditelan juga. 

Posting Komentar

No Spam, Please.