Ketika Sakaratul Maut Datang Menyapamu

Ketika Sakaratul Maut Datang Menyapamu siapapun yang mengalami, sakitnya tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Gak ada yang bisa mendekripsikan rasanya

~ Jenazah ~


Ketika Sakaratul Maut Datang Menyapamu



Ririn paling takut kalo denger kata mayat atau jenazah atau apapun padanan katanya. Di benaknya, kata-kata itu seperti sebuah kata yang dipenuhi jutaan diorama mengerikan melebihi pemandangan di sumur pembantaian 7 jendral korban PKI tahun 66.

Tapi, pagi ini timeline facebook Ririn, penuh dengan postingan foto-foto polisi yang selfie dengan mayat-mayat begal Sumatra yang terkenal sadisnya. 

Ririn merasakan nervous luar biasa. Keringat dingin menetes di sela-sela jilbab birunya. Perutnya seakan kram, menyusul mual yang mendadak menyerang. "Cukup sudah!".

Ririn setengah membanting hape smartphone-nya di atas kasur. Sekali hentakan, jilbabnya terlepas, tubuhnya segera mendarat mulus di atas sprei berwarna abu-abu. 

Penat melanda, perlahan meleleh bersama sejuknya angin dari pendingin udara di kamarnya.

Jenazah itu belum dingin, kulitnya perlahan memucat. Tapi matanya setengah terbuka. Ririn setengah jengah meletakkan jarinya di kedua kelopak mata jenazah itu. 

"Mengapa?, " tanya sebuah suara. 

Ririn tergagap, sosok yang persis sama dengan jenazah itu berdiri di depannya. "Ndak apa-apa. Biar wajahmu terlihat lebih baik saja. Gak serem gitu, lhoo," ucap Ririn santai. 

"Aku sakit, mbak," ucap sosok itu, datar.  Sambil menatap tubuhnya yang tergolek berselimut kain batik bermotif parang rusak yang sudah belel

"Gak cuma orang sakit, orang sehat juga bisa mati," dengus Ririn. 

"Bukan itu, mbak. Sakaratul maut barusan." 

"Oohhh... !," ucap Ririn, ikut memperhatikan jenazah di depannya dengan seksama. 

"Mbak gak percaya, tho?," tanya sosok itu lagi. 

"Oo, ya ndak gitu. Saya percaya. Guru saya pernah cerita, kalo sakaratul maut itu sakit luar biasa. Rasulullah saja merasakan sakit itu. Apalagi kita," ucap Ririn dengan logat Jogyanya yang kental.

"Tapi, apapun bahasanya, siapapun yang mengalaminya, sakitnya tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Gak ada yang bisa mendekripsikan rasanya.  Gak ada," sosok itu bicara pelan, seolah nelangsa.

Ririn memperhatikan wajah sosok itu. Matanya seksama menelusuri sosok yang lebih mirip seperti bayangan. Namun jelas dan tak berwarna hitam. Baru terlihat di wajahnya, bahwa sosok itu terlihat sedih, ketakutan, bahkan kesakitan yang amat sangat, menjadi satu dalam satu penampakan wajah. 

Ririn merinding. Menyesal sempat tak menaruh simpati pada ungkapan hati pemilik sosok yang tak ia kenal sama sekali. 

" Mm... Bagaimana rasanya tho?," tanya Ririn akhirnya. 

Ketika Sakaratul Maut Datang Menyapamu


Sosok itu melihat ke arah Ririn sekilas. Sebelum kembali ia menatap jenazah di depannya dengan jeri. Sempat terlihat oleh Ririn, mata sosok itu berwarna kuning dengan bercak-bercak darah di dalamnya. Wajahnya juga pias. Susah untuk digambarkan. Wajah yang berwarna kekuningan, membayang kemerahan laksana orang yang luka lebam. 

"Ketika sosok itu datang, saya sedang di kamar mandi. Tetiba ia masuk, entah bagaimana ia masuk. Seperti menyergap tubuh saya. Tapi juga seperti menekan ubun-ubun kepala saya. Berat. Sakit luar biasa. Saya pikir, sakit ini paling sakit. Tapi ternyata, sakit ini awalnya saja," ungkap sosok itu, pelan, namun tajam dan dalam. Ririn terkesima.

"Lalu saya merasakan sekujur tubuh saya diaduk-aduk. Kulit saya seperti dikuliti. Sekali... Lalu dikuliti lagi... Dua kali.... Rasanya tak terkatakan. Sakiitt.. Sakiitt sekali. Saya ingin teriak, tapi suara saya tak bisa keluar. Sakitnya tak tertahankan. Air mata yang menetes bukan air lagi, tapi darah yang memuncrat keluar," ucapnya seperti berbisik. 

"Saya histeris kesakitan. Tapi tak ada yang mendengar. Saya sempat melihat anak saya,  menepuk-nepuk muka saya. Tapi saya merasakan sakit yang lebih menguasai perasaan saya. Sentuhan mereka membuatnya tambah sakit.  Darah seolah keluar dari lubang pori-pori. Daging tubuh saya seperti mau saya muntahkan dari mulut saya. Saya tak bisa bedakan mana tangan saya, kaki saya, kepala saya. Mata saya seolah berlompatan keluar," lanjutnya.

Sosok itu menangis. Airmatanya berwarna kemerahan, menitik di wajah yang tiba-tiba saja terlihat jelas pembuluh darahnya. 

Ririn beringsut ketakutan. Tenggorokannya mendadak tercekat. Tubuhnya lemas, tapi seolah tertahan. Tak mampu untuk beranjak. 

Sosok itu kembali menatap tubuh kaku di depannya yang perlahan mulai dingin dan putih. 

"Saya tak tau bagaimana menggambarkan sakaratul maut. Entah berapa lama saya mengalami kedaan seperti itu. Lalu kemudian tubuh saya terasa terbang. Tapi sakitnya masih terasa sampai sekarang. Tangan yang tadi menekan kelopak mata saya, itu sakit sekali. Kulit saya serasa disayat-sayat silet, perihhh sekali. Tolong jangan menyentuh saya lagi," ucap sosok itu datar namun tajam. 

"Nyuwun pangapunten, nggih," ucap Ririn kelu*

Sosok itu mengangguk menatap Ririn. Datar tanpa ekspresi. Tapi wajahnya tak nampak menyeramkan lagi. Walau warnanya masih kuning dengan pembuluh darah yang nampak di sekujur tubuh. Entah bagaimana ia menghilang. 

Saat Ririn mengerjapkan mata, sosok itu lenyap dari pandangan. 

Kembali Ririn memandang tubuh kaku yang membujur tertutup kain batik parang rusak yang sudah belel. Seketika perasaan iba merambati dirinya. Tubuh Ririn seolah merasakan sakit tak terhingga. Ririn menggigil perlahan. Wajah itu seperti dikenalnya. 

Perlahan seolah menjalar, wajah itu merona, rambutnya yang terurai,  kain batik yang berubah menjadi gamis batik sogan motif parang rusak berwarna biru muda berpadu coklat susu kesukaannya. Wajah itu berubah menjadi wajahnya.

Ririn membelalak. Seketika ia berteriak. 

Nafas Ririn tersengal, setengah melompat ia bangun dari tempat tidurnya. Ruang ber AC yang sejuk tak terasa, gamis sogan motif parang rusak berwarna biru muda itu nyaris basah kuyup oleh keringatnya. Ririn menggigil, seiring adzan Ashar yang memanggil. 

Terngiang di telinganya dengan jelas suara Mak Een, modin kampungnya saat mengisi pelatihan Dauroh Janazah di musholla. 

"Imam Syafi'i berkata, apabila kalian mengetahui apa yang baru saja dialami oleh jenazah, maka kalian akan berhenti menangisi kematiannya, dan mulai menangisi kematian kalian sendiri."

#maks

Penulis: Sri Suharni Maks 
Selasa, 11 April 2017


*Nyuwun pangapunten nggih = Mohon dimaafkan yah. (Bahasa Jawa).


Posting Komentar

No Spam, Please.