Sekilas Tentang Raden Adjeng Kartini dan Kyai Haji Sholeh Darat

Kyai Sholeh Darat bin Kyai Umar, seorang ulama pejuang tangan kanan Pangeran Diponegoro. Lahir di Kedung Cumpleng, Mayong, Jepara, Jawa Tengah 1820

Raden Adjeng Kartini dan Kyai Haji Sholeh Darat 

Oleh : Taufik Rahman

Sekilas Tentang Raden Adjeng Kartini dan Kyai Haji Sholeh Darat


Tokoh wanita ini bernama R.A Kartini, Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Hindia Belanda, 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, Hindia Belanda, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini.

Beliau adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia.  Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan Pribumi-Nusantara.


Dasar Pemikiran Kartini

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. 

Kartini ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit.

Semua itu atas dasar Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).

Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. 

Sekilas Tentang Raden Adjeng Kartini dan Kyai Haji Sholeh Darat


Kecintaan Kartini Kepada Sang Ayah

Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. 

Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. 

Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah.  Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.

Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. 

Kartini menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu.
 
Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.

Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.

Tetapi setelah 117 tahun berlalu tidak banyak wanita-wanita muda yang mempunyai pemikiran seperti Kartini

Dalam hal pemikiran R.A Kartini, beliau mempunyai sosok guru hebat yang bernama Kyai Haji Sholeh Darat.


Sekilas Tentang Raden Adjeng Kartini dan Kyai Haji Sholeh Darat

Siapa sebenarnya Kyai Haji Sholeh Darat?

Umat Islam di Indonesia tentu saja akrab dengan nama KH Hasyim Asy'ari, KH Ahmad Dahlan, dan RA Kartini. Dua nama di depan adalah pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, sementara yang terakhir merupakan Pejuang Emansipasi Wanita.

Mungkin tidak banyak yang kenal nama Muhammad Sholeh bin Umar Al Samarani. Padahal, ketiga tokoh di atas mendapat pengaruh sangat besar dari ulama yang lebih dikenal dengan nama Kiai Sholeh Darat.

Kyai Sholeh Darat merupakan putra Kyai Umar, seorang ulama sekaligus pejuang dan tangan kanan Pangeran Diponegoro. Ia lahir di Desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Jepara, Jawa Tengah pada 1820.

Kata 'Darat' yang tersemat di namanya menunjukkan tempat tinggalnya yaitu di daerah Darat yang terletak di utara Semarang. Daerah ini dekat dengan laut dan menjadi tempat mendaratnya orang-orang dari luar Jawa.

Ilmu tentang agama didapat Kyai Sholeh pertama kali dari ayahnya. Ia lalu merantau ke sejumlah tempat di Nusantara untuk menimba ilmu. Beberapa ulama yang tercatat pernah mengajar Kiai Sholeh antara lain KH Syahid Waturoyo, KH Muhammad Saleh Asnawi Kudus, KH Haji Ishaq Damaran, KH Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni, KH Ahmad Bafaqih Ba'alawi, dan KH Abdul Ghani Bima.

Kyai Sholeh juga menimba ilmu ke Mekah di Hijaz, kini Arab Saudi. Di sana, ia berguru kepada sejumlah ulama seperti Syeikh Muhammad Al Muqri, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al Makki, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Ahmad Nahrowi, Sayid Muhammad Saleh bin Sayid Abdur Rahman Az Zawawi, Syeikh Zahid, Syeikh Umar Asy Syami, Syeikh Yusuf Al Mishri.

Setelah beberapa tahun belajar, Kyai Sholeh menjadi salah satu pengajar di Mekah. Muridnya berasal dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Jawa dan Melayu.

Beberapa tahun mengajar, Kyai Sholeh memutuskan kembali ke Semarang dan mengajarkan pengetahuannya kepada umat Islam di tempat tinggal asalnya. Kiai Sholeh pun mendirikan pusat kajian Islam berupa langgar atau mushola, yang kemudian berkembang menjadi pesantren kecil.

Banyak calon ulama yang tinggal di Pesantren Kiyai Sholeh Darat dan menimba ilmu di sana. Sebagian dari mereka kemudian menjadi tokoh-tokoh terkenal seperti Syeikh Mahfudz At Turmusi, KH Hasyim Asy'ari, KH Ahmad Dahlan, dan RA Kartini.

Kiai Sholeh juga melahirkan banyak karya dalam ilmu agama Islam. Di antaranya, Majmu'ah Asy Syari'ah Al Kafiyah li Al Awam, Batha'if At Thaharah, serta kitab Faidhir Rahman.

Kitab Faidhir Rahman merupakan tafsir Alquran yang ditulis Kiai Sholeh menggunakan aksara Arab pegon. Aksara ini menggunakan huruf-huruf Arab, namun bahasa yang dipakai adalah Jawa. Kitab ini disusun Kiyai Sholeh atas permintaan dari R.A Kartini yang ingin memahami makna Alquran sehingga tidak hanya sekadar membacanya.

Buat orang Jawa saat itu betapa terlalu majunya cara berpikir Kartini dan betapa berdosanya Kartini telah mengkritik gurunya sendiri, tetapi bagi Kyai Haji Sholeh Darat walaupun dikritik oleh muridnya tapi ini masukan yang baik karena untuk apa kita belajar mengaji kalau tidak mengerti.

Sebenarnya tidak ada orang di muka bumi yang ingin dijajah, kalaupun sudah terjajah pasti akan memberontak sehingga Kyai Haji Sholeh Darat menciptakan Arab Pegon dan kemudian orang Jawa dapat mengerti makna dari Al – Qur’an itu sendiri

Dari hasil kritikan Raden Ajeng Kartini terhadap Kiyai Haji Sholeh Darat kemudian Kartini menciptakan kalimat yang paling terkenal pada waktu itu, ini terlihat dari yang dikutip dari satu ayat dalam Al – Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 257 yang berbunyi Minadzulumati Ilan Nur itulah kalimat dari Al – Qur’an yang menginspirasi kata – kata mutiara Raden Ajeng Kartini yang kita ketahui hingga saat ini yaitu “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Di sinilah hebatnya Kiyai Haji Sholeh Darat sebagai Gurunya Kartini yang bukan marah terhadap kritikan Kartini tapi beliau malah menerima kritikan Kartini sehingga terciptanya Arab Pegon sebagai solusi atas kritikan Kartini.

Seharusnya seorang guru tidak usah anti terhadap kritikan, karena Nabi Muhammad S.A.W juga pernah berkata bahwa 

"Jangan pernah melihat siapa yang berbicara tetapi pesan apa yang ia beri."

Begitu pula ucapan Soe Hok Gie seorang Aktivis di masa Orde Lama pernah berkata bahwa: 

"Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau yang selalu salah.”

Harapannya adalah untuk semua guru-guru agar lebih berbesar hati dalam berfikir karena sejatinya kebenaran yang absolut itu hanya milik Tuhan. Guru dan murid  pada hakikatnya adalah sama-sama manusia yang selalu mempunyai celah kesalahan yang sama.

Dari Kisah antara R.A Kartini dan Gurunya Kiyai Haji Sholeh Darat dapat disimpulkan bahwa sebuah kritikan itu tidaklah sebuah hal yang buruk, apalagi kritikan yang membangun dan itu demi kemajuan bersama. []

*Penulis adalah relawan literasi Kabupaten Bekasi yang juga sebagai pendiri Gubug Literasi Setu.

Posting Komentar

No Spam, Please.