MEMBANGKITKAN POTENSI NABI - Review Buku Ada Nabi dalam Diri

Agama dekade belakangan cenderung terjebak dalam ritual formal dan simbolisasi eksklusif terlalu memperhatikan masalah organisasi ketimbang spiritual
Ada Nabi dalam Diri (Melesatkan Kecerdasan Batin Lewat Zikir dan Meditasi)

 Judul: Ada Nabi dalam Diri (Melesatkan Kecerdasan Batin Lewat Zikir dan Meditasi) 
 Penulis: Soraya Susan Behbehani 
 Penerjemah: Cecep Ramli Bihar Anwar 
 Penerbit: Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2003 
 Tebal: 280 halaman 
 ODOB#034 


Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya. (Yahya bin Muadz Ar-Razi)

Setelah tren meditasi yang dimotori spiritualis Anand Krishna mulai surut gelegaknya, belakangan muncul pula tren zikir dan manajemen hati yang dimotori oleh Arifin Ilham dan Abdullah Gymnastiar.

Buku yang aslinya berjudul The Messenger Within (1990) ini mengusung semangat yang hampir serupa dengan kedua tren yang telah melanda kita itu.

Lewat pergulatan dan pencarian panjang terus-menerus selama lebih dari lima belas tahun, penulis buku ini makin percaya bahwa setelah berakhirnya dinasti kenabian di tangan Nabi Muhammad ibn Abdullah pada abad ke-6 Masehi, setiap manusia sesungguhnya sudah mampu menjadi "nabi" bagi dirinya sendiri.

Tetapi sayangnya, tidak semua orang menyadari hal ini, atau bahkan tidak pernah memiliki cukup waktu untuk berpikir dan menyadarinya.

Padahal, jika kita melihat ke belakang, akan jelas terlihat bahwa pesan semua nabi adalah sama, yakni mencapai Tuhan dengan mengenali diri sendiri, sebagaimana ucapan Socrates: kenalilah dirimu sendiri!

Semua nabi mendakwahkan penjelajahan diri. Pesan ini abadi dan tidak hanya dimiliki tradisi, sekte, atau agama tertentu saja. Setiap utusan Tuhan --Zoroaster, Buddha, Musa, Yesus, dan Muhammad SAW -- mewakili tahap-tahap yang berbeda dari penjelajahan diri tersebut.

Alasan mengapa pendapat dan interpretasi agama dan kepercayaan itu berbeda-beda adalah karena raibnya "pengalaman aktual tentang kebenaran". Sebuah pengalaman yang dikenal sebagai meditasi.

Agama pada dekade belakangan tampaknya cenderung terjebak dalam ritual formal dan simbolisasi eksklusif kelompoknya belaka. Jajak pendapat pada 1988 oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene menunjukkan bahwa 59% responden mengeluhkan gereja atau sinagoge mereka terlalu memperhatikan masalah organisasi ketimbang masalah-masalah teologi atau spiritual.

Teologi adalah sistem pemikiran spekulatif tentang hal-hal gaib, sedangkan spiritualitas adalah hati/jantung (heart) dari agama, yang berupa pengalaman religius. Meditasi adalah pengalaman religius yang ada dalam sejarah dan tradisi semua agama.


Penulis: Heri Winarko


MEMBANGKITKAN POTENSI NABI - Review Buku Ada Nabi dalam Diri
------------

Menurut buku ini, sekali jiwa terbebas dari berbagai perubahan yang konstan, ia akan bebas dari belenggu-belenggu duniawi dan memahami keabadian; sehingga kematian tidak lagi mengancam. Ini adalah kebangkitan jiwa yang melahirkan kekuatan. 

Kekuatan itu bukan terletak pada menghindari godaan-godaan material dunia, melainkan pada memahami dan tabah menghadapi semua itu. 

Perlindungan sejati manusia ada dalam hatinya, semestinya pada hatilah manusia mencari perlindungan. Karena itu, penyendirian (khalwat) bukan berarti bahwa kita harus memisahkan diri dari masyarakat, tetapi hidup bersama masyarakat namun tidak mengikuti kebiasaan-kebiasaan buruk mereka.

Otak kita adalah gudang terbuka yang mampu menerima dan menyimpan hampir segala sesuatu yang datang, sayangnya tak pernah dibersihkan dan disusun rapi. Kapankah kita menyempatkan diri untuk merenung?, memikirkan bagaimana membersihkan hati dan mental.

Perbedaan antara agama dan teologi adalah bahwa teologi tak lebih dari sekadar sistem pemikiran spekulatif tentang hal-hal gaib, sedangkan agama adalah pengalaman. Cita-cita seniman adalah keindahan, ilmuwan adalah kebenaran, dan moralis adalah kebaikan. Agama menggabungkan semua itu dan ia ingin menyadarkan kita akan kesatuan.

Jalan menuju ketenangan dan kebahagiaan tersimpan di dalam batin kita masing-masing. Jenis bantuan apa pun yang diperoleh dari luar, bahkan yang terbaik dan yang paling tidak berisiko sekalipun, hanyalah bersifat sementara. Luka harus mulai diobati dari dalam. Jadi, pengobatan medis diterapkan untuk menghindari infeksi, tetapi tumbuhnya kembali jaringan otot baru adalah proses penyembuahn yang terjadi dari dalam (batin).

Sumber energi paling penting dalam tubuh adalah hati. Para sufi menyebutnya "sumber kehidupan". Hati dikenal sebagai manajer yang bijak dan perkasa. Ia memiliki kecerdasan, dan yang paling penting, ia terkait dengan seluruh sumber magnetik.

Soraya juga mengajak kita untuk kembali kepada praktik meditasi yang sebenarnya. Lebih dari sekadar untuk mengencangkan otot, meraih kesaktian, melatih konsentrasi, atau menyembuhkan stres dan AIDS—sebagaimana dipraktikkan di dunia modern— meditasi bertujuan untuk mempertinggi pengalaman, menyempurnakan kesadaran, pertumbuhan, dan evolusi batin agar potensi diri dapat berfungsi sepenuhnya. Dan, menurutnya, tanpa dikembalikan ke akar religiusitasnya, meditasi akan tumpul. Bahkan, bagi kepentingan penyembuhan dan konsentrasi sekalipun, ia tak akan banyak membantu. Sebab, sumber meditasi adalah hati. Melalui sumber energi hatilah kesehatan yang utuh akan tercapai.

Sumber: lapak-buku.com


Judul buku asli: The Messenger Within: Discovering Love and Wholeness Through Meditation 
Penulis: Soraya Susan Behbehani

Menjelaskan dasar dan sifat sejati tasawuf (Sufisme) dan konsep sifat kenabian di dalam diri manusia, buku ini berusaha untuk melampaui ideologi ke arah metodologi meditasi. Buku Ada Nabi dalam Diri menekankan meditasi sufi praktis yang tujuannya adalah untuk mencapai kehidupan cinta, keindahan, dan harapan.


Posting Komentar

No Spam, Please.