Memahami Selisih 1 Hari di Kalender Saka Jawa dan Hijriyah

Perhitungan kalender Saka Jawa adalah karya dari Sunan Agung Hanyakrakusuma. Sebelumnya kalender saka Jawa dihitung berdasarkan peredaran matahari atau mengikuti sistem syamsiyah, yaitu perhitungan perjalanan bumi mengitari matahari. Sedangkan kalender Sultan Agung mengikuti sistem qomariyah, yakni perjalanan bulan mengitari bumi seperti pada kalender Hijriah.
Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma dan kalender saka jawa

Misteri Malam 1 Suro setelah mengikuti Kirab Agung Pusaka Tarumanagara membawa saya pada jejak Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma yang telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975 sehingga menjadi Pahlawan Nasional ke-12 dari Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Mengapa malam 1 Suro terkait dengan Sultan Agung Mataram?

Perhitungan kalender Saka Jawa adalah karya dari Sunan Agung Hanyakrakusuma. Sebelumnya kalender saka Jawa dihitung berdasarkan peredaran matahari atau mengikuti sistem syamsiyah, yaitu perhitungan perjalanan bumi mengitari matahari. Sedangkan kalender Sultan Agung mengikuti sistem qomariyah, yakni perjalanan bulan mengitari bumi seperti pada kalender Hijriah.

Walaupun tahun Saka menggunakan peredaran bulan sebagaimana kalender Hijriah, dalam kalender Jawa ini terdapat perputaran waktu khusus (siklus) yaitu Windu, Pasaran, Selapan dan Wuku.

Pada waktu itu kalender Saka sudah berjalan sampai akhir tahun 1554. Angka tahun 1554 itu diteruskan dalam kalender Sultan Agung dengan angka tahun 1555, sekalipun dasar perhitungannya sama sekali berlainan. Perubahan kalender di Jawa itu dimulai hari Jum’at Legi, tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 bertepatan dengan tanggal 1 Muharam tahun 1043 Hijriah, atau tanggal 8 Juli 1633. Kalender ini dikenal pula dengan Kalender Jawa Sultan Agungan atau Penanggalan Jawa (Anno Javanico).

1 Muharram 1440 berbeda hari dengan 1 Suro 1952 

Menetapkan tanggal merah jelas merupakan kewenangan pemerintah yang menggunakan Kalender Gregorian Masehi. Pemerintah RI telah menetapkan hari Senin tanggal 11 September 2018 sebagai tanggal merah untuk memperingati 1 Muharram yang berarti menurut pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, 1 Muharram jatuh pada hari Selasa tanggal 11 September 2018. 

Sedangkan menurut penanggalan Saka/Jawa Kalender Jawa Sultan Agungan tanggal 1 Suro Tahun Be 1952 atau tahun Dal 1952 jhe adalah tanggal 12 September 2018. Karena perbedaan sistem penanggalan tersebut maka tanggal 1 Suro 1952 dan 1 Muharram 1440 H berbeda 1 hari.  Inilah penyebab ada kalender yang mencetak tanggal 12 September 2018 sebagai tanggal merah. Kemungkinan besar pencetak mengikuti penanggalan kalender Saka/Jawa dalam menentukan tanggal 1 Suro atau beranggapan bahwa tanggal 1 Suro tahun ini berbarengan dengan 1 Muharram 1440 H seperti tahun-tahun sebelumnya, atau mungkin alasan lainnya.

Untuk di Bekasi, perbedaan tanggal merah ini mungkin tidak terlalu penting, paling hanya perbedaan tanggal merah yang tercetak di kalender. Tapi untuk warga di wilayah Surakarta Solo, perbedaan waktu antara 1 Muharam dan 1 Suro terlihat pada perbedaan pelaksanaan acara menyambut malam 1 Suro di Pura Mangkunegaran dan Keraton Surakarta Solo Jawa Tengah. 

Pura Mangkunegaran Solo, Jawa Tengah menggelar kirab budaya menyambut malam satu suro pada Senin malam (10/9/2018), karena menurut kalender hijriyah 1 Muharram 1440 H atau 1 Suro jatuh pada hari Selasa tanggal 11 September 2018. 

Sedangkan Keraton Surakarta Hadiningrat mengadakan kirab 1 Suro pada Selasa malam (11/9/2018) karena berdasarkan perhitungan Kalender Jawa Sultan Agungan atau penanggalan Jawa (Anno Javanico) tanggal 1 Suro Keraton Solo tahun Dal 1952 jhe jatuh pada hari Rabu tanggal 12 September 2018.

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di Jogja seperti juga Keraton Surakarta Hadiningrat di Solo, mengadakan Hajad Kawula Dalem Mubeng Benteng pada Selasa malam (11/9/2018) karena Keraton Ngayogyakarta juga menggunakan Kalender Jawa Sultan Agungan sebagaimana Keraton Surakarta Hadiningrat Solo.

Penjelasan Perbedaan penetapan 1 Muharram 1440 dengan 1 Suro 1952 

Dari laporan Almira Nindya di media online Rakyat Merdeka (RMOL) Jateng, mengutip pernyataan Pangageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KGPH Dipokusumo menjelaskan, selama ini Keraton Surakarta mengacu pada kalender Jawa karya Sultan Agung yang juga mengadopsi penanggalan Islam yang berbasis pada perputaran Bulan dan menetapkan tanggal 1 Suro 1952 jatuh pada tanggal 12 September 2018 sehingga kirab 1 Suro diselenggarakan pada Selasa malam tanggal 11 September 2018.

"Untuk penyelenggaraan kirab 1 Suro pada tahun ini, keraton mendasarkan pada perhitungan Kalender Sultan Agung, yang jatuh pada Selasa (11/9). Maka dengan perhitungan tersebut kadang bisa bareng dengan Masehi namun bisa juga selisih sehari," kata Gusti Dipo, menjelang kirab pusaka malam 1 Suro di Keraton Surakarta. 

Terpisah, pendapat dari Sejarahwan UNS Solo, Tundjung W. Sutirto mengatakan, perbedaan waktu 1 suro atau 1 Muharam terjadi karena Keraton Surakarta menggunakan pendekatan penanggalan Aboge, sedangkan Pura Mangkunegaran menggunakan penanggalan Asapon.

Perbedaan itu terkait adanya pendekatan penanggalan Asapon yang digunakan Mangkunegaran dan penanggalan Aboge yang digunakan Keraton Surakarta, kedua penanggalan itu ada selisih perhitungan, biasanya selisih satu hari," kata Tundjung. 

Dikutip dari Tugu Jogja pada halaman Kumparan, Pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat melaksanakan tradisi Mubeng Beteng pada hari Selasa (11/9) malam. Puteri Raja Keraton Yogyakarta, Gusti Condro Kirono mengungkapkan, pelaksanaan laku Mubeng Beteng tersebut baru akan dilaksanakan pada hari Selasa (11/9). Sebab, berdasarkan kalender Sultan Agung, 1 Suro jatuh pada hari Rabu tanggal 12 September 2018.

"Keraton memang menganut Kalender Sultan Agung,"ujar Gusti Condro Kirono di Kompleks Kepatihan Yogyakarta.
Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng 1 Suro Jogjakarta
Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng 1 Suro Jogjakarta 2018
Hal tersebut mengonfirmasi infromasi dari akun Twitter Kraton Jogja @kratonjogja tanggal 6 September 2018 yang menginformasikan: "Sahabat, kami informasikan bahwa Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng untuk memperingati tahun baru Jawa, 1 Sura Tahun Be 1952 akan digelar Selasa (11/9) malam. Acara dimulai pukul 20.00 WIB dengan pembacaan macapat di Bangsal Pancaniti  Kraton Jogja." #kratonjogja.

Kalender Sultan Agung berbeda dengan kalender Hijriah yang awal dan akhir bulannya ditentukan dengan fenomena hilal atau penampakan bulan sedangkan Kalender jawa sistem perhitungan yang menggunakan hisab urfi (rata-rata), sehingga tak jarang di jumpai perbedaan antara kalender Jawa Islam dengan kalender Hijriyyah. Karena bersifat urfi maka kalender Jawa Islam ini tidak bisa digunakan sebagai acuan dalam kegiatan Ibadah umat Islam khususnya penentuan 1 Ramadhan.

Sistem perhitungan kalender Sultan Agung rata-rata lebih panjang sebanyak 1 hari setiap 120 tahun, agar kalender Sultan Agung tetap sesuai dengan kalender Hijriyah, maka dalam kurun 120 tahun kalender Sultan Agung selalu dihilangkan satu hari. Peristiwa menghilangkan tanggal 1 Sura pada awal permulaan kurup tahun Alip ini disebut ganti kurup atau salin kurup.

Siklus 120 tahun yang disebut dengan kurup ini baru diketahui setelah 72 tahun kalender Jawa berjalan. Sejauh ini sudah terdapat 3 kurup. Pertama, 1 Sura 1627 (Alip) jatuh pada Kamis Kliwon. Kedua, 120 tahun kemudian, 1 Sura 1747 (Alip) jatuh pada Rabu Wage atau dikenal sebagai kalender Aboge. Ketiga, kurup Aboge itu berakhir dengan datangnya kurup baru, yaitu 1 Sura 1867 (Alip) yang jatuh Selasa Pon atau disebut Asapon. Kurup Asapon itulah yang saat ini berlaku, mulai 24 Maret 1936-25 Agustus 2052 M.

Sebuah Karya Agung Nusantara

Menurut peneliti, pembuatan sistem kalender ini dilakukan oleh Raja Mataram Sultan Agung Anyakrakusuma saat itu bertujuan untuk menyatukan sistem penanggalan masyarakat kejawen dan santri. Saat itu, masyarakat kejawen menggunakan kalender Saka, sedangkan kaum santri menggunakan kalender Hijriah.

Kalender Saka merupakan sistem penanggalan yang didasarkan pergerakan bumi mengelilingi matahari. Kalender tersebut telah digunakan oleh masyarakat Hindu di India sejak tahun 78 masehi dan masih digunakan oleh masyarakat Hindu di Jawa dan Bali hingga kini. 

Untuk merangkum semua kepentingan masyarakat yang berbeda, maka sistem penanggalan baru dibuat dengan menggabungkan kalender Saka dengan kalender Hijriah. Nama bulan dan jumlah hari didasarkan degan sistem kalender Hijriah. Sedangkan angka tahun Saka dipertahankan. Ini membuat kalender pertama Jawa bukan 1 Sura tahun 1 Jawa, melainkan 1 Sura tahun 1555 Jawa.

Dari sini saya kira kita dapat membayangkan kearifan Sultan Agung selaku raja Mataram kala itu. Kalender Sultan Agung ini juga memiliki keistimewaan karena memadukan sistem penanggalan Islam, sistem Penanggalan Hindu, dan sedikit penanggalan Julian (perhitungan kalender Julius Caesar Romawi Kuno) yang merupakan bagian budaya Barat. Sistem penanggalan ini cukup rumit dengan perhitungan astronomi yang cukup detail dan masih digunakan oleh banyak orang hingga sekarang. 

Kesimpulan saya, jika kalender yang ada di rumah Anda mencetak tanggal 12 September 2018 sebagai tanggal merah, maka besar kemungkinan percetakan tersebut mengadopsi kalender Jawa Sultan Agungan atau Penanggalan Jawa (Anno Javanico) yang menetapkan tanggal 1 Suro jatuh pada tanggal 12 September 2018.

Salam.

*dirangkum dari berbagai sumber



2 komentar

  1. Penjelasannya komplit sekali, Om. Jadi tahu ada Asapon, ada Aboge (yang baru kali ini saya baca). Jadi itulah sebabnya ya ada yang liburnya tanggal 11 (seperti kami ini hahaha) ada yang liburnya tanggal 12 (kirabnya diselenggarakan 11 malam). Kira-kira itu sama juga dengan di Ende, Paguyuban Orang Jawa di Ende itu bikin acaranya Selasa sore - malam.

    Betapa bijaksananya Sulta Agung! Memadukan sistem penanggalan Islam, Hindu dan sedikit dari Julian (rumit tapi bertujuan untuk menyatukan sebenernya). Ini sebenernya filosofi juga untuk kehidupan kita sehari-hari; apabila dapat menyatukan perbedaan tanpa konflik, kenapa tidak? *mulai ngelantur kan saya*

    Thanks pos-nya Om!

    1. Iya, Sultan Agung ini jenius dan pintar :D
No Spam, Please.