Legenda Putri We Tadampali, Asal Usul Wajo

Kisah Legenda Putri We Tadampali yang terdampar dan Pangeran yang berujung cinta. Kisah legenda asal usul nama Tosora dan Wajo di Sulawesi Selatan
Legenda Putri We Tadampali, Asal Usul Wajo

We Tadampali: Kisah dari Tanah Luwu

Dahulu kala, di jazirah selatan Sulawesi, berdirilah sebuah kerajaan besar bernama Kedatuan Luwu. Negeri itu makmur, tanahnya subur, sungainya jernih, dan rakyatnya hidup dalam tatanan adat yang teratur. Dari istana megah di Luwu memancar kebijaksanaan sang raja, La Busatana Datu Maongge, dan permaisurinya, Karaeng Balla Bugisika.

Namun, kebahagiaan mereka meredup ketika Putri We Tadampali, putri tunggal kesayangan mereka terserang penyakit kulit menular. Segala tabib dari pelosok negeri dipanggil, namun tak satu pun mampu menyembuhkan. Luka di kulit sang putri kian hari kian menyebar, dan istana yang dulu ramai dengan nyanyian kini dipenuhi bisikan duka dan doa.

Dengan hati yang perih namun penuh kasih, raja dan permaisuri akhirnya memutuskan untuk mengasingkan sang putri. Bukan karena tak cinta, justru karena cinta yang dalam demi melindungi istana dan rakyat dari penyakit menular. Sebelum berangkat, sang putri dibekali keris pusaka kerajaan, selendang sutra Luwu, serta beberapa benda sakral sebagai tanda darah bangsawan.

Namun siapa sangka, pengasingan itu bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang menuju penyembuhan dan cinta.

Orang Terdampar di Akkotongeng

Ditemani beberapa pengawal setia, sang putri berlayar menyusuri pesisir teluk Bone yang membentang di timur Sulawesi. Ombak bergulung lembut seolah ikut memahami duka yang mereka bawa. Setelah berhari-hari berlayar di tepian laut, perahu kecil itu akhirnya memutar haluan di sebuah pesisir sunyi yang dikelilingi hutan rimbun.

Mereka mengikuti alur muara sungai hingga sampai di lokasi yang baik untuk menyandarkan perahu di tepi hutan Akkotongeng, tempat pepohonan bajo tumbuh menjulang, bayangan pohon menaungi perkemahan mereka dengan sejuk. Putri We Tadampali memberi nama tempat mereka dengan nama Wajo yang berasal dari Pohon bajo, peneduh yang menjadi saksi lahirnya kehidupan baru.

Meski jauh dari istana, sang putri mulai menemukan kedamaian. Udara segar bercampur aroma alam dan dedaunan, suara gesekan daun, burung-burung dan jangkrik di malam hari, serta cahaya senja yang menembus celah pepohonan menjadi penghibur jiwanya. Namun penyakit di kulitnya tetap membandel... hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan makhluk yang membawa mukjizat.

Kerbau Bule: Mukjizat dari Alam

Suatu sore, ketika sang putri sedang mencuci di tepian sungai Akkotongeng, datanglah seekor kerbau albino, berkulit putih pucat seolah sinar bulan turun ke bumi. Hewan itu menghampiri tanpa rasa takut, lalu menjilat lembut bagian kulit sang putri yang terluka.

Awalnya sang putri kaget dan hendak mengusirnya, tapi ada yang aneh, rasa perih dan gatalnya perlahan mereda. Keesokan harinya, kerbau itu datang lagi dan menjilat luka di tempat lain, hingga kulit sang putri perlahan mengering dan sembuh.

Dalam hikayat rakyat Wajo, kerbau bule dipercaya sebagai utusan dewata. Namun dari pandangan sekarang, mungkin kerbau itu memakan tumbuhan sekitar sungai yang kaya senyawa antibakteri alami seperti daun sirih liar, sambung nyawa, atau akar pepasan. Bisa jadi, zat penyembuh itu berpindah melalui air liurnya dan menyembuhkan sang putri.

Penuh rasa syukur, sang putri berkata lembut kepada pengikutnya:

“Mulai hari ini, jangan ada yang mengganggu, apalagi menyembelih kerbau bule. Ia adalah tanda kasih dewata yang telah memulihkan tubuh dan jiwaku.”

Sejak saat itu, kerbau bule menjadi hewan keramat di Wajo, simbol penghormatan pada alam yang memberi penyembuhan. Hingga kini, sebagian masyarakat masih memegang larangan itu sebagai warisan kisah We Tadampali.

Pertemuan Dua Takdir

Di hutan yang sama, sekelompok pemburu dari Kerajaan Bone sedang mengejar rusa. Di antara mereka ada seorang pangeran muda yang gagah berani, meski agak keras kepala. Karena terlalu asyik memburu, ia tersesat jauh dari rombongan dan malam pun turun.

Tersesat dalam gelap hutan bukan hal yang menakutkan bagi pangeran, namun ia juga tidak ingin dirinya celaka dari sergapan binatang buas. Tidak lama si pangeran memanjat pohon besar yang ia temui dan berniat istirahat di sana. 

"Kita tidak boleh pulang sebelum pangeran ditemukan. Jika sampai akhir hayat tidak ditemukan, biar kita semua menetap dalam hutan ini," ucap salah satu pemimpin dari pemburu itu. Menyadari ancaman hukuman yang menanti jika mereka pulang tanpa pangeran, tidak ada seorang pun dari rombongan yang berani menyanggah.

Sementara itu, pangeran telah memanjat pohon tinggi yang ia anggap aman, berniat istirahat di sana. Dari ketinggian pohon, ia melihat cahaya berkelap di kejauhan, bukan kunang-kunang, halusinasi atau tipuan mambang hutan. Itu lampu dari rumah penduduk! 

Berharap mendapat tempat istirahat yang lebih layak, sang pangeran membulatkan tekad untuk mendatangi sumber cahaya yang ia lihat. Dengan hati-hati ia mendekat, dan tibalah ia di halaman rumah sang putri. Namun setelah masuk halaman, beberapa orang berbadan tegap tiba-tiba muncul dari dalam kegelapan menghadangnya. Para pengawal sang putri bersiaga, siap mempertaruhkan nyawa demi melindungi putri dari raja dan ratu yang mereka hormati.

Legenda Putri We Tadampali, Asal Usul Wajo

Melihat pangeran membawa senjata, mereka tak memberi kesempatan sang pangeran untuk mendekat bahkan mencoba mengusir. “Aku tidak mencari masalah, aku hanya ingin beristirahat,” katanya dengan nada geram menahan lelah. Tetapi para pengawal tak menggubrisnya, justru merapatkan sikap waspada, dan pertarungan tak terelakkan.

Pangeran yang terbiasa dihormati tak terima diusir tanpa penjelasan. Rasa heran pangeran belum habis saat ia terpaksa melawan dengan kekerasan terhadap para pengawal sang putri yang mencoba mengusirnya.

Sang pangeran semakin bertanya-tanya, jika rumah itu dihuni warga biasa mengapa ia tidak diizinkan memasukinya padahal ia sudah meminta izin sebaik-baiknya. Dan mengapa ada pengawal-pengawal yang sulit ia taklukkan, kalaupun prajurit pastinya mereka bukan prajurit biasa, tapi prajurit pilihan dengan keahlian bela diri di atas rata-rata.

Lelah karena berburu dan tersesat membuat sang pangeran tidak ingin berlama-lama, ia mengungkap identitasnya dan menyampaikan maksudnya hanya ingin menumpang beristirahat tanpa maksud jahat.

Sang putri sudah sejak awal memperhatikan keributan di halaman rumah tinggalnya, namun ia memilih untuk diam memperhatikan, karena baru kali ini ada tamu yang ia tidak kenal dan memaksa para pengawalnya menghunus senjata. 

Mengetahui tamunya adalah pangeran kerajaan sahabat ia kemudian memerintahkan pengawalnya agar mengizinkan pangeran masuk. Dengan suara halus namun tegas. “Izinkan dia masuk. Tak pantas kita menolak orang yang meminta pertolongan.”

Tatapan pertama mereka pun terjadi diam tapi hangat, malu tapi penuh tanda tanya. Pangeran tertegun: dari cara bicara dan pakaian, perempuan itu jelas bangsawan. Namun apa yang membuat seorang bangsawan tinggal di hutan terpencil ini?

Pesan Cinta dan Senjata Pusaka

Pangeran tertegun. Ia tahu dari tutur kata dan cara bicara serta pakaian yang dikenakan, perempuan di depannya tentu bukan rakyat biasa, terlebih kehadiran beberapa pengawal bersenjata masih terus mengawasinya dengan siaga. Setelah meminum hidangan yang dipersilahkan, pangeran bertanya sesopan mungkin sambil menahan gejolak rasa penasaran dalam hatinya.

"Boleh aku tahu, siapakah tuan rumah yang sudah berbaik hati memperbolehkan aku yang tersesat ini untuk masuk, dan menghidangkan minuman herbal hangat penghilang lelah ini?".

Sang pangeran tidak menahan diri untuk sengaja membalas tatapan tajam dari balik kerudung. Dari cara duduk, logat nada bahasa, motif tenunan selendang kerudung penutup wajah dan jenis kain sarung yang dikenakan lawan bicaranya sang pangeran tahu yang ia hadapi adalah seorang perempuan bangsawan dari negeri Luwu.

Tergagap sang pangeran tidak menduga lawan bicaranya menjawab pertanyaan dengan menyodorkan senjata pusaka yang berbalut sulaman panji bendera kerajaan. Sadarlah ia sedang berhadapan dengan salah satu keluarga inti kerajaan yang termasyur karena memiliki raja yang adil dan bijaksana.

Tanpa panjang basa-basi pangeran kemudian mengungkapkan maksud untuk bisa sekadar menumpang beristirahat dan akan segera kembali mencari rombongannya pada esok pagi.

Lawan bicaranya hanya mengangguk lalu meminta salah satu pengawal yang berjaga untuk mengiringi pangeran ke luar.

Malam itu, pangeran dijamu makan malam dan diberi tempat beristirahat. Setelah membersihkan diri, ia terlelap, meski bayangan wajah tuan rumahnya terus menari di benaknya.

Pagi hari, sang putri sendiri yang menemaninya sarapan dan memberi bekal perjalanan. Ada kesunyian manis di antara mereka, seolah kata-kata tak perlu diucapkan. Dengan berat hati sang pangeran segera kembali masuk ke hutan dan mencari rombongannya.

Sekembalinya ke istana, sang pangeran tak bisa melupakan putri dari Akkotongeng itu. Anre Guru Pakkannyareng, penasihat kerajaan, yang ikut menemani pangeran saat berburu dapat memahami gelisah hatinya, menyarankan agar ia meminta restu kepada ayahandanya agar meminang sang putri pujaan hatinya.

Raja Bone, ayahandanya, tersenyum bijak. “Maksud baik belum tentu diterima baik,” katanya lembut. “Temuilah dia kembali, dan sampaikan dengan hati yang tenang, jangan sampai ada salah paham.”

Ketika pangeran datang lagi, sang putri tak berani menjawab pinangan secara langsung. Ia tahu tidak bijak menjawab pinangan itu tanpa sepengetahuan orang tuanya, ia paham betul keputusan itu bukan hanya soal cinta yang memenuhi dadanya, tapi juga masa depan dua kerajaan. Maka ia menyerahkan keris pusaka ayahandanya, sambil berkata pelan:

“Sampaikanlah maksud kakanda kepada ayah ibuku. Jika mereka menolak keris ini, berarti kita tidak ditakdirkan bersatu. Namun bila mereka menerimanya, jemputlah aku... dan aku akan mendampingi kakanda selamanya.”

Mendengar jawaban itu sang pangeran segera berpamitan untuk menemui ayah bunda sang putri. 

"Doakan agar Dewata SeuwaE PatotoE merestui perjalananku, dan saksikan bahwa 'orang yang terdampar' akan kembali dengan sambutan cinta dari semua orang yang merindukannya, karena ia yang menyambungkan dan mengantarkan aku, orang dari seberang menuju masa depan" ucap sang pangeran.

Cinta yang Menyatukan Dua Kerajaan

Dengan tekad bulat, pangeran segera menyiapkan rombongan kecil untuk berangkat menuju Malangke, pusat Kerajaan Luwu. Setiba di sana, ia disambut dengan penuh hormat sebagaimana sambutan utusan kerajaan sahabat. Saat Raja dan Permaisuri mendengar kabar bahwa putri mereka hidup dan telah sembuh, air mata haru pun mengalir.

Permaisuri mencium dan mendekap badik pusaka dari putrinya dengan mata berkaca dan tubuh gemetar. 

“Putriku menitipkan keris ini telah menitipkan pusaka ini kepada anda hai anak raja Bone, itu tanda bahwa ia telah menemukan orang yang ia percayai.”

Raja Luwu kemudian menghampiri dan memeluk pangeran. “Mari, kita jemput dia bersama. Mulai hari ini, engkau adalah anak kami juga.”

Maka berangkatlah rombongan kerajaan menuju Wajo. Di bawah rindangnya pohon bajo dan di tepi Sungai Akkotongeng yang gemericiknya seolah ikut bernyanyi, We Tadampali dan Pangeran Bone menikah, disaksikan dua kerajaan yang kini bersatu dalam cinta dan restu.

Refleksi We Tadampali: Laut Pengasingan di Dalam Diri

Kadang saya berpikir, barangkali setiap manusia punya “laut pengasingannya” sendiri masa di mana kita harus meninggalkan istana kenyamanan demi menemukan makna baru dalam kesendirian.

Seperti We Tadampali, mungkin kita tidak benar-benar dibuang. Kita hanya sedang disiapkan untuk sembuh, untuk tumbuh, dan untuk mengenali diri yang sejati.

Dari tanah asing, sang putri belajar kerendahan hati dan menemukan penyembuhan bukan dari tabib, melainkan dari alam. Dan dari kesendirian, ia menemukan cinta yang menyatukan dua dunia.

Mungkin, setiap dari kita juga akan menemukan “kerbau putih” tanda semesta yang menyembuhkan luka dan memberi arah. Karena sejatinya, setiap yang terdampar diberi kesempatan untuk menyambungkan—menghubungkan hati, keluarga, bahkan sejarah.

Dan ketika kita telah mampu menyambungkan sesuatu yang lebih besar dari diri kita, barulah kita benar-benar pulang.

Jejak Nama dan Kenangan

Kisah We Tadampali meninggalkan jejaknya di tanah Wajo.
Nama Tosora (dari tosore, “orang yang terdampar”) menjadi pusat pemerintahan Wajo tempo dulu.
Wilayah Majauleng dipercaya berasal dari kata maja oli, “berpenyakit kulit,” sementara Sakkoli dari sakke’ oli yang berarti “sembuh” atau “kulit yang pulih sempurna.”

Semuanya menjadi pengingat bahwa di balik luka selalu ada harapan, dan di balik pengasingan selalu ada jalan pulang.

Dewata SeuwaE PatotoE = merujuk pada konsep Tuhan Yang Maha Esa (Dewata SeuwaE) dalam kepercayaan asli masyarakat Bugis, yang juga memiliki gelar sebagai penentu takdir atau nasib (PatotoE).

Posting Komentar

No Spam, Please.