
Siang itu, suasana di Nasi Kebuli Basmati Risaldi 99 di Muarabakti, Babelan, terasa adem meski matahari Bekasi lagi terik-teriknya. Aroma rempah dan kambing panggang masih menggelayuti udara, bercampur dengan aroma kopi tubruk.
Ki Somad, baru saja menyeka mulutnya dengan tisu, tampak puas sekali. Di sekelilingnya, empat pemuda asyik dengan dunia mereka: Aman (guru IT), Umam (guru silat), Dicky Risaldi (pemilik kedai), dan Bisot (blogger).
"Alhamdulillah. Bener-bener dah, nasi kebulinya Dicky ini enggak ada lawan," puji Ki Somad, membuat Dicky tersipu.
"Ah, Ki Somad bisa aja. Rahasianya cuma satu, Ki," jawab Dicky sambil menyusun piring kosong. "Beras basmatinya fresh dan bumbunya enggak pakai ilmu black box, semua open source!"
Aman, guru IT, tertawa. "Istilah lu, Dick, open source! Tapi bener, Ki. Dari tadi saya pantau server perut saya, traffic-nya padat merayap, tapi enggak ada error sama sekali. Full 5G!"
Umam, yang selalu serius, ikut mencandai. "Kalian ini. Rezeki dari Allah kok diibaratkan teknologi. Harusnya bersyukur! Saya tadi makan, kerasa banget energinya, kayaknya tenaga dalam saya langsung naik satu tingkat. Habis ini sanggup dah saya latih jurus 'Kunyuk Melempar Buah' warisan Ki Wiro Sableng!"
Bisot, diam-diam sedang mengatur kamera HP-nya membidik dari beberapa sudut gelas kopinya yang masih berembun. "Oke, caption buat hari ini: 'Nasi Kebuli Risaldi: Bahan Bakar Penambah Stamina. Bikin server otak dan otot full kapasitas!'"
Ki Somad tersenyum dan menggeleng pelan melihat tingkah Bisot, lalu pandangannya beralih ke Aman. "Man, tumben lu dari tadi jiem bae. Biasanya pan elu yang paling rame ngomongin prompt AI sampe info chipset gadget terbaru."
Aman menghela napas, gesturnya berubah serius. "Begini, Ki. Tadi di madrasah, saya keganggu sama satu pertanyaan anak kelas tiga. Soal Burung Ababil. Saya jawab sesuai kurikulum, burung utusan Allah, bawa batu Sijjil yang panas. Tapi pas saya browsing lagi, kok makin banyak versi yang bilang: Ababil itu bukan nama burung, Ki."
Burung Ababil
Umam langsung menguatkan. "Nah, itu dia, Man. Udah sering gue bilang. Itu Ababil artinya berkelompok-kelompok atau berbondong-bondong, jadi dia tuh kata sifat bukan nama burung. Sifatnya bisa terbang dengan cepat dan bergerombol kaya squadron drone. Kesalahan kita nih, kita menyempitkan mukjizat Allah jadi satu jenis burung yang enggak ada. Risikonya nti dikira 'pepesan kosong' kalo kita maksa ababil itu nama burung."
Bisot mengangguk antusias. "Setuju sama Umam! Itu bahaya laten! Kita jadi sibuk nyari spesies burung yang emang gak ada. Nah, yang lebih menarik lagi, Man, ini baru saya baca di internet. Dia bilang batu Sijjil yang dibawa itu bukan batu biasa."
"Terus batu apaan?" tanya Dicky penasaran.
"Ada teori Penafsiran Rasionalis yang mengaitkannya sama ilmu virologi dan geologi. Batu Sijjīl itu ditafsirkan sebagai virus airborne wabah Justinian yang konon merebak di sana waktu itu, ada juga yang bilang itu batuan/logam panas dari ledakan meteor, ada juga yang bilang itu batu dari pecahan gunung api purba di Yaman yang meletus! Batu vulkanik, terbang seperti burung, melesat cepat dan panas. Letusan gunung ini melontarkan pecahan batu sejauh puluhan kilometer, dan ajaibnya mendarat di pasukan gajahnya Abraha," jelas Bisot.
Aman mengerutkan kening, lalu melanjutkan dengan nada hati-hati. "Nah, ini malah bikin saya mikir lagi. Kalau teori virus udah kebangetan jauh, males mikirinnya. Kalau teorinya batuan vulkanik dari Yaman, logikanya, kalau batu itu terbang sekian kilo meter dari Yaman, itu mungkin saja. Tapi ada risiko tafsir lanjutan yang lebih ekstrem lagi. Berapa jarak Yaman ke Mekkah?, ujung-ujungnya nanti kepikiran jangan-jangan kejadiannya bukan di Makkah yang sekarang! Logikanya kalau batuan dari Yaman bisa menempuh jarak sejauh itu dan menghancurkan target di Makkah, lokasi itu harusnya lebih dekat ke Yaman, efeknya nanti keyakinan kita selama ini tentang lokasi kejadian di sekitar Ka'bah bisa jadi salah, walaupun dalam surah tidak menyebutkan lokasi, tapi tafsir ulama kan itu kejadiannya di saat tentara gajah mengepung ka'bah di Mekkah."
Wajah Umam langsung memerah. "Subhanallah! Jangan begitu, Sot, Man! Itu sudah melemahkan keimanan pada nash (teks) yang jelas! Itu namanya Penafsiran Rasionalis Ekstrem! Mereka mengganti mukjizat Allah dengan geologi! Kita menganggap Ṭairan (burung) sebagai kiasan, dan Sijjil sebagai batu vulkanik dari gunung meletus, hanya untuk menghindari kenyataan bahwa Allah itu Maha Kuasa!"
Umam menggebrak meja dengan tangan yang biasa dipakai buat jurus Gedoran Gledeg. "Kalo semua mau dirasionalisasi, nanti kisah Nabi Musa membelah laut dibilang cuma kebetulan air surut efek sebelum tsunami? Cocoklogi namanyah!."
Ki Somad segera menenangkan. "Sabar, Mam. Jangan sampai server emosi lu overheat. Dicky, tambah kopi buat Umam, yang kentel. Biar adem dikit."
"Siap Ki!" jawab Dicky segera menuju gerobog pantry.

Batu Sijjil
Ki Somad menghisap dalam kretek sambil memandangi teman kongkonya. "Aman, Bisot, Umam, dengerin baik-baik. Semua teori itu menarik, enggak salah juga. Karena tugas orang berakal itu ya mikir. Tugas sarjana itu ya meneliti, termasuk yang terakhir tentang Inskripsi Murayghān yang katanya menjadi 'sumber lain' yang mencatat serangan pasukan Abrahah."
"Tapi," lanjut Ki Somad dengan suara tenang dan dalam, "kalo kita terlalu fokus pada Bagaimana (apakah batu vulkanik, meteor, atau wabah virus), kita melupakan Mengapa dan Siapa."
Ki Somad memandang Umam dan Bisot bergantian. "Mam, benar, kita harus jaga makna harfiah dan mukjizat. Sot, Man, benar, batuan vulkanik atau meteor bisa menjelaskan daya hancur yang luar biasa seperti daun-daun yang dimakan ulat sampai berlubang-lubang. Tapi lihat lawannya! Abrahah itu adi daya di zamannya. Dia bawa teknologi militer yang paling kuat saat itu (gajah). Dia ngebawa kesombongan dan kekuatan duniawi."
"Apa yang Allah kirim? Burung-burung kecil (Ṭhairan), yang datang berbondong-bondong (Ababil). Inti ceritanya bukan pada apakah itu burung atau apa, apalagi nama burungnya, dan juga bukan pada komposisi atau hakikat batu (Sijjil) itu, tapi pada Perbandingan Kekuatan."
"Allah menunjukkan, bahwa seluruh kekuatan Abrahah, sehebat apapun logistiknya, bisa dihancurkan oleh makhluk sederhana yang diutus-Nya. Ini adalah bukti Kekuasaan Absolut Allah menghancurkan kesombongan dan melindungi rumah-Nya."
"Kalau kita sibuk mengubah Sijjil jadi virus, atau mengubah lokasi kejadian di Wadi Muhassir dekat Makkah ke dekat Yaman atau lokasi lain hanya untuk menyesuaikan teori geologi, maka kita sudah melakukan kesalahan fokus. Kita membuang waktu dan energi dengan Penafsiran Rasionalis Ekstrem yang justru membuat kita lupa pada pesan utamanya."
Kita membuang waktu dan energi dengan Penafsiran Rasionalis Ekstrem yang justru membuat kita lupa pada pesan utamanya
Ki Somad tersenyum. "Jadi, daripada kita pusing dengan perdebatan apakah batu Sijjil itu meteor atau batuan dari gunung vulkanik, mari kita ambil hikmah sejati dari Surah Al-Fil."
"Surah itu mengajarkan kita bahwa kesombongan dan kezaliman pasti akan binasa, dihancurkan oleh hal-hal yang paling tidak kita duga. Itu adalah bukti historis dan landasan teologis bagi kita untuk selalu bertawakal, tahu bahwa sehebat apa pun ancaman musuh, Allah sanggup menghancurkannya dengan misterius bahkan dengan cara yang paling unik."
"Fokuslah pada makna kekuasaan Allah daripada jenis dan nama spesies burung. Bukankah lebih tenang hati kita jika mengetahui bahwa iman kita dijaga oleh kekuatan yang mampu mengirimkan sepasukan burung kecil untuk menghancurkan pasukan gajah besar di zamannya?"
Aman, Umam, Bisot, dan Dicky mengangguk, hati mereka kembali tenang. Diskusi mereka selesai, meninggalkan refleksi yang lebih dalam daripada sekadar rasa kenyang setelah menyantap Nasi Kebuli. Di kedai yang sederhana di Muarabakti, mereka menemukan kebijaksanaan di tengah perdebatan antara teks suci dan ilmu pengetahuan modern.
Ki Somad Merenung
Ki Somad menyandarkan punggungnya ke kursi kayu yang sudah usang, mengamati Dicky yang sibuk membersihkan meja. Aroma kopi yang menenangkan kini terasa semakin dominan. Keramaian siang sudah mereda, menyisakan keheningan yang ia nikmati.
Dalam batinnya, ia merenung. "Dasar Somad, Somad... sudah tua begini masih saja sering lupa. Aku tadi sibuk menasihati para pemuda itu agar fokus pada Kekuasaan Allah daripada masalah burung dan Sijjil. Tapi, apakah aku sendiri sudah benar-benar menerapkan itu?"
Ia memejamkan mata sejenak. "Setiap kali masalah datang, bukannya langsung ingat pada pasukan burung yang mengalahkan pasukan gajah, aku malah sibuk mencari solusi logis yang lima hari baru ketemu. Aku sibuk jadi Abrahah, mengandalkan kekuatan akal dan logistik sendiri, daripada menjadi Ka'bah, yang hanya berserah diri dan menunggu perlindungan datang dari Yang Maha Kuasa." Ia tersenyum getir.
"Ternyata, kisah burung lawan gajah ini bukan cuma pelajaran buat mereka, tapi juga teguran keras buat hati yang mulai sombong dan melupakan mukjizat. Ya Allah, jangan sampai aku menjadi tua yang justru semakin jauh dari keimanan pada hal-hal yang tidak terlihat."
Ia menghela napas panjang. "Satu surah kecil, hikmahnya sebesar langit. Cukup bagi aku untuk tahu bahwa Dia sanggup, sisanya... biarlah menjadi urusan-Nya."