
Matahari sudah agak condong, menyisakan hawa lengket khas Babelan di halaman Kantor Kecamatan. Di bangku plastik dekat gerobak nasi goreng jengkol langganan, Ki Somad, dengan sarung kotak-kotaknya, sudah asyik menyeruput kopi hitam yang pahit.
Tepat di sebelahnya, duduk Aman, guru muda Madrasah dengan kacamata bingkai tebalnya, yang dari tadi kelihatan gelisah membolak-balik layar ponsel. Raut wajahnya tampak ditekuk, seperti sedang memikirkan masalah negara, padahal mungkin cuma urusan silabus.
Tak lama, Udin, si Juragan Cabe dari Pasar Babelan yang badannya selalu enerjik dan cekatan, datang sambil menggerutu soal harga bawang yang tak kunjung stabil. "Assalamualaikum, Ki. Alhamdulillah dah dapet tempat adem," sapa Udin, langsung pesan kopi susu.
Di belakangnya, Aris, montir pemilik bengkel motor yang cuek tapi pikirannya tajam, ikut nimbrung. Sambil memilih tempat duduk, Aris menyenggol seorang pemuda yang baru datang, Bisot, si blogger kampung yang selalu update dengan gadget terbarunya. Bisot tersenyum minta maaf tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
"Eh, Kong Bisot! Baru keliatan. Dari mana aja lu, Kong? Nempel mulu sama hape kayak amplop sama perangko," canda Udin.
Bisot cengengesan. "Waalaikumsalam. Abis ngurusin konten, Din. Harus update terus biar nggak dibilang ketinggalan zaman. Ki Somad, mohon izin ya, saya mau duduk di sini. Sama, mau minta izin juga. Obrolan Ki Somad ini kan selalu dalem, saya mau catat, buat bahan konten kecerdasan emosional di blog saya. Boleh ya, Ki?" Bisot mengeluarkan stylus dan membuka aplikasi catatan digitalnya.
Ki Somad tersenyum maklum. "Silakan, Bisot. Catat saja. Mudah-mudahan ada manfaatnya buat pembaca kamu, biar nggak cuma scroll-scroll doang kerjanya."
"Gimana, Man? Dari tadi kayaknya serius amat. Mukanya kusut kayak cabe keriting musim kemarau," ulang Udin, kembali ke topik awal.
Aman menarik napas panjang, kacamata melorot sedikit. "Ini, Din, Ris, Ki. Saya lagi baca-baca, nemu artikel. Tentang orang-orang yang katanya punya kecerdasan emosional (EQ) tinggi, tapi justru sering banget merasa kesepian. Kan aneh, ya?"
Aris, yang baru saja duduk, langsung nyengir. "Lha? Logikanya di mana, Man? Bukannya kalau EQ tinggi itu pinter baca situasi, pinter gaul? Masa iya kesepian? Itu mah kurang nongkrong aja kali, Man. Kurang selfie sama followers."
"Nah, itu dia masalahnya, Ris," sela Aman, nadanya agak tegang. "Artikel ini bilang, orang-orang ini tuh ibaratnya punya 'Kutukan Pengetahuan' (The Curse of Knowledge). Mereka terlalu peka. Kayak scanner ruangan. Perubahan nada bicara dikit, balasan chat telat dua menit, atau tatapan mata yang agak beda, buat mereka itu udah sinyal bahaya."
Udin mengerutkan dahi sambil memegang gelasnya. "Waduh, ribet amat hidupnya. Berarti dia terlalu overthinking dong, Man? Segala dipikirin. Mau tidur mikirin utang, mau makan mikirin lalat." Bisot dengan cepat mengetik di gadgetnya, sesekali tertawa kecil dengan candaan Udin.
"Bukan sekadar overthinking, Din. Ini yang seru," timpal Aman, matanya berbinar, mencoba meyakinkan teman-temannya. "Psikologi bilang, ini namanya Hipervigilansi."
Ki Somad, yang sedari tadi diam menikmati kopinya, baru angkat bicara, suaranya pelan tapi mengikat perhatian.
"Hiper... apaan, Man? Kedengarannya kayak nama penyakit aja," Ki Somad tersenyum tipis. Bisot mengangkat kamera hape-nya seolah merekam momen itu.
"Hipervigilansi, Ki," jelas Aman. "Intinya, otak mereka itu selalu dalam mode waspada berlebihan atau mode siaga tinggi, nyari potensi ancaman emosional. Kata artikelnya, ini respons bertahan hidup, sering berakar dari masa kecil yang lingkungannya nggak stabil. Jadi, peka itu bukan pilihan, tapi mekanisme pertahanan."
Aris menanggapi cepat, nadanya mulai menunjukkan ketidaksetujuan. "Ah, trauma masa lalu melulu. Semua-semua dibawa ke trauma. Kalau saya bilang, itu cuma orang kurang kerjaan aja. Kerja saya di bengkel, kalau saya ngeliatin detail baut karburator yang beda dua milimeter, itu namanya profesional. Kalau orang lain, ya itu cuma bikin pusing sendiri, Man. Mendingan fokus aja sama kerjaan, daripada mikirin kenapa chat dibalas cuma pakai stiker."
Antara Logika Mekanik dan Kepekaan Emosional
Udin, sebagai penjual bumbu yang harus jeli sama pergerakan harga, mendukung Aris. "Bener, Ris. Kalau kita di pasar, kalau ngeliatin gerak-gerik orang lain terus, ya bisa-bisa kecopetan. Kita harus fokus jual-beli, ikhtiar cari rezeki yang halal. Kalau mikirin perasaan orang mulu, kapan dagangan laku? Itu mah namanya terlalu cengeng jadi orang!"
Aman merasa terdesak, wajahnya memerah. "Tunggu dulu, Din, Ris! Bukan masalah cengeng atau kurang kerjaan! Ini soal otak yang terprogram. Mereka nggak bisa santai karena otak mereka bilang, 'WASPADA! BAHAYA MENGINTAI!' Kesepiannya muncul karena mereka sulit merasa aman untuk jadi diri sendiri. Mereka terus-terusan mengurai kode, takut salah, takut menyakiti, takut disakiti. Jadi, mereka keep distance."
"Contohnya gimana, Man?" tanya Aris, mulai tertarik. Udin dan Bisot ikut mendekat.
"Contohnya kayak gini," jawab Aman. "Misalnya kita lagi ketawa-ketawa ngobrol di sini. Tiba-tiba dia fokus sama salah satu dari kita mukanya berubah sedikit, padahal bisa jadi dia lagi mikirin besok mau presentasi bahannya belom siap. Nah, orang yang hipervigilan ini langsung berpikir, 'Waduh, apa dia tersinggung sama omongan saya ya? Ada yang salah dari saya gak ya?' Mereka memutar ulang interaksi di kepala mereka, bukan karena nggak percaya diri, tapi karena mereka sibuk menganalisis yang tidak terucapkan. Itu melelahkan, Ris, Din. Kelelahan emosional."

Ikhtiar dan Tawakal
Melihat diskusi memanas, Ki Somad tersenyum tipis. Dikeluarkannya rokok kreteknya dan dihirupnya dalam-dalam. Asapnya mengepul perlahan, seolah memberikan jeda yang bijak. Bisot tak ketinggalan, ia ikutan merokok sambil sesekali melirik cewek yang lewat.
"Nah, itu dia. Semua ada benarnya," ujar Ki Somad, menengahi dan mendamaikan suasana. "Aris benar, kalau fokus pada hal yang penting, kita bisa profesional dan nggak pusing. Udin benar, ikhtiar dan nggak cengeng itu penting dalam hidup. Tapi, Aman juga benar. Fenomena ini nyata. Namanya memang beda-beda: bisa disebut kecemasan berlebihan, bisa jadi hasil dari trauma, atau bisa juga jadi efek samping dari kecerdasan emosional yang terlalu tajam."
Ki Somad mencondongkan badan ke depan. "Intinya begini. Allah ngasih kita otak buat mikir, tapi nggak buat menyiksa diri sendiri. Orang yang hipervigilansi itu ibarat prajurit yang terus-terusan jaga pos padahal perang sudah selesai. Dia lupa buat bertawakal setelah berusaha."
"Betul, Ki," potong Aman, antusias. "Artikelnya juga bilang, cara mengatasinya itu dengan memperkuat tawakal. Meyakini rezeki sudah dijamin, dan fokus pada hal positif."
Ki Somad mengangguk, sorot matanya menenangkan. "Itu kuncinya. Nabi udah ngajarin kita, 'Ikatlah untamu, baru bertawakal.'"
Udin mendongak. "Maksudnya, Ki?"
"Itu hadis, Din," jelas Ki Somad santai. "Ada seorang sahabat tanya ke Nabi Muhammad SAW, 'Apakah unta saya saya lepas saja, lalu saya tawakal kepada Allah?' Nabi jawab, 'Ikatlah untamu, kemudian bertawakal!'. Apa artinya? Ikhtiar dulu, usaha dulu sekuat tenaga, cari rezeki, periksa baut, jaga madrasah biar ilmunya manfaat. Itu 'mengikat unta'. Setelah itu, serahkan hasilnya, serahkan kekhawatiranmu, serahkan ketakutanmu kalau-kalau besok ada masalah. Itu 'bertawakal'."
Ikatlah untamu, kemudian bertawakal!
Ki Somad memandang Aris dan Aman bergantian. "Buat yang overthinking atau hipervigilansi, 'mengikat unta' itu bisa berarti: lakukan tugasmu dengan baik, fokus pada realitas saat ini, jangan sibukkan diri dengan prediksi yang belum tentu kejadian. Jangan terus-terusan memindai ancaman (hipervigilansi yang merusak). Kalau sudah ngobrol sama kawan, ya sudah, anggap selesai, nggak usah diputar ulang di kepala, menebak-nebak apa yang gak diungkapkan orang lain. Kita berusaha maksimal jadi orang baik saja, biar Allah yang menentukan penilaian di hati orang lain."
"Dan buat yang masih merasa cemas," lanjut Ki Somad, suaranya makin dalam. "Ingatlah nasihat indah dari sahabat Ibnu Mas'ud, tentang obat jiwa yang gelisah. Pertama, datangi majelis Qur'an dengan hati khusyuk. Kedua, hadiri majelis dzikir yang bisa menenangkan hati. Ketiga, hadiri majelis ilmu yang mengingatkan kita tentang Allah. Kalau tiga ini nggak mempan juga, kata Ibnu Mas'ud, 'Mintalah kepada Allah hati yang lain, karena hati yang kau pakai itu bukan hatimu.' Maksudnya, hati itu sepenuhnya milik Allah yang membolak-balikkan. Jadi, pasrahkan kepada-Nya. Jangan jadi hakim atas takdir atau perasaan orang lain."
Tawakal Total
Bisot menghentikan jarinya, terdiam sejenak, lalu mencatat poin-poin nasihat Ki Somad dengan wajah serius. Udin, Aris, dan Aman juga terdiam, mencerna kata-kata Ki Somad. Ketegangan sebelumnya mencair berganti rasa tenang.
Aris menggaruk kepalanya. "Berarti, orang yang EQ tinggi tapi kesepian itu, cuma butuh 'mengikat unta' secara mental ya, Ki? Usaha buat tenang, terus tawakal total."
"Tepat," jawab Ki Somad. "Dia peka, itu karunia. Tapi jangan biarkan karunia itu jadi penjara. Pelepasan beban sejati itu datang setelah kita yakin, kalau sudah berusaha maksimal, sisanya ada dalam genggaman Yang Maha Kuasa. Kayak kata Hadis: 'Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung yang pergi pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore dalam keadaan kenyang.' (HR. Tirmidzi). Burung itu pergi, itu ikhtiar. Dia kembali kenyang, itu tawakal."
Aman tersenyum lega. "Alhamdulillah. Jadi intinya, peka boleh, tapi jangan sampai jadi waspada berlebihan yang bikin kita jauh dari rasa aman. Kita perlu mengaktifkan hipervigilansi yang positif, yaitu kewaspadaan yang seimbang, bukan kecemasan yang melumpuhkan."
Ki Somad tertawa kecil. "Betul, Man. Sekarang, pesan nasi goreng jengkolnya. Kalau nggak dimakan, nanti overthinking lagi mikirin berkah rezeki yang nggak jadi masuk perut!"
Semua tertawa, termasuk Bisot yang buru-buru memotret gerobak nasi goreng jengkol sebagai ilustrasi blog-nya. Cerita di halaman Kantor Kecamatan Babelan itu akhirnya ditutup dengan aroma nasi goreng jengkol yang wangi, meninggalkan pelajaran berharga tentang menyeimbangkan kecerdasan emosional yang tajam dengan kekuatan tawakal yang menenangkan jiwa, melawan belenggu hipervigilansi yang melelahkan.