
Minggu siang, salah satu grup WhatsApp yang biasanya ramai dengan obrolan ringan mendadak terasa berbeda. Percakapan mengalir ke topik yang membuat saya langsung menaruh perhatian: rencana awalnya membuat kelas belajar menulis, khususnya belajar menulis caption untuk foto, tapi akhirnya obrolan jadi panjang.
Pemantik diskusinya adalah Kak Armin Hari, seorang penulis dan juga fotografer. Dalam sesi santai itu, ia mengajak kami untuk membayangkan satu skenario: seseorang kehilangan arlojinya, lalu arloji itu ditemukan orang lain. Kalau pemiliknya ingin mengklaim, ia harus mampu menjelaskan ciri khas dari arloji itu, bukan sekadar menyebut merek, tapi menjelaskan detail yang hanya diketahui oleh pemilik sejati.
Pertanyaan-pertanyaannya mengalir: “Apa mereknya? Di mana letak logo? Apakah logonya berada di tengah atau agak ke bawah? Ada angka tertentu di belakangnya? Apa warna buckle-nya? Ada berapa lubang pada tali?”.
Awalnya terdengar seperti permainan logika. Tapi semakin didalami, terasa bahwa ini adalah latihan kepekaan. Sebuah cara untuk mengukur: seberapa dalam kita benar-benar mengenali sesuatu, bahkan yang sangat dekat dan sering kita gunakan.
Detail Adalah Napas Cerita
Pesan dari ilustrasi arloji itu jelas: jangan mudah merasa tahu (sotoy/sotta) jika belum benar-benar mengenali detailnya. Bahkan terhadap barang milik sendiri, kadang kita tidak sadar betapa banyak hal kecil yang luput dari perhatian. Maka saat menulis, apalagi menulis berdasarkan pengamatan atau pengalaman, penting untuk tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan.
Kak Armin menekankan, dalam dunia fotografi dan kepenulisan, akurasi dan sensitivitas terhadap detail adalah modal utama. Fungsi utama fotografi, menurutnya, ada dua: sebagai seni melihat dan sebagai dokumentasi. Maka saat dua dunia ini (fotografi dan kepenulisan) digabungkan, tantangannya jadi berlipat. Kita bukan hanya dituntut merekam apa yang kita lihat melalui kamera, tapi juga menceritakan apa yang dilihat dengan tulisan yang jernih.
Menulis caption pun tidak bisa asal ketik. Latihan dasarnya dimulai dengan rumus sederhana: 5W1H, lalu tambahkan satu kalimat penunjang. Bukan hanya untuk memenuhi struktur, tapi untuk menghindari jebakan asumsi dan opini pribadi yang belum tentu berdasar.
Banyak dari kita sering menulis caption yang lebih penuh perasaan daripada informasi. Padahal, jika ingin menyampaikan cerita dengan baik, informasi justru harus datang lebih dulu. Opini bisa menyusul, tapi setelah pembaca memahami konteks yang utuh.
![]() |
(pexels.com/Ena Marinkovic) |
Ketika Kata Sifat Memangkas Makna
Salah satu jebakan umum dalam menulis adalah penggunaan kata sifat yang terlalu banyak dan terlalu cepat. Kata “indah”, “unik”, atau “mengagumkan” memang terdengar memikat, tapi sebenarnya berisiko mengaburkan makna. Pasalnya, kata sifat bersifat subjektif — satu kata bisa ditafsirkan berbeda oleh tiap pembaca.
Kak Armin memberi contoh sederhana tapi efektif. Daripada menulis “dia cantik”, lebih baik uraikan deskripsi yang menunjukkan kecantikan itu. Misalnya, “rambut hitam legamnya jatuh menjuntai hingga ke bahu, berpadu dengan kulit sawo matang yang bersih dan senyum tipis yang terbit pelan.” Dengan begitu, pembaca bisa merasakan sendiri maknanya, bukan sekadar menerima label dari penulis.
Dalam tulisan feature, hal ini sangat krusial. Karena tulisan jenis ini tidak mengandalkan data mentah seperti laporan, tapi mengandalkan pengalaman dan pengamatan. Di sinilah deskripsi mengambil peran penting sebagai jembatan antara pengalaman pribadi dan pemahaman pembaca.
Tulisan jenis ini bisa dinikmati kapan saja, bahkan bertahun-tahun setelah momennya lewat. Tidak terikat waktu, tapi tetap relevan karena isinya kuat. Namun tentu saja, perlu usaha untuk memilah isi dan “bumbu” agar tetap terjaga konteks jurnalistiknya.
Dari Kue Pawa ke Struktur Cerita
Untuk memperjelas bagaimana sebuah ide bisa dikembangkan menjadi tulisan yang informatif, Kak Armin memberikan contoh: pembuatan kue pawa telur asin. Contoh ini bukan soal kuliner semata, tapi bagaimana struktur berpikir dan pendekatan bisa memengaruhi bentuk cerita foto.
Kita bisa menyusun alur cerita foto dengan pendekatan how: bagaimana kue pawa telur asin dibuat. Misalnya, menjelaskan proses pembuatan, urutan langkah, hingga teknik yang digunakan agar kuning telur asinnya tetap utuh.
Lalu kita buat tema dengan menggunakan pendekatan why: mengapa kue pawa menggunakan telur asin, bukan telur biasa? Di sini kita masuk ke alasan historis, cita rasa, atau preferensi budaya. Apakah itu karena rasa gurihnya yang khas? Apakah ada pengaruh dari tradisi kuliner Tionghoa? Atau sekadar karena praktis dan mudah disimpan?
Kedua pendekatan ini membuka cara pandang berbeda terhadap satu objek yang sama. Ini adalah latihan penting dalam membuat cerita: belajar melihat satu hal dari berbagai sudut, dan memilih sudut yang paling tepat untuk konteks cerita kita.
Esai Foto: Alternatif untuk yang Malas Menulis Panjang
Bagi fotografer atau traveller yang merasa berat menulis panjang, Kak Armin menyarankan format esai foto atau cerita foto. Bentuk ini cukup efektif untuk menyampaikan pesan visual sekaligus menyisipkan narasi yang memperkuat makna.
Strukturnya sederhana: mulai dengan paragraf pembuka, lalu susun foto-foto sesuai alur yang diinginkan. Bisa berdasarkan urutan waktu (timeline), bisa juga berdasarkan logika visual: dari yang umum ke detail, atau sebaliknya. Kuncinya adalah konsistensi dan hubungan antar-foto.
Esai foto biasanya berfokus pada satu tema sentral. Sedangkan cerita foto cenderung menekankan alur runut kejadian sequential dari A ke Z. Keduanya sah-sah saja dipilih, tergantung tujuan dan gaya bercerita kita. Tidak ada yang salah dalam menyampaikan ide melalui karya. Jika ada yang tidak setuju, mereka bisa membalasnya dengan karya versi mereka sendiri, bukan dengan membungkam ide orang lain.
Kita Tidak Harus Hebat untuk Mulai
Dari semua yang disampaikan Kak Armin, saya belajar bahwa menulis bukan perkara gaya, tapi perkara perhatian. Perhatian terhadap lingkungan, terhadap detail, terhadap pengalaman pribadi yang sering kali kita abaikan karena merasa “tidak penting”.
Padahal, justru dari hal-hal sederhana itulah cerita yang kuat bisa muncul. Pengalaman naik kapal di pelabuhan kecil, obrolan dengan pedagang gorengan, atau bahkan kejadian nyasar ke jalan buntu saat hunting foto bisa menjadi tulisan yang berarti, asal diceritakan dengan jujur dan utuh.
Menulis tidak harus dimulai dengan ambisi besar. Tidak perlu langsung berpikir akan diterbitkan atau viral. Cukup jadikan sebagai kebiasaan mencatat, merekam, dan memaknai apa yang kita temui setiap hari.
Mari Kita Mulai dari Hal yang Dekat
Tulisan ini saya buat sebagai catatan pribadi, tapi siapa tahu bisa bermanfaat bagi kamu yang juga sedang belajar menulis, atau sekadar ingin mulai mencatat perjalanan hidup dengan lebih bermakna. Jangan menunggu mahir dulu untuk mulai. Justru dengan mulai, kita akan perlahan-lahan menjadi lebih mahir.
Menulis adalah cara untuk memahami — bukan hanya dunia luar, tapi juga diri sendiri. Maka mari kita belajar bersama. Dari satu foto, satu kalimat, satu cerita kecil. Karena dalam setiap cerita yang jujur, selalu ada ruang untuk tumbuh.
Dan untuk dicatat, detail itu bukan beban. Ia adalah pintu masuk menuju cerita yang lebih dalam dan lebih berarti.
Ahad, 27 Juli 2025.