Ngopi di Kedai Nasi Kebuli Kongko Soal Harga Diri

Obrolan hangat di Kedai Nasi Kebuli Risaldi 99, Ki Somad dan kawan-kawan ngopi santai bahas beda harga diri dan gengsi dengan santai dan filosofis.
Ngopi di Kedai Nasi Kebuli Kongko Soal Harga Diri

Sore itu, angin terasa sejuk di Muara Bakti Babelan, berembus masuk lewat pintu besi yang dibiarkan terbuka. Kedai Nasi Kebuli Basmati Risaldi 99 milik Bang Dicky Risaldi tampak ramai. Aroma daging kambing muda yang baru keluar dari panci besar bercampur dengan wangi kopi hitam panas. Suasana sederhana tapi hangat, bikin siapa pun betah duduk berlama-lama.

Di pojok kedai, Ki Somad sudah duduk dengan ciri khasnya: segelas kopi pahit dan sebatang kretek. Di depannya, Bisot yang juga sedang ngopi tertawa-tawa kecil, asik ngobrol dengan Ki Somad.

Tak lama, masuklah Bang Aman, guru madrasah, dengan peci hitam masih menempel di kepalanya. Wajahnya tampak lelah (atau emang model mukanya suddah begitu dari sononya).

“Assalamualaikum…” sapanya.

“Waalaikumussalam,” jawab mereka serentak.

Bang Dicky keluar dari dapur sambil membawa nampan. “Wah, Aman! Sini duduk. Abis dari mana lo?”

Bang Aman menghela napas. “Abis ngantar keluarga check up di Klinik Bakti Keluarga. Lihat kedai lo rame, mampir deh. Sekalian pengen ngopi mbari nunggu yang berobat.”

“Pas banget! Kopinya baru mateng. Biar Ki Somad sama Bisot yang nemenin, tuh, dari tadi mereka udah nongkrong duluan,” sahut Bang Dicky sambil tertawa.

Mereka pun duduk satu meja, nasi kebuli dihidangkan, obrolan ngalor-ngidul dimulai.

Kisah Motor Kredit dan Gengsi

Obrolan ngalor ngidul tentang apa saja. Sambil menuangkan kopi, Bang Dicky tiba-tiba nyeletuk menyambung cerita.

“Eh, saya pernah tuh nyicilin motor second bagus buat salah satu pegawai. Katanya buat ngojek pas libur kerja di sini. Saya pikir bagus kan, bisa nambah penghasilan. Tapi belakangan saya tau, motornya malah dipake anaknya sekolah. Alasannya? Malu naik motor doyok!”

Bisot ngakak. “Hadeh! Jadi motor ojek berubah jadi motor gengsi dong, Bang?”

“Ya gitu dah. Untungnya cicilan lancar, tiap bulan gue potong gajinya dua ratus ribu. Empat tahun lunas. Gue salut sama kedisiplinannya. Tapi tetep aja aneh. Demi gengsi bocah, dia bohong sama gue.”

Ki Somad menghembuskan asap kretek. “Nah, ini masalahnya. Banyak orang salah kaprah antara harga diri dan gengsi. Akhirnya bocah dimanja, orang tua makin berat hidupnya. Sayang anak boleh, tapi kudu paham didiknya juga.”

Beda Harga Diri dan Gengsi

Bang Aman ikut menimpali dengan suara tenang. “Saya setuju. Dalam Islam, harga diri itu disebut izzah atau muru’ah. Itu kehormatan yang dibangun dengan jujur, kerja keras, dan menjaga akhlak. Sementara gengsi cuma topeng. Rasulullah bersabda: Barangsiapa menjaga kehormatannya, Allah akan menjaganya. Barangsiapa merasa cukup, Allah akan mencukupkannya.”
Barangsiapa menjaga kehormatannya, Allah akan menjaganya. Barangsiapa merasa cukup, Allah akan mencukupkannya
Bisot nyelutuk lagi, “Wah, berat banget bahasanya Ustadz Aman. Jadi gengsi tuh ibaratnya kayak filter Instagram ya? Nampak kinclong, padahal aslinya zonk!”

Semua tertawa, suasana cair lagi.

Bang Dicky mengangguk, lalu menambahkan. “Dulu gue kemana-mana naik pick up bau kambing. Dipake ngangkut kambing ya wajar lah. Temen nanya, malu nggak? Gue jawab: ngapain malu, yang penting sampai tujuan. Dari orang tua gue, gue belajar: jangan gengsi dipiara, mendingan miara kambing, intinya hidup kudu bermanfaat jangan ngagul melulu.”

“Betul, Bang,” sambung Bang Aman. “Kalau bocah diajarin gengsi, jadinya lembek. Tapi kalau diajarin harga diri, dia bisa berdiri tegak meskipun hidup susah.”

Bisot Protes

Bisot yang biasanya bercanda, kali ini lebih serius. “Tapi Bang Aman, bukannya kalau anak dibiarin naik motor doyok, bisa bikin insecure alias minder? Anak sekolah sekarang kan kejam, suka nge-bully temennya yang nggak selevel. Itu bisa ngaruh ke mental anak, gak bagus buat perkembangan jiwanya.”

Bang Aman menggeleng. “Salah, Sot. Minder itu bukan karena motornya, tapi karena sejak kecil dia nggak ditanamkan harga diri. Kalau bocah ngerti nilai dirinya, dia nggak akan jatuh cuma gara-gara ditertawakan atau di-bully.”

Bisot menoleh ke Ki Somad. “Nah, gimana tuh Ki? Saya rasa orang tua juga nggak bakalan tega ngiat anaknya dihina.”

Ki Somad tersenyum tipis. “Betul, orang tua pasti nggak tega. Tapi kalau demi ‘nggak tega’, anak malah terbiasa lari dari kenyataan, itu yang bahaya. Gini aja, Sot: harga diri itu akar, gengsi itu bunga plastik. Akar bikin pohon tumbuh kokoh meski jelek di luar. Bunga plastik kelihatannya doang indah, tapi nggak pernah hidup. Bocah yang punya harga diri, bisa tegak meski diejek. Tapi kalau cuma gengsi, habis manis sepah dibuang.”

Obrolan mendadak hening. Kata-kata Ki Somad terasa nyantol di kepala.

Ngopi di Kedai Nasi Kebuli Kongko Soal Harga Diri

Filosofi di Meja Nasi Kebuli

Bang Dicky memecah keheningan. “Pegawai gue sering curhat, kalau ke mall suka disepelekan kalau keliatan buluk. Gue sendiri cuek aja. Ke mall paling cuma pake kaos tidur, sandal jepit. Lah, ngapain repot? Tujuan gue belanja, bukan show fashion.”

Bisot ngakak lagi. “Pantesan, Bang. Kalau ketemu abang di mall, saya kira lagi baru pulang nganter kambing!”

Mereka kembali tertawa, tapi kali ini dengan perasaan lebih ringan.

Ki Somad menghela napas. “Anak muda harus paham, harga diri itu nilai sejati. Gengsi cuma soal tampilan. Sibuk ngejar gengsi, kamu capek pura-pura. Pegang harga diri, hidupmu mungkin sederhana, tapi hatimu merdeka.”

Bang Aman mengangguk mantap. “Itu yang harus diwariskan lewat pendidikan anak zaman sekarang. Biar mereka tumbuh kuat, bukan rapuh karena gengsi.”

Bang Dicky menambahkan, “Kedai ini juga bukan buat gengsi. Gue cuma pengen orang kampung bisa makan enak dengan harga terjangkau. Kalau mau gengsi, gue bikin resto mewah di kota. Tapi buat apaan? Yang penting berkah meski cuma begini.”

Mereka saling berpandangan. Gelas kopi sudah kosong, piring kebuli tinggal sisa tulang kambing. Tapi obrolan itu meninggalkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kenyang: perbedaan antara harga diri dan gengsi.

Renungan Senja

Langit Muara Bakti perlahan berubah jingga. Angin membawa aroma tanah basah bercampur wangi kopi yang tersisa.

Ki Somad menghisap dalam kreteknya, menatap ke luar jendela. Dengan suara tenang ia berkata:

“Hidup jangan dibiasain cuma buat terlihat berharga, tapi belajarlah untuk benar-benar bernilai. Gengsi bikin kita sibuk jaga topeng, harga diri bikin kita kokoh meski sederhana. Kalian harus tahu bedanya. Kalau tumbuh dengan gengsi, mereka rapuh. Kalau tumbuh dengan harga diri, mereka kokoh, seperti pohon berakar kuat dan dalam.”

Bang Aman menunduk, seolah mengingat masa lalu. Bisot pun, yang biasanya banyak canda, ikut terdiam. Bang Dicky hanya tersenyum kecil.

Malam turun perlahan, kedai makin sepi. Tapi kata-kata Ki Somad gak ikut pergi. Ia menggantung di udara, jadi pengingat sederhana:

Gengsi itu fatamorgana. Harga diri adalah cahaya sejati. Yang satu mengikat, yang lain membebaskan.

Dan siapa pun yang ingin hidup merdeka, harus berani mengajarkan harga diri, bukan gengsi.



Posting Komentar

No Spam, Please.