Kata Ki Somad tentang Bendera One Piece di Indonesia dan Nepal

Obrolan hangat Ki Somad dan pemuda di Kedai Risaldi 99 soal bendera One Piece di Indonesia dan Nepal, simbol, momentum, dan amar ma’ruf nahi munkar.
Kata Ki Somad tentang Bendera One Piece di Indonesia dan Nepal

Sore itu hujan baru reda di Babelan. Jalanan basah berkilau, aroma tanah bercampur harum kambing muda dari dapur Kedai Nasi Kebuli Basmati Risaldi 99 Muarabakti. Kedai sederhana milik Dicky Risaldi, pemuda enerjik yang jago meracik nasi kebuli, kembali ramai oleh pelanggan yang mampir sekadar mengisi perut atau mencari suasana hangat.

Di pojok kedai, duduklah Ki Somad. Lelaki sepuh dengan sarung kotak-kotak dan peci miring itu selalu jadi pusat perhatian. Bukan karena wibawanya saja, tapi karena setiap ucapannya sering membuka mata para pemuda yang mendengar.

Tak lama, datang Bang Aman, guru madrasah muda yang cerdas dan penuh semangat. Ia masih mengenakan baju koko putih, membawa tas berisi kitab. Disusul Andi berjaket kulit hitam, pecinta alam sekaligus pemusik, dengan gitar di punggung. Lalu Bisot, lelaki paruh baya pecinta kopi hitam yang terkenal suka berkeliling kampung dan suka mengganggu anak-anak kecil.

Simbol Bajak Laut di Tengah Aksi

“Eh, kalian lihat berita demo kemarin?” tanya Andi sambil menaruh gitar di kursi. “Ada yang kibarin bendera One Piece di Indonesia dan Nepal. Luffy jadi simbol perlawanan. Keren, kan?”

Dicky yang sibuk menuang teh nyeletuk, “Halah, paling cuma gaya-gayaan. Masa lawan kezaliman kok pakai bendera Jolly Roger bajak laut? Kayak cosplay!”

Aman menggeleng. “Jangan sepelekan itu Bang Diki. Justru karena lahir dari budaya pop, simbol itu bisa lebih cepat menyentuh hati anak muda. Mereka lebih nyambung ke kebebasan Luffy daripada retorika pidato politik yang panjang dan gak nyambung.”

Andi menambahkan, “Benar tuh. Kru Topi Jerami itu solidaritasnya kuat. Mereka melawan tirani, saling dukung tanpa pamrih. Itu lebih hidup daripada tulisan-tulisan di buku pelajaran PPKn.”

Dicky mendengus. “Tapi tetap saja itu kartun. Realita nggak bisa diselesaikan dengan serangan Gear Fifth.”

Aman tersenyum tipis. “Justru di situlah kekuatannya. Simbol sederhana bisa jadi jembatan emosi. Pemerintah pun serba salah: mau larang kelihatan konyol, mau biarin malah makin viral.”

Bisot dan Konspirasi Kopi

Bisot yang sedari tadi menikmati kopi, tiba-tiba meletakkan cangkirnya agak keras. “Kalian ini gampang banget kagum! Jangan-jangan itu semua bukan murni gerakan anak muda. Bisa aja ada intel asing yang dorong simbol budaya pop biar generasi muda sibuk teriak, tapi lupa bikin solusi nyata. Itu taktik soft power!”

Aman menoleh serius. “Sot, nggak semua harus dianggap konspirasi. Kadang anak muda memang kreatif aja. Nggak selalu ada dalang asingnya.”

Bisot ngotot. “Jangan naif! Ingat Arab Spring? Awalnya juga dari simbol sederhana. Lama-lama ada campur tangan luar. Jangan-jangan bendera Luffy One Piece juga begitu.”

Andi menimpali sambil bercanda, “Sot, jangan-jangan nanti kamu bilang bendera tengkorak pakai peci juga agenda luar negeri?” Semua tertawa, tapi Bisot tetap serius. Suasana meja mulai panas, seperti api yang disiram bensin.

Ki Somad dan Momentum Shi

Ki Somad akhirnya menghela napas, lalu bicara dengan suara tenang. “Bray, kalian semua ada benarnya. Simbol memang bisa jadi pintu masuk pihak asing yang berkepentingan, tapi juga bisa jadi pemantik semangat tulus. Inilah yang disebut Sun Tzu dengan konsep ‘Shi’ (勢) alias momentum strategis.”

Semua terdiam, menunggu penjelasan lebih jauh.

Shi bukan cuma kekuatan fisik,” lanjut Ki Somad. “Tapi arah angin sejarah, situasi sosial, dan energi yang terkumpul. Kalau simbol bisa selaras dengan momentum itu, ia jadi kekuatan besar. Lihat bendera Luffy, ia bukan sekadar kain. Ia mewakili keresahan, solidaritas, dan keberanian. Maka, ribuan orang bisa bergerak bersama tanpa sadar mereka sedang mengikuti arus Shi.”

Bisot menatap tajam. “Jadi maksud Ki Somad, bendera itu jadi simbol perjuangan yang kuat karena pas dan sesuai momentum sosial, sesuai dengan aspirasi yang selama ini buntu?. Jadi kayak bendungan yang udah gak kuat nahan air, tinggal nunggu bendungan jebol, begitu jebol.. darrrrr semua tenggelam”

“Betul,” jawab Ki Somad. “Tapi ingat, momentum itu bisa diarahkan. Kalau tidak kita isi dengan nilai luhur, ia bisa liar, bahkan dipakai pihak luar. Itu yang kamu khawatirkan, Sot, dan itu wajar. Tapi justru di sinilah tugas kita: mengarahkan momentum itu agar tak menyimpang.”

Aman menyambung, “Berarti bukan soal menolak simbol, tapi bagaimana kita memberi makna dan mengarahkan sesuai tujuan awal, ya Ki?”

“Persis,” kata Ki Somad. “Islam mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar. Kalau pemuda pakai bendera Luffy, jangan buru-buru dicap boneka asing, itu sama saja meragukan perjuangan kaum muda. Tapi juga jangan larut dalam euforia. Isi momentum itu dengan ruh: peduli, berani, adil, dan membela yang lemah.”

Kata Ki Somad tentang Bendera Jolly Roger One Piece di Indonesia dan Nepal

Inspirasi, Waspada, dan Canda

Bisot akhirnya melunak. “Hmm, baiklah Ki. Terima kasih penjelasannya, meski saya masih curiga sedikit, tapi masuk akal juga. Kalau momentum itu kita isi dengan nilai baik, bisa jadi alat perjuangan.”

Aman mengangguk puas. “Itulah, Sot. Inspirasi boleh dari mana saja, tapi arah perjuangan kita sendiri yang tentukan.”

Inspirasi boleh dari mana saja, tapi arah perjuangan kita sendiri yang tentukan

Andi mulai memetik gitar, menyanyikan nada kecil. “Kalau kata Luffy, Jangan takut untuk bermimpi. Karena mimpi adalah tempat menanam benih harapan dan memetakan cita-cita. Kalau kata Ki Somad, cita-cita harus lurus dengan amar ma’ruf nahi munkar.”

Semua tertawa senang. Dicky menimpali, “Kalau gitu, habis ini bikin bendera baru aja: tengkorak pakai peci!”

Tawa pecah, suasana mencair. Namun di balik canda itu, masing-masing menyimpan renungan.

Langit di Babelan perlahan jingga. Kedai Nasi Kebuli Basmati Risaldi 99 makin ramai, tapi meja pojok itu tetap jadi saksi obrolan hangat. Diskusi tentang bendera One Piece di Indonesia dan Nepal ternyata bukan cuma soal anime atau demo. Ia berkembang menjadi percakapan tentang simbol, momentum strategis ala Sun Tzu, kekuatan ide, bahaya infiltrasi, dan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar.

Menjelang magrib, Ki Somad menutup dengan kalimat penuh makna:

“Simbol boleh datang dan pergi. Bendera bisa robek, jatuh, atau dilupakan. Tapi momentum"Shi" akan selalu ada. Kalau kita isi dengan amar ma’ruf nahi munkar, momentum itu jadi kekuatan yang tak tertandingi. Ingatlah, inti kehidupan bukan sekadar mengibarkan bendera, tapi menjaga hati agar tetap berani peduli dan menegakkan kebenaran.

Hening sejenak menyelimuti meja. Kopi sudah tandas, gitar berhenti berdenting, tapi kata-kata Ki Somad menggantung lama di udara. Seolah-olah, ada bendera tak kasatmata yang berkibar di dada mereka, bendera perjuangan yang tak lagi bergantung pada anime atau simbol lainnya, melainkan pada hati yang tahu arah dan tujuan yang menunggu momentum untuk mendorong dengan kuat aspirasi perubahan ke arah yang lebih baik.



Posting Komentar

No Spam, Please.