"Di Balik Bendera Bajak Laut: Sebuah Seruan yang Tak Pernah Didengar

Kadang, dalam dunia yang terlalu bising dengan politik dan formalitas, suara rakyat justru terdengar lewat cara-cara tak biasa: Bendera Bajak Laut!

"Di Balik Bendera Bajak Laut: Sebuah Seruan yang Tak Pernah Didengar

Di sebuah gang kecil di pinggiran kota, dua anak remaja berdiri menatap tiang bambu yang mereka pasang sendiri. Di ujungnya, berkibar dua bendera—merah putih di atas, dan di bawahnya, bendera hitam dengan lambang tengkorak berjerami. Bendera bajak laut, ikon dari anime terkenal One Piece.


Mereka bukan pengkhianat. Mereka tidak sedang mengganti identitas bangsanya. Mereka hanya ingin menyampaikan sesuatu yang mungkin sulit disuarakan dengan kata-kata. Mereka, seperti jutaan anak muda lainnya di negeri ini, sedang mencari cara agar suaranya terdengar.


Bendera bajak laut yang mereka kibarkan bukan bentuk pemberontakan. Ia adalah simbol dari semangat bebas, perlawanan terhadap ketidakadilan, dan solidaritas sesama yang selalu ditunjukkan oleh karakter-karakter fiksi kesayangan mereka. Dan ketika bendera ini dikibarkan di bawah sang Merah Putih, ia bukan sedang menyaingi, tapi justru sedang bicara.


---


Beberapa waktu terakhir, fenomena ini mulai ramai diperbincangkan. Di media sosial, kita bisa melihat foto-foto bendera bajak laut dikibarkan di berbagai tempat. Banyak yang menertawakannya, beberapa mengkritiknya, dan sebagian—sayangnya—melihatnya sebagai ancaman.


Namun, mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Coba lihat ini bukan dengan mata aparat, bukan pula dari sudut pandang kekuasaan. Lihatlah sebagai sesama manusia, sebagai saudara sebangsa. Apakah kita benar-benar melihat niat makar di balik selembar kain bergambar tengkorak yang dikibarkan anak-anak muda?


Atau… apakah kita sedang menyaksikan generasi yang kelelahan mencari perhatian dari negara yang katanya milik semua?


---


Dalam hukum, memang ada aturan soal bendera negara. Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 menyatakan bahwa bendera Merah Putih harus dikibarkan dengan penuh hormat dan tidak boleh disejajarkan atau ditinggikan oleh bendera lain. Tapi dalam kasus ini, banyak dari aksi pengibaran bendera bajak laut dilakukan di bawah sang Merah Putih, sebagai bentuk penanda: kami tetap Indonesia, dengarkan kami.


Hukum tentu penting. Tapi hukum juga perlu jiwa. Perlu kepekaan membaca konteks. Jika aturan ditegakkan secara buta, tanpa ruang dialog, maka hukum bisa kehilangan makna kemanusiaannya.


---


Apa yang mendorong anak-anak muda ini mengangkat bendera bajak laut? Mungkin mereka jenuh dengan imbauan kosong yang datang tanpa empati. Mungkin mereka lelah mendengar janji-janji yang tak pernah ditepati. Atau mungkin, mereka hanya ingin mengatakan bahwa mereka ada—bahwa mereka peduli, dan ingin negara juga peduli.


Aksi ini bukan bentuk kekerasan. Tidak ada senjata, tidak ada ajakan perang, tidak ada bakar-bakaran atau perusakan. Hanya selembar kain, imajinasi, dan harapan yang disampaikan lewat simbol budaya pop. Sebuah bentuk komunikasi modern yang menggabungkan ekspresi anak muda dan kritik sosial.


Lalu, jika negara meresponsnya dengan ancaman pidana, razia, atau pendekatan represif—siapa sebenarnya yang memutus komunikasi? Apakah rakyat yang mencoba bicara, atau negara yang menolak mendengar?


"Di Balik Bendera Bajak Laut: Sebuah Seruan yang Tak Pernah Didengar


---


Akan jauh lebih bijak jika pemerintah merespons ini dengan pendekatan dialog. Alih-alih mengkriminalisasi, ajak mereka bicara. Tanyakan: apa yang ingin kalian sampaikan? Apa yang membuat kalian merasa perlu mengibarkan simbol dari dunia fiksi di bawah bendera negara?


Dan bila perlu, ajarkan etika simbolik dengan cara yang tak menghakimi. Arahkan bahwa jika ingin tetap menyampaikan kritik lewat bendera bajak laut, maka jangan letakkan di satu tiang yang sama. Pisahkan. Letakkan lebih rendah. Tapi jangan larang ekspresinya, jangan hilangkan suaranya.


Karena kadang, dalam dunia yang terlalu bising dengan politik dan formalitas, suara rakyat justru terdengar lewat cara-cara tak biasa. Lewat mural, musik, meme, bahkan bendera bajak laut.

Dalam dunia yang terlalu bising dengan politik dan formalitas, suara rakyat justru terdengar lewat cara-cara tak biasa

---

Negara ini dibangun atas dasar kemerdekaan berpikir dan berbicara. Maka jangan hancurkan fondasi itu hanya karena bentuk komunikasi yang tak biasa. Jangan hukum imajinasi hanya karena berbeda.


Generasi muda hari ini bukan sedang melawan bangsanya. Mereka justru sedang menunjukkan bahwa mereka peduli. Bahwa mereka ingin terlibat, meski dengan cara mereka sendiri. Dan jika pemerintah benar-benar ingin menguatkan persatuan, maka rangkullah suara itu. Dengarkan.


Jangan buru-buru mencap mereka radikal atau sesat. Jangan biarkan aparat bergerak sebelum akal sehat mengambil peran. Karena sejarah membuktikan: bangsa yang kuat bukan bangsa yang hanya punya hukum yang kaku, tapi bangsa yang mau mendengarkan bahkan suara yang paling pelan sekalipun.


---


Di akhir hari, mungkin anak-anak itu akan menggulung kembali bendera bajak lautnya. Tapi bukan karena takut. Melainkan karena mereka tahu, akhirnya suara mereka sampai. Karena mereka tahu, mereka didengar.


Dan semoga kita semua belajar dari aksi kecil ini: bahwa di balik simbol fiksi, ada realita yang nyata. Bahwa di balik tawa-tawa ala bajak laut, ada tangis yang ingin didengar.


Karena kadang, rakyat tidak ingin menggulingkan negara. Mereka hanya ingin negara hadir, mendengar, dan paham: bahwa bendera itu, meski bergambar tengkorak, tak pernah bermaksud menusuk jantung merah putih.




Posting Komentar

No Spam, Please.