
Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terjadi di berbagai daerah Indonesia belakangan ini memicu pro dan kontra. Beberapa wilayah mencatat lonjakan hingga ratusan persen, bahkan ada yang mencapai 1000%.
Fenomena ini membuat banyak warga mempertanyakan alasan di balik kenaikan tersebut, manfaatnya bagi pembangunan, dan dampaknya terhadap ekonomi masyarakat kecil.
--------------
Siang itu di Pulo Timaha, Babelan Bekasi, panas matahari nyaris bikin aspal meleleh. Di depan bengkel KANAYA Motor milik Aris, tiga kursi plastik berjajar. Di situ duduk Ki Somad, Sule, dan Fufu, sementara Aris masih berkutat dengan mesin motor. Bau oli bercampur wangi kopi hitam dari gelas Ki Somad, menambah suasana khas siang di kampung.
Sule membuka obrolan dengan wajah kusut.
“Ki, gue pusing. Liat berita, Pajak Bumi dan Bangunan di beberapa daerah naiknya gila-gilaan. Ada yang sampai 200%, malah katanya di Cirebon naik 1000%!. Apa-apaan ini?”
Fufu ikut menimpali, “Iya tuh Ki, kayaknya bupatinya cuma mikir cari duit cepat. Yang jadi korban ya rakyat kecil lagi. Mana bisa mereka nabung kalau begini?”
Aris yang dari tadi jongkok, mendadak berdiri sambil pegang kunci pas. “Eh, tunggu dulu. PBB itu kan buat pembangunan. Jalan, sekolah, rumah sakit daerah. Kalau nggak ada pajak, dari mana duitnya?”
Sule cepat membalas, “Maju apanya, Ris? Di daerah-daerah itu kondisinya biasa-biasa aja. Jangan-jangan naik pajak iya, naik fasilitas enggak!”
Ki Somad menghembuskan asap kretek sambil nyengir. “Wah, ini obrolan panas tapi sehat. Kopi jadi makin nikmat.”
Kenapa PBB Bisa Naik Tajam?
“Begini, Le,” Ki Somad mulai, “PBB itu sekarang dikelola pemerintah kabupaten atau kota. Yang lagi ramai itu PBB-P2, pajak untuk tanah dan bangunan di wilayah desa atau kota. Naiknya bukan cuma karena tarif pajak, tapi karena penyesuaian kenaikan harga NJOP (Nilai Jual Objek Pajak). Kalau harga tanah naik, otomatis pajaknya ikut naik.”
Fufu mengerutkan dahi. “Tapi kenapa naiknya mendadak, Ki? Kayak nggak kasih napas masyarakat.”
“Itu yang disebut tax shock,” jawab Ki Somad sok ilmiah. “Kalau ada kenaikan besar tanpa sosialisasi yang jelas, masyarakat kaget. Walaupun mungkin aja sah secara aturan, rasanya tetap aja berat di kantong.”
Aris mencoba bertahan, “Tapi kalau nggak dinaikin, PAD (Pendapatan Asli Daerah) bisa jeblok. Daerah kan butuh duit buat bangun ini itu Ki.”
Sule tak mau kalah, “Masalahnya kenapa harus jalan instan? Banyak cara lain kok buat naikin PAD selain naikin PBB. Bisa nutup kebocoran pajak, manfaatin aset daerah yang nganggur, atau bikin BUMD benar-benar nyetor keuntungan. Nggak harus narik duit dari warga terus.”
Bikin BUMD benar-benar nyetor keuntungan. Nggak harus narik duit dari warga terus
Fufu mengangguk, “Betul! Kayak di Bekasi ini misalnya, retribusi parkir liar aja kalau dibenerin udah bisa nutup sebagian kebutuhan anggaran. Belum lagi retribusi lain yang sering bocor di lapangan.”
Aris geleng-geleng, “Iya, tapi itu kan butuh waktu lama. Pemerintah daerah maunya cepat, soalnya anggarannya udah seret, efisiensi katanya mah.”
Alternatif Meningkatkan PAD Tanpa Naik PBB
Ki Somad mengangkat tangan, “Nah, ini masalahnya. Pemerintah daerah sering mikir jangka pendek, padahal masyarakat butuh solusi jangka panjang. Naikin PBB itu memang cara cepat karena datanya sudah ada, mekanismenya jelas, penerimaannya pasti. Tapi kalau terus-terusan ngandelin cara instan, beban masyarakat jadi semakin berat.”
Sule menatap serius, “Kalau warga udah kesulitan ekonomi, apa nggak malah bikin mereka pada males bayar pajak yah Ki?”
“Itu risiko besar,” kata Ki Somad. “Kalau masyarakat merasa nggak dapat timbal balik yang layak, mereka bisa nunggak, protes, atau bahkan gugat pemerintah daerahnya. Akhirnya target PAD nggak tercapai. Lebih parah lagi, kepercayaan ke pemimpin daerah turun. Kalau itu terjadi, narik pajak tahun depan bakal lebih susah.”
Fufu mencondongkan badan, “Jadi solusinya gimana Ki?”
“Banyak cara selain naikin PBB,” jelas Ki Somad sambil ngangkat gelas kopi pahitnya. “Pertama, perbaiki pendataan objek pajak. Masih banyak tanah dan bangunan yang belum tercatat resmi, atau sudah tercatat tapi gak benar. Kalau semua masuk database, penerimaan pajak bisa naik tanpa perlu naikin tarif.
Kedua, tutup kebocoran di sektor retribusi seperti parkir, izin usaha, pajak reklame, dan sebagainya. Kalau dikelola dengan baik, pasti hasilnya lumayan.
Ketiga, optimalkan BUMD, perusahaan daerah seperti air bersih, energi lokal, dan pariwisata bisa jadi sumber duit kalau manajemennya profesional.
Keempat, kelola aset daerah yang nganggur. Banyak tanah atau bangunan milik pemerintah yang kosong. Itu bisa disewakan atau kerja sama dengan swasta untuk menghasilkan pendapatan.”
Aris nyeletuk, “Tapi Ki, semua itu kan butuh waktu lama, sementara anggaran mereka sekarang mungkin udah defisit.”
Ki Somad tersenyum tipis. “Ya memang butuh waktu. Tapi ibarat punya kebun mangga, kalau mau cepat, kamu bisa naikin harga mangga yang ada. Tapi kalau mau hasil stabil, kamu bisa tanam pohon baru dan rawat yang ada biar panennya banyak. Hasilnya memang nggak langsung, tapi tahun-tahun berikutnya bisa melimpah.”
Sule tertawa, “Berarti pemerintah daerah sono lagi naikin harga mangga terus, ya ki?”
“Kurang lebih begitu,” jawab Ki Somad sambil senyum. “Padahal kalau mereka mau sabar dan pintar, mereka bisa punya mangga yang lebih banyak tanpa bikin pembeli kabur.”
Kunci Utama: Transparansi dan Kepercayaan
Fufu menimpali, “Masalahnya kalau warga udah kecewa, mau turunin pajak pun mereka belum tentu percaya lagi.”
“Itulah kenapa transparansi itu kunci,” kata Ki Somad. “Kalau warga lihat hasil pajak bener-bener dipakai buat jalan, sekolah, rumah sakit daerah, mereka pasti rela bayar. Pajak itu kayak gotong royong, kalau hasilnya terasa, semua yang waras pasti mau ikut. Tapi kalau hasilnya nggak kelihatan, yang bakalan muncul cuma curiga, jangan salahin warga kalau kejadiannya begitu.”
Sore mulai turun, suara bocah melantunkan azan magrib dari masjid kampung terdengar. Ki Somad mematikan rokoknya, lalu berkata pelan tapi tegas, “Semua warga pasti mau lihat daerahnya maju. Tapi kalau pengelolaan pajaknya nggak jelas, kalau warga nggak tahu uangnya ke mana, yang tumbuh bukan rasa bangga, tapi rasa curiga. Dan kalau curiga sudah mengakar, pajak sekecil apa pun akan terasa berat dibayar.”
Mereka terdiam. Obrolan siang itu berakhir tanpa jawaban pasti, tapi satu hal jelas: masalah kenaikan PBB bukan cuma soal angka di kertas, melainkan soal rasa percaya antara warga dan pemimpinnya.