
Suatu malam yang tenang, di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah benar-benar tidur, seorang remaja perempuan berdiri di depan kasir sebuah restoran viral. Di tangannya tergenggam selembar uang seratus ribu rupiah. Namun, senyum ramah kasir mendadak menghilang.
“Maaf kak, kami cuma terima pembayaran non-tunai. Bisa lewat QRIS atau e-wallet, ya.”
Gadis itu terdiam. Bukan karena tak punya aplikasi pembayaran digital. Ia punya. Tapi malam itu, saldonya kosong dan sinyal di ponselnya hilang entah ke mana. Dan hanya karena ingin membayar dengan uang tunai—yang masih sah secara hukum di negaranya—ia ditolak.
Kisah semacam ini semakin sering terdengar. Terutama di kota-kota besar, dan paling kentara di kalangan mahasiswa atau anak muda. Di tengah laju digitalisasi yang makin cepat, payment gateway dengan metode pembayaran non-tunai kini menjadi kebiasaan baru. Transfer bank, e-wallet, QRIS—semua terasa lebih praktis, lebih cepat, lebih modern.
Tapi ketika uang tunai tak lagi diterima, muncul pertanyaan penting: apakah kita sudah berjalan terlalu jauh?
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Pasal 21 ayat (1), dengan jelas menyatakan bahwa “Rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran... di wilayah Republik Indonesia.”
Artinya, selama seseorang menawarkan rupiah dalam bentuk yang sah dan layak, penjual berkewajiban untuk menerimanya. Menolak pembayaran tunai secara sepihak—tanpa alasan seperti uang rusak atau palsu—bukan hanya tidak sopan, tapi juga melanggar hukum.
Namun, alasan yang sering diutarakan terdengar masuk akal: transaksi digital lebih cepat, lebih aman dari pencurian, tidak ada risiko uang palsu, dan tak perlu repot mencari kembalian.
Tapi apakah kenyamanan semata bisa menjadi dalih untuk menyingkirkan hak konsumen dan melanggar aturan hukum?

Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT)
Perubahan menuju cashless society bukanlah hal yang keliru. Bahkan pemerintah sendiri melalui Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) mendorong transformasi ini. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika perubahan ini berubah menjadi pemaksaan.
Ketika sebagian masyarakat—orang tua, warga desa terpencil, atau mereka yang belum melek teknologi—tak lagi diberi ruang untuk ikut serta, digitalisasi justru menciptakan ketimpangan baru.
Digitalisasi justru menciptakan ketimpangan baru
Menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2023, lebih dari 20% masyarakat Indonesia masih belum memiliki akses internet yang stabil. Ini belum termasuk mereka yang tidak memiliki smartphone layak atau tak punya cukup literasi digital untuk mengoperasikan e-wallet. Dalam situasi ini, pembayaran tunai bukan soal pilihan, tapi kebutuhan.
Dari sudut pandang psikologi keuangan, uang tunai memberi pengalaman transaksi yang lebih nyata. Saat membayar dengan uang fisik, ada rasa "kehilangan" yang membantu seseorang lebih sadar terhadap pengeluarannya.
Sebaliknya, transaksi digital sering kali terasa abstrak. Sekali klik, saldo hilang tanpa terasa. Tak heran jika belanja online sering kali mengarah pada konsumsi impulsif yang tak terkendali.
Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat cenderung lebih hemat saat menggunakan uang tunai ketimbang e-wallet. Maka, ketika sistem cashless diberlakukan sepenuhnya tanpa kompromi, itu juga berarti masyarakat kehilangan kendali dalam pengelolaan keuangan secara sadar.
Dan yang sering dilupakan: sistem digital tidak sempurna. Server bisa eror, sinyal bisa hilang, aplikasi bisa rusak. Di saat seperti itulah, uang tunai seharusnya menjadi ‘benteng terakhir’—alat pembayaran yang tetap bisa diandalkan kapan pun, tanpa bergantung pada jaringan seluler atau daya baterai.
Kuncinya adalah keseimbangan
Transformasi digital seharusnya berjalan beriringan dengan perlindungan terhadap hak masyarakat yang masih menggunakan uang tunai. Jangan sampai kita terlalu larut dalam modernitas, hingga lupa bahwa teknologi hanyalah alat bantu, bukan penguasa.
Cashless society memang menggoda. Tapi jangan sampai kita tergelincir ke dalam cashless humanity—sebuah masyarakat tanpa empati, yang lupa bahwa tak semua orang punya akses yang sama.
Uang tunai adalah simbol kedaulatan negara. Ia sah, diakui undang-undang, dan masih dibutuhkan banyak orang. Menolak uang tunai tanpa alasan jelas bukan cuma masalah pelayanan, tapi juga masalah hukum dan etika.
Maka hari ini, saat uang tunai yang sah ditolak di tanah airnya sendiri, kita patut bertanya: siapa yang sebenarnya belum siap?
Uangnya?
Atau kita yang terlalu cepat menghapusnya dari peradaban?
Antara Kemajuan dan Keadilan
Perubahan menuju sistem pembayaran non-tunai memang tak terelakkan. Digitalisasi membawa kemudahan, kecepatan, dan efisiensi yang selama ini kita harapkan.
Namun, di balik kemajuan itu, ada hak-hak yang tak boleh diabaikan: hak konsumen untuk memilih alat pembayaran yang sah, hak masyarakat untuk mendapatkan akses dan edukasi yang setara, serta hak setiap individu untuk tetap dihargai meski tak selalu mengikuti arus teknologi.
Menolak uang tunai bukan hanya soal kebijakan usaha, tapi bisa menjadi bentuk pengabaian terhadap perlindungan hukum dan rasa keadilan.
Maka, keseimbangan adalah kata kunci. Kita bisa terus mendorong digitalisasi, tapi tetap memberi ruang bagi mereka yang belum siap.
Kita bisa membangun masa depan tanpa menghapus pondasi yang masih dibutuhkan banyak orang.
Saatnya membangun sistem pembayaran yang inklusif, adil, dan berpihak pada semua kalangan.
Modernitas tidak boleh mengorbankan kemanusiaan.
Mari pastikan bahwa setiap transaksi bukan hanya efisien, tapi juga berempati. Karena sejatinya, kemajuan tak pernah bermakna jika meninggalkan yang paling lemah di belakang.
Penulis: Putri Ayu