
Festival Sungai Tubo-Salutambung
Di tepian Sungai Tubo yang mengalir pelan, di bawah naungan langit Majene yang biru, sebuah peristiwa lahir tidak dalam bentuk amarah, tapi dalam rupa perayaan. Festival Sungai Tubo-Salutambung (FESTA) bukan sekadar pesta rakyat. Ia adalah jalan sunyi menuju kesadaran bersama, bahwa menjaga alam bukan tugas satu-dua orang, tapi panggilan kolektif yang melibatkan hati, budaya, dan keberanian.
Bertajuk “Mattayang Tubo, Mattola’ Bala” yang berarti “Menjaga Hidup, Mencegah Bencana” festival ini dihelat pada 17–18 Juni 2025 di muara Sungai Tubo. Di situ, masyarakat tidak hanya berkumpul untuk bernyanyi dan menari, melainkan menyulam ingatan, menuliskan harapan, dan meneguhkan tekad.
Dalam nyanyian dan tarian, dalam diskusi dan puisi, mereka berbicara tentang air dan tanah, tentang luka masa lalu, dan tentang keberanian menjaga apa yang tersisa.
Sungai tidak pernah berteriak, tapi ia menyampaikan segalanya
Sungai: Bukan Sekadar Aliran Air
Sungai Tubo bukan hanya jalur air. Ia adalah nadi yang menghidupkan kehidupan masyarakat, menghubungkan pegunungan Pitu Ulunna Salu hingga ke pesisir Pitu Ba’ba Binanga. Airnya membawa cerita, mata pencaharian, dan ruang bermain bagi anak-anak. Sungai itu menghidupi, secara harfiah dan spiritual.
Namun, bayang-bayang rencana tambang pasir kini mengancam harmoni itu. Pengalaman pahit masyarakat terhadap perusahaan tambang sebelumnya telah meninggalkan jejak kerusakan, abrasi, bahkan banjir bandang yang merenggut rumah dan rasa aman. Kini, trauma lama datang lagi, lewat wajah perusahaan tambang baru.
Tapi masyarakat tak lagi hanya menolak. Mereka merayakan keberanian menjaga sungai sebagai bentuk cinta. Dan cinta yang disuarakan lewat budaya, akan jauh lebih dalam maknanya dibanding teriakan dengan marah.
Festival Sebagai Bahasa Baru Perlawanan
Festival Sungai Tubo-Salutambung bukan ajakan untuk marah. Ia adalah ajakan untuk merenung. Di sini, penolakan tidak ditunjukkan dengan kemarahan yang membakar emosi, tapi dengan nyanyian yang menyejukkan dan diskusi yang tajam namun ramah.
Warga dari berbagai daerah seperti Silaja, Karossa, Budong-Budong, Kalukku, hingga Salutambung sendiri, berdiri sejajar, menyanyikan lagu rakyat dan menari di bawah langit yang mereka cintai.
Mereka menyebutnya “Cari Carita”—sebuah forum diskusi terbuka. Hadir berbagai tokoh: dari pegiat lingkungan Suaka (Studi Advokasi dan Kedaulatan Agraria) Sulbar, Ikatan Pemuda Mahasiswa Salutambung (IPMAS), LBH Makassar, akademisi UNSULBAR, Aksi Kamisan Majene, hingga perwakilan pemerintah dan lainnya yang peduli dan mendukung kegiatan ini. Di forum ini, bukan hanya keresahan yang mengalir, tapi juga ide, solusi, dan harapan.
Dan ketika malam tiba, suara rakyat menyatu dengan nyanyian Sayang-Sayang Mandar, seolah bumi pun bersenandung bersama mereka yang telah lama merawatnya.
Mengkritisi Bukan Benci
FESTA adalah cara elegan untuk menyampaikan aspirasi. Setelah sebelumnya masyarakat melakukan aksi demonstrasi penolakan tambang di kantor gubernur, kali ini mereka menyampaikan pesan yang sama lewat puisi, lewat tenda diskusi, dan pertunjukan budaya.
Mereka membuktikan bahwa menyampaikan pendapat tidak harus lewat amarah. Seni, budaya, dan kebersamaan bisa jadi jembatan yang lebih kokoh untuk menyampaikan suara hati.
Kepala Dinas PUPR Sulawesi Barat, Rachmad, mewakili Gubernur Suhardi Duka, mengatakan bahwa pemerintah tidak akan tinggal diam terhadap ancaman kerusakan lingkungan. Dalam pidatonya, ia mengutip filosofi Mandar: Ma’dodo litak, ma’puhewa waie — tanah dan air adalah kehormatan yang wajib dijaga. Merusaknya adalah merusak warisan budaya itu sendiri.
Pernyataan itu mengandung harapan besar: bahwa hasil pemikiran dalam FESTA akan menjadi rujukan dalam perumusan kebijakan pembangunan. Sebuah sinyal bahwa suara masyarakat bukan gema kosong, tapi getar yang harus dijawab dengan kebijakan nyata.
Kearifan Lokal Menuntun Masa Depan
Di balik FESTA, tersembunyi ajaran bijak yang selama ini mungkin terabaikan: bahwa sungai bukanlah objek mati yang bisa digali dan dijual. Ia adalah makhluk hidup yang berinteraksi dengan manusia. Menjaganya bukan hanya urusan lingkungan, tapi juga urusan etika, sejarah, dan spiritualitas.
Ketika banjir bandang merusak puluhan rumah di Sambalagia dan Dusun Tatibajo, masyarakat sadar: itu bukan bencana alam biasa. Itu adalah akibat dari hilangnya keseimbangan. Ketika Sungai Manyamba mengamuk dini hari, memaksa warga lari menyelamatkan diri, mereka tidak menyalahkan alam. Mereka tahu, rusaknya sungai adalah ulah manusia yang menukar martabat dengan keuntungan sesaat.
Sebuah Ajakan untuk Berkontemplasi
Festival Sungai Tubo-Salutambung bukan hanya milik Majene, bukan hanya milik Sulawesi Barat. Ia adalah pesan untuk kita semua. Bahwa menjaga alam tak bisa ditunda. Bahwa perlawanan terhadap tambang bukan tentang menjadi anti-pembangunan, tapi tentang memastikan pembangunan berjalan beriringan dengan pelestarian.
Sungai adalah guru yang sabar. Ia mengalir tanpa henti, meski kerap dilukai. Dan masyarakat Tubo-Salutambung telah menunjukkan bahwa perlawanan paling kuat datang dari cinta, bukan amarah.
Mari kita belajar dari FESTA: bahwa keberanian menjaga tidak harus keras, tapi harus tulus. Bahwa menjaga sungai berarti menjaga hidup itu sendiri. Bahwa masa depan hanya bisa lestari jika hari ini kita memilih berpihak pada bumi, bukan pada kerakusan.
Sungai tidak pernah berteriak, tapi ia menyampaikan segalanya. Maka mari kita dengarkan, sebelum air berubah menjadi amarah lagi.
Teriring salam hormat dan doa kepada semua pihak yang terlibat atas suksesnya acara ini, tabik 🙏