
Di sudut padat kawasan Kabupaten Bekasi, tepatnya di gang kecil dekat Pasar, hidup seorang pemuda bernama Rahmat. Umurnya baru dua puluh tujuh, pekerjaannya tukang servis HP keliling.
Dengan tas selempang berisi obeng, solder, dan kabel-kabel bekas, Rahmat menyusuri lorong-lorong sempit yang penuh suara gorengan mendesis, motor meraung, dan anak-anak berlari tanpa sandal.
Rahmat bukan siapa-siapa dalam pengertian dunia hari ini. Tapi bagi kampung itu, ia adalah cahaya kecil.
Ia suka menolong: tanpa diminta ia akan menolong mendorong gerobak tukang sayur, membantu mengantar anak tetangga ke puskesmas samping kecamatan, dan sering juga menggantikan Pak Ustad mengajar ngaji di mushola di sudut pagar belakang pasar, kalau sang ustad ada sedang berhalangan atau sedang memimpin acara tahlilan.
"Mat, anak-anak seneng banget kalau ente yang ngajarin. Biar suara ente cempreng, tapi sejuk," canda Pak Ustad suatu hari.
Rahmat cuma senyum, "Yang penting bukan suara saya stad, tapi tajwid dan makhroj ayatnya."
Sakit
Namun semuanya berubah saat tubuh Rahmat mulai panas tinggi. Awalnya ia kira cuma kecapekan. Tapi demam tak turun-turun. Kepalanya pusing berat. Badannya menggigil.
"Mungkin tipes," kata Bu Siti, tetangga yang warungnya dulu sering dibantu Rahmat pas kulakan ke pasar. "Tapi sekarang tuh banyak penyakit aneh-aneh. Bisa aja itu penyakit menular... serem."
Orang-orang mulai takut. Apalagi setelah beredar kabar kalau penyakit Rahmat adalah infeksi serius akibat luka kecil yang tak dirawat, lalu membusuk. Seorang yang paham dunia kedokteran berkata kemungkinan dia terkena necrotizing fasciitis, infeksi bakteri yang cepat menyebar. Dan bisa menular.
"Jangan dekat-dekat rumah dia, deh," kata Pak Darman, ketua RT. "Gue sih prihatin, tapi ya kita harus jaga warga juga."
Rahmat hanya mendengar semua itu dari balik jendela kontrakan sempitnya. Nafasnya sesak, tapi hatinya lebih sesak lagi. Orang-orang yang dulu ia bantu, kini bahkan tak berani menengok. Bahkan ibunya sendiri, Bu Aminah, yang tinggal di Tambelang, menelepon dengan suara penuh ragu.
"Nak, ibu doain dari jauh ya. Di sini juga lagi ada yang sakit. Ibu takut kalau bawa virus ke kamu..."
Rahmat menjawab lirih, "Jaga diri Ibu baik-baik. Saya di sini insyaAllah dijaga Allah."
Malam itu, dengan tubuh demam dan kaki yang mulai membiru, Rahmat menulis sesuatu di kertas sobekan kalender, lalu memasukkannya ke saku.
Beberapa hari kemudian, rumah kontrakan itu kosong. Ada yang bilang Rahmat sudah meninggal. Ada yang bilang dibawa ambulans diam-diam malam-malam. Tak ada yang tahu pasti.
Kenyataannya, Rahmat pergi sendiri, menyeret tubuhnya ke pondok kayu bekas bedeng di pinggir kali Bekasi, tempat dulu ia kadang menyendiri untuk menulis. Di sanalah ia berdiam. Sepi. Sendiri. Sampai suatu hari seorang remaja bernama Ilham datang.
"Bang! Bang Rahmat! Astagfirullah, ini abang kenapa... Saya cari-cari dari kemarin. Ini ada air, ada roti..."
Rahmat tersenyum walau wajahnya pucat. "MasyaAllah, Ilham... Allah kirim kamu ke sini, ya. Jangan sering datang, ya. Jaga dirimu."
Ilham menangis. Tapi ia datang kembali esoknya, dan esoknya lagi.
Beberapa minggu kemudian, Ilham tak bisa lagi berdiam diri. Ia kabarkan ke para tetangga:
"Bang Rahmat masih hidup... Tapi satu kakinya hampir putus karena penyakitnya. Tapi dia tetap sabar, sekarang lebih banyak zikir, dan nulis puisi di pondok pinggir kali itu. Dia butuh bantuan."
Warga mendengar. Lalu saling pandang. Tapi yang keluar adalah alasan.
"Aduh saya lagi banyak orderan gofood..."
"Gue juga sibuk banget, anak-anak belum makan..."
"Saya baru buka warung lagi, belum bisa ninggalin."
Ilham kembali ke pondok dengan tangan kosong. Di pondok ia dapati Rahmat membaca Qur'an dengan tubuh bersandar, dan luka yang terus dirawatnya sendiri.

Pergi Selamanya
Beberapa bulan kemudian, Ilham datang lagi. Kali ini diam. Wajahnya muram. Tapi ia tidak sendiri. Seorang relawan dari Yayasan Kesehatan ikut bersamanya.
Di tengah keheningan, relawan itu mengangkat suara lembut, "Kami temani beliau sampai akhir hayatnya. Dan ini... ada surat yang ditulis Rahmat, untuk seseorang yang katanya paling ia kasihi. Namanya Maya."
Semua mata berpaling pada Maya, gadis penjual es buah yang selama ini hanya diam. Ia maju pelan, tangannya gemetar saat menerima kertas itu.
Dengan suara terbata, ia membaca:
"Untuk Maya,
Jika surat ini sampai padamu, berarti aku sudah tak lagi di dunia yang fana ini. Tapi percayalah, aku tak pernah benar-benar pergi. Kamu mungkin tak tahu, tapi setiap kali kamu tersenyum saat aku lewat, hatiku merasa tenang. Saat aku sakit, aku ingin sekali melihatmu, tapi aku tak mau wajahmu ikut muram karena keadaanku.
Maya, kamu adalah saksi diam atas hidupku. Aku tidak minta belas kasihmu, hanya doamu. Aku percaya Allah menyayangiku dengan cara yang indah: membawaku lebih dekat pada-Nya melalui sakit ini.
Jangan tangisi aku. Lanjutkan hidupmu, terus jual es buahmu, dan tetap tersenyum. Jika Allah izinkan, aku ingin menunggumu di tempat yang lebih baik, insyaAllah.
Wassalam,
Rahmat"
Maya menutup surat itu dengan air mata yang jatuh satu-satu. Tak ada isak keras. Hanya kesedihan atas kehilangan yang dalam. Kampung itu kembali diam. Tapi kini diamnya penuh makna.
Ilham berdiri di ambang pondok, menatap langit.
"Bang Rahmat... abang gak pernah benar-benar pergi."
Seperti mendengar bisikan, Ilham mendengar suara lirih Rahmat, "Aku memaafkan kalian. Jangan menangis untukku, doakan saja. Dalam hidup, orang sering enggan menyeberangi jalan untuk menolongmu saat kau masih hidup. Tapi mereka rela menyeberangi dunia dan berkumpul untukmu ketika kau mati. Air mata di pemakaman itu ternyata lebih banyak karena penyesalan, bukan karena cinta. Maka jika kalian ingin menebusnya, tolonglah yang masih hidup."
Setelah kepergian Rahmat, pondok tua di pinggir kali direnovasi dan dinamai "Pondok Rahmat" oleh warga. Tak ada yang menyuruh. Tak ada yang memaksa. Semua datang dengan inisiatif sendiri. Seperti ada yang mengetuk batin mereka.
Pak Darman, yang dulu paling lantang menjaga jarak, kini jadi orang pertama yang rutin membersihkan pondok. Bu Siti membuka dapur umum kecil tiap Jumat. Bahkan Maya yang dulu hanya berjualan es buah kini mengambil inisiatif menamani anak-anak membaca buku cerita di pondok kecil yang kini menjadi taman bacaan masyarakat dan menjadi tempat anak-anak bermain dan belajar serta berkegiatan apa saja.
Di dinding pondok, tergantung bingkai kecil berisi salinan surat Rahmat. Di bawahnya, tertulis:
"Jangan tunggu seseorang pergi, baru kita hadir."
Dan setiap orang yang membaca, diam-diam menunduk, mengingat seseorang pemuda baik hati yang dulu mereka abaikan.