Film The Woman King
Disutradarai oleh Gina Prince-Bythewood, adalah film fiksi epik sejarah yang mencoba keluar dari pakem Eurosentris ala Hollywood untuk mengangkat kisah yang diadaptasi dari kisah yang pernah ada di Afrika Barat, kerajaan Dahomey yang berdaulat.
Dibintangi oleh Viola Davis, Lashana Lynch, dan Thuso Mbedu, The Woman King bercerita tentang sosok Agojie, sekelompok srikandi pejuang perempuan yang tercatat dalam sejarah telah melindungi kerajaan Dahomey selama hampir tiga ratus tahun antara abad ke-18 dan awal abad ke-20.
Film ini juga dipenuhi aksi dengan skenario dramatis, lumayan asik untuk mengisi waktu liburan dan dapat memperluasan wawasan untuk lebih mengenal masa lalu Afrika Barat.
Selain nilai hiburannya yang bagus, The Woman King juga mewujudkan semangat aspirasi pemberdayaan perempuan melalui narasinya sambil menyoroti periode sejarah Afrika masih jarang diangkat dalam film-film barat.
Bagaimana sebenarnya sejarah kehidupan dan kisah nyata di balik film The Woman King?.
Raja Perempuan
Film The Woman King mengambil latar episode sejarah di tahun 1820-an di sekitar kerajaan Dahomey Afrika, dikisahkan mengenai seorang gadis remaja pemberontak bernama Nawi (Mbedu) yang akhirnya diserahkan kepada kerajaan oleh keluarganya untuk bergabung dengan Agojie, pasukan pejuang wanita tangguh yang bertanggung jawab untuk melindungi raja dan kedaulatan kerajaan.
Saat Nawi digojlok untuk menjadikannya siap tugas sebagai pasukan Agojie, dia menjalin hubungan yang erat dengan Jenderal Nanisca (Davis) yang tabah dan kuat, Nanisca juga merupakan salah satu pemimpin pasukan Agojie.
Nawi dan Nanisca terus menjalin keakraban hingga memiliki hubungan yang baik layaknya mentor dan murid. Persahabatan mereka terus dipererat dengan situasi dan kondisi perjuangan pasukan Agojie melawan invasi kerajaan tetangga yang termotivasi atas keuntungan dari perdagang budak ke Eropa.
Sedikit Tentang Kerajaan Dahomey
Kerajaan Dahomey terletak di Afrika Barat tepatnya di sekitar Teluk Guinea, kerajaan Dahomey eksis diperkirakan antara tahun 1620 hingga awal 1900. Di bawah kedaulatan wewenang seorang raja, yang mewarisi tahta dari orang tua dan leluhurnya, Dahomey berhasil mempertahankan sistem budaya dan sosial-ekonomi yang berkembang pesat dan menjadikannya kerajaan yang terus berkembang dan dominan di wilayah tersebut.
Tidak seperti kebanyakan budaya barat, para wanita Dahomey memegang banyak peran penting di luar tugas rumah tangga - setiap pejabat istana pria bahkan memiliki pasangan wanita yang setara - berkontribusi pada rasa hormat dan penghargaan yang dipegang oleh para prajurit Agojie.
Film The Woman King bercerita tentang konflik kerajaan Dahomey dengan kerajaan tetangganya, Kekaisaran Oyo yang perkasa.
Kerajaan Dahomey membangun ekonominya melalui perdagangan dengan kerajaan lain dan masyarakat tetangga, juga mengandalkan perdagangan dengan pedagang yang datang dari Eropa, ini merupakan "berkah geografis" Dahomey yang dekat dengan pantai.
Produksi minyak kelapa sawit juga sangat penting untuk pertumbuhan Dahomey, namun juga masih mempraktekkan bisnis perdagangan budak dengan orang Eropa untuk pertumbuhan ekonominya. Dahomey tidak menjual rakyatnya sendiri sebagai budak, melainkan tawanan perang, demikian yang dikisahkan dalam The Woman King movie.
Bisnis perdagangan budak ke Eropa membuat makmur Dahomey hingga pertengahan abad ke-19, dan tentunya ketika penghapusan perdagangan budak terjadi di wilayah Eropa dan Amerika, secara langsung menyebabkan penurunan kemakmuran Dahomey.
The Woman King menampilkan John Boyega sebagai Raja Ghezo, penguasa Dahomey yang sebenarnya antara tahun 1818 dan 1858, yang memimpin kerajaan selama periode yang penuh gejolak dalam sejarahnya.
Siapakah Prajurit Agojie?
Pasukan pejuang Dahomey yang semuanya wanita disebut Agojie atau Mino dalam budaya mereka, digambarkan sebagai "Dahomey Amazons" oleh Prancis selama abad ke-19. Agojie berkembang dari tradisi pemburu gajah betina, kemudian menjadi pasukan terorganisir mulai tahun 1720-an.
Pada pertengahan 1800-an, batalyon Agojie mencapai jumlah puncaknya antara 6000 dan 8000, yang merupakan sebagian besar militer Dahomey. Selama puncak kekuasaan mereka, perekrutan Agojie mencari gadis-gadis remaja yang tinggi, gesit, dan atletis dari desa setempat yang menjalani pelatihan ekstensif, membutuhkan banyak disiplin, kekuatan fisik, dan pengondisian dalam pertempuran yang intens.
Proses pelatihan yang melelahkan ini diilustrasikan dalam film The Woman King melalui transformasi fisik dan mental karakter Nawi.
Gadis kecil ini memainkan peran penting dalam membangun narasi film. Ketika para calon Agojie muda telah menyelesaikan pelatihan berat mereka, para wanita itu sepenuhnya siap untuk melayani dan bertugas melindungi kedaulatan Kerajaan Dahomey.
Taktik pertempuran yang disukai para wanita Agojie termasuk pertarungan jarak dekat, serangan mendadak, dan menyergap musuh mereka. Para prajurit terlatih terutama menggunakan busur dan panah beracun, belati, dan tombak, mereka juga belajar menggunakan senapan dan kanon. Akibatnya, Agojie ditakuti secara luas karena keberanian dan keganasan mereka dalam pertempuran, hal yang menambah ketenaran mereka di benua Afrika.
Film The Woman King dan karakternya sebagian besar adalah fiksi, beberapa peran sentralnya terinspirasi oleh kisah aktual tentang wanita Agojie; Karakter remaja Mbedu, Nawi, dikenal sebagai salah satu pejuang Agojie terakhir, yang meninggal pada tahun 1979 pada usia lebih dari 100 tahun.
Peran matriarkal Davis sebagai Jenderal Nanisca mendapatkan julukannya dari catatan sejarah seorang pedagang Prancis yang telah bertemu dengan seorang prajurit Agojie bernama Nanisca pada akhir tahun 1890-an.
Apa yang Terjadi dengan Dahomey?
Dahomey mulai runtuh selama tahun-tahun terakhir abad ke-19. Ketika penghapusan perdagangan budak terjadi, imperialisme Prancis mulai mencekik pantai Afrika Barat, menekan Dahomey untuk mengolah sumber daya alam dan wilayah.
Setelah konflik tak henti-hentinya dengan daerah-daerah tetangga yang dikuasai oleh Prancis, Perang Perancis-Dahomean Pertama terjadi pada awal tahun 1890. Setelah pertempuran berbulan-bulan antara Dahomey dan pasukan Prancis, Prancis akhirnya menang, dan perjanjian damai ditandatangani pada bulan Oktober 1892.
Sayangnya, perdamaian itu tidak berlangsung lama: dua tahun kemudian, konflik lain dimulai - Perang Prancis-Dahomean Kedua. Lebih ganas dari yang pertama, Perang Dahomean Franco Kedua menyaksikan banyak pertempuran, yang menyebabkan kehancuran prajurit Agojie. Pada tahun 1894,
Dahomey akhirnya menyerah kepada Prancis, dan Dahomey digabungkan dengan koloni Prancis di Afrika Barat. Saat ini, tanah Dahomey sekarang berada di dalam perbatasan Republik Benin.
Film The Woman King cukup apik, menjadi film semi action bergenre epik sejarah, yang seringnya menggunakan kacamata sejarah Eropa, kini sedikit mengungkapkan kekayaan masa lalu melalui sudut pandang Afrika.
Sejak dirilis bulan Oktober 2022 lalu, banyak kritikus dan penonton memuji film tersebut karena penceritaannya yang menarik dan pengemasan yang mengesankan. Sementara beberapa kritikus mempertanyakan keakuratan sejarah dan skenario film yang ditulis oleh seorang wanita kulit putih,
The Woman King adalah film Hollywood yang menggunakan narasi dari sudut pandang Afrika, diharapkan film ini akan memperbanyak referensi film serupa dan memberikan ruang untuk penceritaan yang lebih inklusif dalam industri perfilman populer di masa mendatang.
Rating di IMDB 7/10.
Sutradara: Gina Prince - Bythewood
Penulis Skenario: Dana Stevens, Maria Bello
Pemeran: Viola Davis, Thuso Mbedu, Lashana Lynch dst.