Menanggapi Wacana Agar Kepala RSUD dan 17 Puskesmas di Bekasi Dijadikan Tersangka

Menanggapi Wacana Kepala RSUD dan 17 Puskesmas di Bekasi Dijadikan Tersangka Buntut tertangkapnya 2 auditor BPK oleh Kejaksaan Kab. Bekasi Jawa Barat
Menanggapi Tuntutan Agar Kepala RSUD Cabangbungin dan 17 Puskesmas Dijadikan Tersangka


Buntut dari tertangkapnya 2 orang auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Barat oleh tim gabungan Kejaksaan Kejati Jabar dan Kejari Kab. Bekasi di Kabupaten Bekasi belum lama ini adalah wacana tentang tuntutan sebagian masyarakat agar Kepala RSUD dan Kepala 17 Puskesmas ditetapkan pula sebagai tersangka.

Saya kurang yakin pelanggaran apa yang dituduhkan kepada Kepala RSUD dan kepala 17 Puskesmas itu, sehingga beberapa masyarakat meyakini ada pelanggaran terhadap Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.


Kronologis Tertangkapnya 2 Oknum BPK dari berbagai Media Online

Kepala Kejari Kabupaten Bekasi Ricky Setiawan Anas mengatakan kepada media, kasus ini bermula saat BPK Perwakilan Jawa Barat melakukan pemeriksaan rutin pada Desember 2021. 

"Kemudian terhadap temuan BPK Perwakilan Jawa Barat pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, terduga pelaku APS meminta uang sejumlah Rp20 juta kepada masing-masing puskesmas dengan total 17 puskesmas dan Rp500 juta pada RSUD Cabangbungin," katanya di Cikarang, Kamis (31/3).

Pada 28 Maret 2022, APS menghubungi M untuk langsung menyerahkan uang kepada BPK Perwakilan Jawa Barat. Saat itu dokter A dari Forum Puskesmas menyiapkan uang sejumlah Rp250 juta, sedangkan dokter M dari RSUD Cabangbungin hanya mampu memberikan Rp100 juta.

"Pihak RSUD Cabangbungin merasa takut, namun hanya mampu memenuhi sejumlah Rp100 juta," ucap Kejari Kabupaten Bekasi Ricky Setiawan Anas.

Pada 29 Maret 2022, tim Kejari Kabupaten Bekasi yang mendapatkan informasi terkait pemerasan oleh oknum BPK Provinsi Jawa barat itu kemudian menindaklanjuti hingga mengungkapkan kebenaran penyerahan uang sejumlah Rp350 juta kepada APS.

Sehari berselang (30 Maret 2022), tim penyidik Kejari Kabupaten Bekasi melakukan penggeledahan terhadap kamar yang dihuni oknum tersebut di Apartemen Oakwood Kecamatan Cikarang Selatan.

"Penyidik menemukan uang tunai dalam satu buah tas ransel warna hitam pecahan lima puluh dan seratus ribu di kamar HF berjumlah Rp350 juta," katanya.



Dalam Konfrensi Persnya, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat Asep N Mulyana, pada Rabu 30 Maret 2022 menjelaskan bahwa, petugas BPK yang ditangkap meggunakan modus adanya "temuan" penyimpangan anggaran pada rumah sakit dan puskesmas. Dia melakukan negosiasi dengan dalih temuan akan diungkap namun bisa "clear" jika memberi upeti.

Memantau dari berita yang berkembang, kedua auditor BPK itu ditangkap dengan dugaan pemerasan, namun sampai saat ini hanya 1 petugas itu yang penyidikannya diteruskan. 1 pegawai dari 2 pegawai BPK tersebut dikembalikan oleh pihak kejaksaan karena tidak memiliki bukti yang cukup untuk diteruskan ke penyidikan.

Kalau kasusnya dugaan pemerasan, maka Kepala RSUD Cabangbungin dan 17 Puskesmas itu statusnya adalah korban, sehingga tidak bisa dijerat pidana. 

Jikapun mereka dianggap melakukan suap, memberi gratifikasi dan seterusnya, maka harus kita lihat dulu dugaan pidana apa yang dikenakan kepada salah satu auditor BPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan kasusnya masih dilanjutkan. Dari sana kita bisa lebih jelas melihat konstruksi hukum akan kasus ini.


Membedakan Pemerasan dan Suap

Agak sulit membedakan Pemerasan dan Suap, diperlukan fakta-fakta hukum yang valid. Karenanya akan sangat penting mengetahui pasal apa yang dikenakan kepada 1 pegawai BPK itu dan apa saja bukti-buktinya.

Terlebih lagi diketahui bahwa operasi tangkap tangan (OTT) itu dimulai karena adanya laporan dari pihak yang diperas, ini akan lebih menguatkan bahwa kasus yang terjadi adalah kasus pemerasan bukan suap.

Menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara (USU), Mahmud Mulyadi, menyebut setiap bentuk pemerasan yang disambut dengan pemberian uang maka potensi masuknya kasus itu ke ranah pidana penyuapan akan sangat besar.

Baiknya, ia menganjurkan agar pihak yang merasa diperas langsung melapor kepada aparat yang berwenang, tim saber pungli misalnya. Biasanya, kata Mahmud, tim saber pungli akan mengajak pelapor untuk bekerjasama melakukan jebakan-jebakan terhadap oknum pemerintah, sehingga fakta pungli yang dilakukan di lapangan dapat terbongkar.

“Inilah yang akan melepaskan mereka agar tak dianggap suap. Ada tidaknya pelaporan itu pula yang merupakan parameter penentu wilayah abu-abu untuk membedakan antara suap dan pemerasan,” jelasnya.

Kesimpulannya, jika kasus ini adalah kasus pemerasan, maka Kepala RSUD Cabangbungin dan 17 Puskesmas adalah korban pemerasan. 

Dengan adanya pelaporan dari pihak korban kepada para pelaku pemerasan itulah yang memungkinkan tertangkapnya 2 oknum auditor BPK tersebut.

Selaku korban, mereka tidak bisa dijerat dengan pasal suap, kecuali ada bukti-bukti baru yang bisa dijadikan bukti permulaan dugaan suap.


----------


Pendapat Pakar Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara (USU), Mahmud Mulyadi diakses pada Minggu 3 April 2022 dari situs web: https://www.hukumonline.com/berita/a/pungli--antara-suap-atau-pemerasan-lt5c7e650d70141/


Salam


Posting Komentar

No Spam, Please.