Aku yang pernah tinggal di alam rahim ibu, hidup dengan berkecukupan tanpa kekurangan nutrisi dan kaya protein.
Aku adalah pemenang dari ratusan juta sel sperma yang terus melesat pada dinding ovum.
Aku di sana berkat ayah yang berhasil melakukan koitus dengan ibu dengan sebuah rasa cinta yang sedang disimbolisasikan.
Aku yang mewarisi karakter penyumbang sperma dan ovum dengan 23 kromosom dari satu sel yang terus hidup dalam bilangan 46 kromosom.
Aku yang terus hidup dan tumbuh berkat darah yang dialirkan lewat plasenta milik ibu.
Aku bahagia dan nyaman di sana, tetapi kebahagiaan kuterusik. Sayup-sayup aku mendengar doa dari ibu yang terbilang ekstrim alias nyeleneh.
Gusti Pangeran
Hamba haturkan doa dengan perasaan dan kesungguhan untuk masa depan anak hamba
Engkau Maha Pencipta
Lahirkan anak hamba ke dunia ini tanpa memiliki kedua belah tangan
Lahirkan ia tanpa kemampuan berjalan
Engkau Yang Maha Tahu
Janganlah Engkau berikan penglihatan
Janganlah Engkau berikan pendengaran kepada anak yang hamba kandung ini
Engkau Penguasa Alam Semesta
Bisukan mulutnya
Perdayakan alat kelaminnya
Kabulkanlah doa hamba-Mu ini
Demi keselamatan anak hamba
Begitulah ibu berdoa siang dan malam sepanjang aku tinggal dalam rahimnya.
Ketika hari perpindahan alam tiba.
Ternyata aku terlahir sempurna.
Memiliki alat tubuh sesuai dengan identitas ke-makhlukan yang namanya manusia.
Punya dua bola mata yang satu bola matanya mengandung kurang lebih 125 juta sel yang berbentuk mirip baksil dan sekitar 6 juta sel berbentuk konikal.
Punya indera pendengar dengan kemampuan tidak melebihi batas frekeunsi 20.000 per 1/60 detik.
Punya kemampuan motorik dan berpikir.
Pokoknya aku sempurna tidak kekurangan secuil apapun
Doa ibu adalah omong kosong belaka
Untuk pertama kali aku menangis sekencang-kencangnya naluri dan intelektualitas mulai kugunakan untuk memperdaya ibu agar ia mampu memberhentikan tangisan.
Akhirnya luluh juga, ibu menyegerakan memberikan puting susunya dan untuk pertama kalinya dalam sejarah aku menghisap puting susu dari seorang perempuan yang dimulai dari ibu.
Melihat aku terlahir sempurna dengan jenis kelamin laki-laki lengkap dengan alat kelamin dan testis ibu menangis sejadi-jadinya.
Air matanya terus jatuh tanpa putus melewati muka dan jatuh menetes mengenai kedua telapak kakinya.
Aku terus didekapnya, aku hangat dalam tubuhnya, aku yang terus tumbuh dengan air mata ibu yang terus jatuh mengenai kedua belah tapak kakinya.
Menangis tanpa suara dan kata-kata
Ketika masa kanak-kanak tiba.
Aku mempertunjukan kemampuan psikomotorik di hadapan ibu.
Bukan kelucuan yang ia rasakan, lagi-lagi ibu menangis.
Semakin aku berkelakuan petakilan semakin banyak air mata yang tumpah.
Ibu selalu menangis dan menangis, entah alasan apa yang membuat ibu selalu menangis.
Seiring meningkatnya hormon testosteron.
Aku mulai tumbuh dewasa, kuberanikan diri untuk bertanya kepada ibu kenapa ia selalu menangis.
Kenapa ibu tidak bangga terhadap aku yang cerdas lagi tampan.
Ibu selalu diam seribu bahasa.
Ibu tak pernah mau untuk mengungkapkan misteri airmatanya.
Semakin dicecar dengan pertanyaan, ibu pasti menangis.
Ibu menemui takdirnya saat aku sudah merasakan tumbuh menjadi manusia dewasa.
Aku ditinggalkan dengan nasehat air mata tanpa kata-kata.
Aku dibesarkan dengan air mata tanpa penjelasan dan alasan-alasan.
Ibu pergi dengan doa-doa yang tidak dikabulkan Gusti Pangeran.
Usiaku terus berjalan dan memasuki masa penghentian.
Di depan pusara ibu kini aku menangis sejadi-jadinya.
Air mata dengan kata-kata.
Lama aku menyadari akhirnya terungkap juga.
Aku yang memiliki kedua belah tangan telah bertindak mempergunakan yang tidak semestinya.
Menandatangani yang menimbulkan penderitaan orang banyak, mudahnya memukul orang yang aku anggap rendah.
Menggunakannya sebagai alat penindas.
Dan jujur saja, sering kupergunakan untuk memainkan alat kelamin serumpun dengan ibuku.
Mulutku liar dengan makian lengkap dengan komunitas margasatwa terhadap makhluk Tuhan yang aku anggap kroco dan tak bermartabat.
Bertutur kata aduhai seolah-olah petuah tapi mengandung unsur penyesatan atas sebuah kebenaran
Pendengaran, penglihatan dan alat kelaminku … ?
Aku tak sanggup menguraikannya di sini.
Aku yang sudah menjadi penindas
Aku yang pandai melakukan kriminalisasi
Aku yang mencuri tiap butir nasi pada piring-piring kemiskinan
Aku yang mengetok palu mendenda 204 juta kepada Prita
Aku yang aji mumpung skandal century
Aku yang lapar
Aku yang selalu ereksi
Benar kata Ibuku
Mestinya aku lahir tanpa kedua belah tangan
Tanpa kemampuan berjalan
Tanpa mulut
Tanpa mata
Tanpa telinga
Dan tanpa alat kelamin
Kini giliran aku yang menangis
Air matanya jatuh.... tapi tak mengenai kedua belah kakinya
( Tulisan ini didedikasikan untuk kaum Ibu menjelang hari Ibu tanggal 22 Desember )
Penulis:
Agus Tian - Kamis, 17 Desember 2009.