KOTA YANG ANEH DAN MENYERAMKAN

Kumantapkan hati dan mulai berjalan susuri kota sebelah. Jantung berdegup kencang menanti keanehan yang akan terjadi di KOTA YANG ANEH DAN MENYERAMKAN
KOTA YANG ANEH DAN MENYERAMKAN

KOTA LAMTORO

Seperti yang sudah-sudah, akhir tahun ini aku mendapatkan libur panjang sehingga rencana pulang kampung bisa terlaksana. Dan mudik ini terjadi lima tahun sekali, sejak aku mulai ikut berlayar di sebuah kapal pesiar asal Finlandia.

Ini berarti kepulanganku yang ke-tiga, semenjak lima belas tahun lalu. Rindu bertemu keluarga sudah hampir tak terbendung. Aku pun hanya membawa tas ransel dan bungkusan plastik berisi cokelat Swiss untuk oleh-oleh anak-anakku.

Aku memang sengaja berjalan kaki sejak turun dari bus yang mengantarkan hingga tiba di propinsi ini. Sudah lebih dari setengah hari aku berjalan, melewati beberapa kota dan desa.

Di depan, adalah kota terakhir yang biasa  kulewati jika pulang ke rumah. Namun, setibanya di gerbang kota, pintu masuk itu dipalang oleh banyak sekali kayu, hingga nyaris tertutup rapat. Beberapa orang terlihat sigap berjaga di situ. 

Dengan perasaan heran, aku bergegas menghampiri para penjaga berpakaian dan dibekali peralatan lengkap itu, dan bertanya pada salah seorang yang juga langsung berjalan mendekat ketika melihatku datang.

"Ada apa, Kang? Kok gerbang ditutup?" tanyaku sopan.
"Iya, Mas. Emangnya Mas dari mana mau ke mana?," orang itu bertanya balik.
"Saya baru pulang berlayar, mau ke kota Lamtoro. Itu seberang kota ini," jawabku sambil menunjuk jauh ke depan.
"Oh, mau ke Lamtoro. Ini sudah seminggu jalan ke kota ini ditutup, Mas. Sedang ada wabah mematikan di dalam kota. Sebaiknya si Mas ambil jalur lain saja."
"Wah, jalur lain cuman ada dua, ya?. Yang satu harus memutar tiga gunung dulu baru tiba di Lamtoro, bisa makan waktu dua hari perjalanan!," gumamku kecewa.
Orang di depanku hanya mengangguk.
"Atau lewat kota sebelah itu?," kataku ragu. Mataku memandang ke kanan, ke arah jalan setapak yang tak jauh menuju kota persis di sebelah kota ini.
"Tapi, Mas, kota sebelah itu kan ...." tak selesai ia mengucapkan kata-katanya. Ia ikut memandang ke arah jalan setapak itu takut-takut.

Aku mengangguk maklum. Penduduk  sini semua tahu persis kota sebelah. Aku pun tahu. Sebuah kota yang aneh dan menyeramkan. Sudah bertahun-tahun tak ada yang berani melewati kota itu. Bahkan semenjak aku masih kecil.


Aku berpikir, jika aku melewati jalur gunung-gunung dan menghabiskan waktu dua hari untuk itu, berarti mengurangi jatah liburku.  Padahal rasa rindu ini sudah tak tertahan. Akhirnya aku nekad saja sambil berharap keberadaan di kota sebelah itu hanya mitos. Keberanianku pun muncul.

"Baiklah, saya lewat kota sebelah saja," kataku sambil mengangguk pasti.

Orang itu hanya memandangku dengan pucat. Mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun keputusanku sudah bulat, dengan melambaikan tangan aku meninggalkannya.

"Tidak apa-apa. Saya harus cepat sampai di Lamtoro, karena waktunya tak banyak, Kang." Aku memotongnya.

Dan tanpa menunggu ia mengatakan apapun, aku langsung berbalik dan berjalan ke arah setapak yang akan menuju ke kota sebelah.

Sekilas kulihat kawan-kawannya yang lain menghampirinya. Mereka saling berbisik. Entah apa yang mereka bisikkan, aku tak peduli lagi. Tujuanku sekarang hanya ingin cepat sampai menemui istri dan dua orang anakku.


KOTA SEBELAH


Gapura di jalan masuk kota ini berstruktur kuno dan tampak tak terawat termakan usia, retak-retak dan dihiasi lumut kering serta tumbuhan liar, namun terkesan ada wibawa kemewahan di situ. Mewah tapi angker. 

Jalan masuk itu lengang. Entah untuk kali keberapa aku memantapkan hati dan mulai berjalan menyusuri kota sebelah. Jantung ini berdegup kencang, menantikan keanehan apa yang bakal terjadi.

Tak seperti yang kusangka, ternyata pemandangan dalam kota ini lumayan indah. Rumah-rumah tersusun rapi di kiri kanan jalan. Gedung-gedung bertingkat pun nampak di antaranya.

Beberapa orang nampak berjalan hilir mudik. Pakaian mereka rapih. Para pria menggunakan Jas yang terkesan mahal. Dan wanitanya menggunakan pakaian sopan seperti karyawan kantoran.

Keanehan mulai terasa di sini. Mereka yang berpapasan denganku, pasti memandang ke bawah, ke arah bungkusan plastik berisi oleh-oleh cokelat Swiss yang kubawa.

Dan mereka tersenyum-senyum. Semakin banyak yang berpapasan, semakin banyak orang yang tersenyum ke arah bungkusan plastik berisi oleh-oleh cokelat Swiss. Beberapa wanita bahkan sempat tertawa lebar sambil menunjuk-nunjuk bungkusan plastik berisi oleh-oleh cokelat Swiss.

Aku heran apa yang mereka lihat dan tertawakan. Tapi aku tak ambil perduli. Kuteruskan langkahku.

Semakin ke dalam kota. Pemandangan kota semakin aneh. Jalan-jalan becek berkilat memantulkan cahaya, seperti habis terkena hujan karena banyak genangan air di sana-sini. Itu yang kukira. Tapi setelah melihat dari dekat genangan itu, ternyata genangan darah!.

Jantungku semakin berdegup kencang. Hati mulai tak karuan. Kuteruskan melangkah sambil mempererat pegangan ke bungkusan plastik berisi oleh-oleh cokelat Swiss.

Di depanku nampak dua orang setengah baya sedang bertengkar. Mereka berpakaian jas mahal. Sepertinya para petinggi. Saling tunjuk dan berbicara keras yang tak kumengerti. Tiba-tiba saja salah seorang mengambil parang dari balik jasnya, lalu menebas kepala lawannya. 

"Crasshh!"

Darah muncrat menyembur dengan liar dari ujung leher yang tak berkepala lagi. Bau amis menyebar. Perutku mual, kutahan sekuat tenaga agar tak muntah. Orang berparang itu tertawa sambil mengacungkan parangnya tinggi-tinggi ke atas. Kepala yang ditebas menggelinding ke arahku yang sedang berusaha untuk terus berjalan perlahan walau dengan kaki bergetar.

Kepala itu berhenti persis di depanku. Matanya masih melotot, bergerak berputar lalu berhenti dan langsung memandangku. Kepala itu masih hidup! Mulutnya tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Orang berparang ikut menghampiriku, lalu juga tertawa terbahak sambil menunjuk bungkusan plastik berisi oleh-oleh cokelat Swiss yang kubawa.

Aku cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Semakin ke jauh masuk ke dalam kota, gedung-gedung bertingkat semakin banyak. Gedung perkantoran. Yang mewah seperti istana. Orang-orang bertambah banyak. 

Sampai aku tak heran lagi, saking seringnya orang yang berpapasan denganku langsung tertawa melihat bungkusan plastik berisi oleh-oleh cokelat Swiss di tanganku.

Di persimpangan jalan, seorang anak berlari menghampiri sambil tertawa riang. Terkekeh-kekeh menunjuk ke arahku. Sebuah motor berlampu kerlap kerlip melaju kencang ke arah anak itu. 

"Brakkk!"

"Prakkk!"

Suara benturan keras sekali. Dua suara terdengar di sela raungan motor. Aku tak sempat memejamkan mata, hanya tertegun melihat tubuh si anak terlempar ke udara, lalu jatuh terbanting dengan kepala lebih dulu dan hancur berantakan. Tubuhnya masih bergerak-gerak, suara tawanya masih terdengar riang. Mulutnya masih utuh menyeringai walau bagian kepalanya hancur. Tangannya masih menunjuk ke bungkusan plastik berisi oleh-oleh cokelat Swiss. Aku mempercepat langkahku, bergegas meninggalkan lokasi itu.

Nampaknya sekarang aku tiba di pusat kota. Ada taman dengan kolam berair mancur dengan patung di atasnya. Banyak orang di situ, semua berpakaian jas mahal. Sepasang orang muda terlihat di pinggir kolam. Pria dan wanita. 

Mereka sedang bercanda nampaknya.  Lalu si wanita memasukkan tangannya ke mulut si pria. Terus ke dalam, ke arah dada. Pria itu berkelojotan kesulitan bernapas. Saat tangan wanita itu keluar, dari siku ke arah jari menjadi berlumuran darah. Nampak jantung si pria digenggam erat. Masih berdegup. 

Lalu sambil tersenyum manis, si wanita memasukkan jantung pria itu ke mulutnya sendiri, lalu mengunyahnya. Darah menetes membasahi pakaian kantornya. Pria itu tertawa gembira. 
"Canda" yang aneh, pikirku.

Seperti bisa mendengar kata dalam hatiku, tiba-tiba pasangan itu menoleh ke arahku. Langsung saja mereka tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk bungkusan plastik berisi oleh-oleh cokelat Swiss yang kubawa.

Orang-orang di taman serempak ikut menoleh ke arahku. Dan seperti paduan suara, mereka ikut tertawa  terbahak-bahak, sambil menunjuk-nunjuk bungkusan plastik berisi oleh-oleh cokelat Swiss yang kubawa.

Saking gelinya, mereka mengeluarkan parang dan saling menebas orang di sebelahnya. Suara tawa semakin membahana dari banyak kepala yang menggelinding ke arahku. Kolam air mancur sudah berwarna merah terkena banyak cipratan darah.

Aku mempercepat langkah meninggalkan taman kota itu. Setengah berlari ke arah gerbang ke luar kota. Suara tawa seakan masih mengikuti jelas sekali. Aku menoleh ke belakang, dan kulihat kepala-kepala itu menggelinding mengikutiku dari jauh. Sialan! Dan badan yang jauh tertinggal masih saja tangan mereka menunjuk ke arah bungkusan plastik berisi oleh-oleh cokelat Swiss.

Penasaran dengan yang mereka lihat, aku menghampiri gedung terakhir di ujung jalan. Gedung yang banyak kacanya. Aku berdiri tepat di depan kaca yang paling terang dan memantulkan bayangan. Langsung terlihat diriku di kaca itu.

Dan aku terkejut bukan main. Kulihat tanganku erat menjambak rambut sebuah kepala, darah masih menetes di bagian leher. Bungkusan yang kubawa, yang kukira berisi oleh-oleh cokelat Swiss, ternyata adalah kepalaku sendiri!.


TIBA DI RUMAH 


Aku berlari sekuat tenaga meninggalkan kota aneh itu. Tanpa berhenti, hingga memasuki kotaku sendiri. Kota Lamtoro. 

Aku terus berlari menuju rumah. Tak ku indahkan tetangga yang memanggil. Hingga tiba di depan rumah. Istri dan kedua anakku sudah menunggu di situ. 

Melihatku datang. Mereka berteriak senang. Anak-anakku berlarian menghampiri. Istriku yang semakin cantik tersenyum manis. Aku tertegun, memandang mereka. Cemas. Ragu-ragu dengan penglihatan mereka terhadapku. Tapi sikap mereka tak ada yang aneh.  Anak-anak langsung mengambil kepa--- eh bungkusan plastik berisi oleh-oleh cokelat Swiss. 

Dengan riang anak-anak mulai membuka  dan sibuk mengunyah oleh-oleh lezat itu.

Tas ransel kuberikan pada istriku. Tas yang berisi uang tabungan selama lima tahun, sehingga kami bisa merayakan tahun baru bersama. Aku bersyukur walau masih bergidik mengingat pengalaman di kota sebelumnya. Kota yang aneh dan menyeramkan.

Aku dan istri berpelukan mesra. Sekilasku lirik kedua anakku, membuatku hampir pingsan saking kagetnya. Karena kedua tangan mereka berlumuran darah!

+++++

Tamat.

Selamat Tahun Baru
.....yang berlumuran darah....



Penulis: Yous Asdiyanto Siddik
Kamis, 31 Desember 2020


Posting Komentar

No Spam, Please.