Pelecehan Itu Pernah dan (Kadang) Masih Saya Rasakan

Saya takut mengadukan pelecehan yang saya terima karena ketika itu saya lebih takut dimarahi oleh orangtua
Pelecehan Itu Pernah dan (Kadang) Masih Saya Rasakan

Walau saya bahagia dengan hidup saya, tapi kadang saya sedih terlahir menjadi wanita. Yaahh, bukannya saya tidak bersyukur dengan hidup yang sudah diberikan Allah SWT kepada saya. 

Saya merasakan beratnya menjadi seorang wanita yang kadang mendapatkan perlakuan diskriminatif dari orang lain yang bergender lelaki.

Masih teringat jelas ketika saya masih usia belia, mungkin masih duduk di bangku SD.. ketika itu, sudah kewajiban saya sebagai seorang cucu untuk pulang ke Jombang ketika masa liburan tiba. Singkatnya saya berlibur di rumah kakek-nenek saya dan ayah saya mewanti-wanti saya agar meneruskan kegiatan mengaji saya. 

Di Jakarta saya selalu mengaji dengan guru mengaji yang dipanggil ke rumah setiap sore. Jadi ketika saya liburan ke Jombang, ayah tetap mengharapkan saya meneruskan kegiatan mengaji saya. Karena kakek-nenek saya membuka kost-kostan yang isinya adalah anak-anak pondokan (yang lumayan terkenal di Jawa Timur) jadilah saya dipasrahkan untuk terus mengaji dengan salah seorang anak pondokan yang kos di rumah kakek-nenek saya.

Kami mengaji di ruang makan kakek-nenek saya setiap sore. 1 minggu pertama saya melewatkan acara ngaji mengaji ini tanpa kendala apapun juga. Hingga suatu waktu ketika acara mengaji hampir selesai, si mas yang diserahi tugas untuk mengajari saya ini tiba-tiba saja berkata..
A : "Udah mau selesai.. boleh cium gak pipinya?"
B (Saya walau masih kecil tapi sudah merasakan gelagat yang tidak benar) : "Enggak aah.."
A : "Gak apa2.. cuma pipinya aja, sebentar.."
B (Saya hampir menangis, ketakutan) "Enggak mau.."
dan akhirnya toh saya dipaksa untuk merelakan pipi saya untuk dicium si mas-mas itu. 

Sementara itu, saya yang masih polos, lugu, tolol hanya bisa menangis sembunyi-sembunyi tanpa berani mengadukan kejadian itu pada kakek-nenek saya. Hingga esok harinya saya kukuh tidak mau melanjutkan acara mengaji itu dengan 1001 alasan yang saya coba cari.

Pelecehan Itu Pernah dan (Kadang) Masih Saya Rasakan

Pun ketika menginjak ABG.. tepatnya di saat saya masih di bangku SMP. Saya tergabung dalam klub karate di SMP saya. Dan latihan karate ini dilakukan setiap Kamis sore dan Minggu siang (wuiiihh.. ternyata gue masih hafal, bahagia jika mengingat apapun juga mengenai Karate-do Gojukai) jadilah saya selalu pulang setelah maghrib. Kadang saya melewati gang yang kami sebut dengan sebutan POM (Gang Swadaya). Dan disanalah saya pernah mengalami pelecehan oleh seorang lelaki yang masih muda. 

Ketika itu yang saya lakukan adalah menendangnya dengan jurus karate saya dan berhamburanlah sumpah serapah dari mulut saya. Sementara lelaki itu hanya cengar-cengir saja sambil berlalu, meninggalkan saya yang menangis gemas, kesal, marah dan merasa terhina.

Pelecehan tidak mengenal usia


Ya, pelecehan atau diskriminasi gender tidak mengenal usia. Pengalaman saya membuktikan demikian, karena ternyata setelah saya duduk di bangku kuliah pun.. kadang saya masih merasakan pelecehan-pelecehan ini. Saya yang menuntut ilmu di kota Malang, harus dan kudu menyetorkan muka saya di hadapan ayah ibu saya di kota Surabaya setiap 2 minggu sekali. Dan acara mudik ini selalu saya lakukan dengan cara ber-bus ria. 

Saya yang notabene adalah anak kuliahan ternyata tetap kalah dalam menghadapi polah lelaki kucing garong yang bersuit-suit sambil coba menjawil-jawil di terminal Bungurasih. Lelaki tak berpendidikan, yang dilihat dari segi pendidikan benar-benar kalah dengan saya.. anak kuliahan yang (calon) sarjana hukum. Saya hanya bisa melotot dan kadang-kadang protes secara verbal jika mereka berani mencolek-colek tubuh saya.

Hingga baru-baru ini saja, ketika saya sudah menjadi seorang wanita berumur, punya suami, punya anak, mengapa saya tetap kalah dalam menghadapi lelaki model kucing garong. Di mana saya yang sudah punya tampilan ibu-ibu ini bisa-bisanya diajak kedip-kedipan oleh seorang brondong yang keliatan mas-mas dari desa gitu looohh.. Bukannya saya menyepelekan siapapun dia, tapi saya tiba-tiba menyadari bahwa ternyata saya tetap kalah menghadapi polah para lelaki dengan model seperti ini.

Jika saya cermati dari beberapa kasus pelecehan yang menimpa saya di atas..
  1. Saya tidak dalam posisi berencana, hendak, ingin dan akan merayu mereka.. dengan tampilan yang sewajarnya (masih anak2 -- berpakaian sopan ala ABG tomboy -- punya wajah ibu-ibu yang belum mandi) tapi tetap saja kaum lelaki hidung belang seenaknya melecehkan saya.
  2. Saya ingin sekali tidak menangis ketika pelecehan itu saya terima. Tapi ternyata toh saya tetap menangis (walau kadang nggak sampai menangis bombay), tetap kesal, ingin marah dan sebagainya.
  3. Saya takut sekali mengadukan pelecehan yang saya terima ketika masih kecil itu kepada kakek-nenek saya ataupun orang tua saya. Karena ketika itu saya lebih takut dimarahi oleh orangtua saya.. pikiran yang sangat dangkal, bukan? Bahkan mungkin saja jika saya cukup pandai mengadukan kejadian itu pada ayah saya, sudah dipastikan ayah saya akan segera menyusul saya ke Jombang dan entah apa yang akan dia lakukan pada si mas itu.
Semoga saja kejadian ini tidak terjadi pada anak wanita saya. Sejak dini selalu saya tanamkan padanya rambu-rambu yang harus mulai dia pahami. Dan selalu saya tekankan.. bahwa apapun yang terjadi padanya, jangan takut untuk bercerita kepada kami, orang tuanya. Saya hanya bisa berusaha menjaga anak-anak saya dan selalu mendoakan semoga Allah SWT selalu menjaga buah hati saya.

5 Februari 2010
Penulis: Retrispur


2 komentar

  1. Saya ikut gemas sama si mas yang ngajari ngaji waktu di Jombang itu. Diberi amanah, tapi sama sekali ia tak layak. Bermoral lelaki rendahan.
    1. Gemas karena ternyata meninggalkan kenangan buruk buat seseorang yang mengalami, padahal bisa jadi si mas hanya iseng ajah, semoga bisa pelajaran bersama
No Spam, Please.